Skip to main content

(XXXIX. PENGUBURAN DALAM ADAT TORAJA)


PENGUBURAN DALAM ADAT TORAJA 
Oleh : Rahman Saputra Tamba


Agama dalam kesadarannya yang mendalam dari semua umat beragama bahwa agamanya dipanggil Tuhan untuk melayani kebutuhan manusia yang terdalam yang tidak boleh dilalaikan sedikit pun untuk tetap berjuang mencapainya. Dalam pembahasan saat ini, kita akan dikenalkan dengan agama sebagai institusi dalam dilemma. Dalam dilemma, agama  diperhadapkan dengan pilihan diantara dua alternatif yang berlawanan. Yakni antara keputusan “ya” atau “tidak” yang secara langsung tidak memberikan sebuah kepastian, Karena “ya” belum tentu benar, dan “tidak” belum tentu salah dan malah mungkin sebaliknya. Jika kita perhatikan, dapat di lihat bahwa masyarakat dari zaman ke zaman berjalan maju menuju kebentuk-bentuk kehidupan yang lebih sempurna melalui pola sosiologi yang ada. Pola ini dikenal dengan proses sosial karena laju kecepatan yang berbeda-beda untuk kurun waktu zaman yang satu dengan yang lain. Dalam proses ini, terdapat suatu fenomena yang membuat  perubahan dalam masyarakat serta konflik yang ada didalamnya. Akan tetapi, melalui proses ini, agama tidak mengalami suatu perubahan, dimana agama cenderung bersifat statis dan menimbulkan adanya dilemma didalamnya. Keadaan inilah yang dirasakan oleh umat yang terikat didalamnya serta para instansi maupun kelompok sosial lainnya (ahli filsafat, teologi dan sosiologi).

Terlebih lagi dalam hal ini, banyak aspek-aspek yang akhirnya menciptakan adanya dilemma dalam pemahaman tersebut. Berikut ini beberapa pemahaman berdasarkan penjelasan diatas, yakni :



1.      Dampak dilemma terhadap Religius

Jika agama mempertahankan kemurnianya, dan tidak bersifat dinamis maka agama akan kehilangan daya tariknya karena tidak dapat menyajikan kekayaannya kepada manusia menurut selera zamannya. Diluar itu, agama juga diperhadapkan dengan adanya pilihan yang sulit antara kekuasaan dan kepemimpinan dalam  memutuskan seorang pemimpin yang kharismatis ataukah kepemimpinan yang rasional.



2.      Sekularisasi sebagai penyebab eksternal

Dalam problem ini, agama sering dirasakan menjalankan tugas dan tanggung jawab tidak sesuai dengan jalur yang ada. Yang mana sering terdapat kebimbangan antara menyerahkan kekuasaan dan hak Gereja kepada negara atau yayasan duniawi (pemerintah).



3.      Goyahnya kaidah keagamaan

Goyahnya kaidah keagamaan, dapat terjadi ketika umat melakukan sesuatu yang melanggar aturan keagamaan namun dibenarkan oleh majelis. Hal ini terjadi karena seringnya majelis maupun anggota menempatkan keputusan sesuai dengan jalur yang ada. Serta dilakukan dibawah ketidaksadarannya. Hal inilah yang pada akhirnya akan mencetuskan anggapan bahwa gereja saat ini tidak lagi memiliki wibawa dalam kelompok maupun perorangan.



4.      Krisis kewibawaan

Krisis kewibawaan ini terjadi tidak lain tidak bukan akibat bentuk dari proses sekularisasi menuju tercapainya kedaulatan manusia dengan melawan kekuasaan yang dipandang tidak adil.



5.      Jalan keluar

  Jalan keluar yang dapat dilakukan untuk menghadapi problema yang terjadi itu adalah :

      A. Umat beragama hendaknya meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi.

      B. .Hendaknya struktur pemerintahan agama memberikan tempat sewajarnya kepada kaum awam dimana unsur awam mempunyai hak bersuara untuk ikut menentukan kehidupan Gereja (agama).

      C. Tugas-tugas keagamaan yang sifatnya tidak memerlukan jabatan imamat khusus, hendaknya diserahkan kepada kaum awam.

      D. Kesediaan pemimpin agama untuk mendorong pengadaan penelitian mengenai masalah penggembalaan umat dari pandangan sosiologis dan menggunakan kesimpulan yang didapatkannya. 

  

1.      Penguburan

Upacara penguburan adalah suatu kebaktian pengucapan syukur kepada Tuhan karena perbuatan-Nya melalui orang yang meninggal itu. Dalam upacara penguburan sepantasnya terdapat nyanyian gereja, doa, pembacaan kitab suci yang membawa penghiburan yang menguatkan dan juga membantu membebaskan perasaan yang tertekan. Kebaktian ini bersifat saling mendukung oleh persekutuan Kristen bagi orang yang kehilangan itu. Dan juga suatu penegasan tentang kepercayaan komunitas yang membantu orang yang kehilangan menempatkan kehilangan itu dalam konteks iman yng lebih luas, yang meneguhkan kehidupan.[1]



Penguburan mayat didahului dengan upacara-upacara sesuai dengan kedudukan masa hidupnya, lalu jenazah diberikan bekal kubur yang lengkap. Dikenal dua penguburan; Penguburan tidak langsung (Sekunder), penguburan langsung (Primer). Penguburan sekunder dilakukan dengan cara meletakkan mayat ke dalam peti kay yang berbentuk perahu, sebagai simbol bahwa arwah mampu berlayar ke kehidupan selanjutnya. Sedangkan penguburan primer, mayat dimasukkan kedalam tempayan kubur dalam tanah.[2]



2.      Pandangan Umum terhadap tradisi Rambu Solo (Upacara Kematian)

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.[3]



Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum. Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau-tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh. Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan. Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau tongkonan. Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara. Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana. Bagi kalangan bangsawan yang meninggal maka mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu di antaranya bahkan kerbau belang yang terkenal mahal harganya. Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan. Kerbau pun langsung terkapar beberapa saat kemudian.[4]



Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi inkulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957. Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[5]



3.      Pandangan Umum terhadap tradisi Rambu Solo (Upacara Kematian)

Upacara Rambu Solo merupakan suatu kebudayaan yang dimiliki masyarakat Toraja. Rambu Solo / Aluk Rampe Matampu merupakan rangkaian upacara yagn menyangkut kematian dan pemakaman manusia. Upacara ini dilaksanakan setelah lewat tengah mata hari, ketika sinar matahari mulai terbenam menunjukkan kedukaan atas kematian / pemakaman manusia. Selain itu tradisi itu juga dianggap sebagai sebuah upacara yang bertujuan untuk menyempurnakan kematian seseorang. Secara umum, pelaksanaan kegiatan upacara ini biasanya dilangsungkan pada bulan Juli dan Agustus. Ketika waktu, jenis dan pembagian tugas telah disepakati didalam rapat keluarga inti untuk menentukan tingkat upacara. Menurut Aluk Todolo, mati adalah suatu proses perubahan status semata-mata dari manusia fisik di dunia kepada manusia roh di alam gaib. Rambu solo ibarat “pintu gerbang” bagi jenazah untuk memasuki alam yang baru. Semakin banyak hewan yang dikurbankan maka semakin tinggi derajat jenazah ketika berada di Puya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tradisi Rambu Solo sekaligus bagi anak keturunan untuk tetap memuliakan orang tua. Sehingga anak keturunan akan berlomba-lomba mengurbankan hewan sebanyaknya sehingga jenazah memperoleh tempat yang mulia. Pengurbanan tersebut dapat berupa kerbau ataupun babi. Didalam pelaksanaanya jumlah dari pada hewan kurban tersebut bervariasi hal ini dilatarbelakangi oleh kemampuan dari pada keluarga itu sendiri. Misalnya untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa mencapai sekitar 24 sampai 100 ekor kerbau. Sedangkan untuk golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacaa 3 hari. Oleh karena itu, bagi masyarakat Toraja, tradisi ini merupakan salah satu bentuk bakti seorang anak kepada orang tua dan pengikat tali silaturahmi dalam keluarga besar.[6]



Secara umum dalam tradisi Rambu Solo, dijabarkan bahwa apabila semakin tinggi (gua tebing batu) tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana / puya “Dua tempat peristirahatan” tempat keabadian dimana arwah para leluhur berkumpul. Ditempat ini roh yang meninggal akan bertransformasi menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah setingkat dewa (to Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata). Wujud transformasi tersebut tergantung dari kesempurnaan propesi Rambu Olo. Kerbau-kerbau (tedong) dan babi yang dikurbankan pada upacara pemakaman, harta benda dan perhiasan-perhiasan lainnya merupakan bekal dan perlengkapan utama yang akan digunakan di alam gaib.[7]



Akan tetapi  bagi maksyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo, maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih sakit, maka orang yang sudah meniggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masuk hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Serta hal-hal lainnya yang biasa dilakukan oleh arwah haruslah dijalankan seperti biasanya.[8]



Oleh sebab itu, banyak masyarakat baik masyarakat Toraja maupun masyarakat umum lainnya yang berpandangan bahwa tradisi ini merupakan sebuah kebudayaan yang bertujuan sebagai upacara penghormatan untuk orang yang sudah meninggal. Dengan demikian orang akan mampu melakukan segala hal demi melangsungkan kelancaran acara agar arwah yang telah meninggal dapat diterima disurga dan tenang.



4.      Pandangan Agama mengenai Kebudayaan Suku Toraja dalam prosesi Penguburan

Aluk adalah istilah umum yang diterjemahkan langsung dari istilah Agama. Aluk Todolo berarti agama para leluhur yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Toraja. Sedangkan Rambu solo berasal dari kataRambu yang artinya Asap dan solo yang artinyaTurun. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa rambu solodalam pandangan agama berarti : suatu kiasan persembahan yang ditujukan kepada jiwa orang yang sudah meninggal dan segala sesuatu yang dikorbankan baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa ikut dibawah oleh jiwa tersebut ke Puya(dunia oarang mati) dan upacara dimulai saat matahari condong ke Barat sampai petang).



Dalam pandangan agama, tradisi Rambu Solo (Upacara Kematian) merupakan kegiatan upacara yang dilakukan atas dasar penyembahan terhadap dewa-dewa atau arwah  nenek moyang yang telah pergi. Hal ini sebenarnya sangatlah bertentangna dengan prinsip agama kristen yang melarang akan tindakan tersebut. Hal ini dikarenakan bagi menurut pandangan kristen, apabila orang tersebut telah meninggal, maka dirinya tidak memiliki hubungan lagi baik dengan keturunan maupun keluarga yang ada di dunia. Terlebih pula mayat orang yang sudah meninggal tersebut hanyalah sebatas tubuh yang kaku (bangkai) yang tidak berisi roh lagi. 

Tidak hanya itu, pertentangan tersebut juga terlihat pada acara pemakaman. Dimana dalam pelaksanaanya terdapat kejanggalan antara lain : keluarga yang belum mampu memenuhi syarat pemakaman, belumlah dapat menguburkan anggota keluarganya di dinding-dinding goa. Dan  sejak saat itu keluarga haruslah tetap merawat bahkan berlaku seperti biasanya terhadap mayat anggota keluarga tersebut.[9]

Tidak hanya dalam pandangan Kristen, ajaran Islam juga berpendapat sama dalam hal ini. Dimana ajaran Islam pada dasarnya tidaklah pernah mengajarkan tradisi yang ada di tanah Toraja (Sambu Solo). Dalam pandangannya, manusia yang telah mati, haruslah segera dikuburkan pada hari kematiannya juga. Sebab apabila jenazah tersebut tidak langsung dikuburkan, maka dapat memperpajang keluarga untuk tetap bersedih menagisi kematiannya.[10]

Tidak hanya itu, baik ajaran Kristen maupun Islam sama-sama mengajarkan bahwa orang yang sudah meniggal haruslah dikuburkan didalam tanah. Hal ini didasarkan atas kitab masing-masing penganutnya yang berpendapat bahwa “Manusia diciptakan dari debu  dan tanah” oleh sebab itu melalui landasan diatas, apabila ada anggota keluarga yang meninggal haruslah dikuburkan dalam tanah dan bukan didalam goa-goa layaknya tradisi tanah Toraja. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam pandangan agama, tradisi Sambo Solo merupakan tradisi yang sangatlah bertentangan terhadap agama karena didalamnya terdapat unsur-unsur penyembahan serta ritual-ritual yang diperuntukkan terhadap roh-roh atau dewa-dewa yang telah meninggal. 

Dalam dokumen keesaan gereja BAB XII mengenai penguburan/pengaubuan dikatakan bahwa diakui, menerima pelayanan upacara penguburan dan atau pengabuan menurut pemahaman dan peraturan gereja anggota PGI, untuk memberitakan kebangkitan Kristus, bahwa ia telah mengalahkan maut, dan untuk memberikan penghiburan  (1 Tes. 4:18) dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan. Penghiburan dan pengharapan ini berdasar pada kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Bahwa manusia yang mati di dalam Kristus  kepadanya akan diberikan tubuh yang baru, yaitu tubuh kemuliaan atau tubuh rohani yang tidak lagi mengalami kebinasaan. Bahwa Tuhan bukanlah Tuhan buat orang yang hidup saya, tetapi juga Tuhan yang kesetiaan-Nya tetap dialami oleh orang orang yang telah meninggal. Hal ini tampak di dalam kebangkitan dari antara orang mati bagi setiap orang yang mati didalam Yesus Kristus untuk beroleh kasih dan kemuliaan Allah (Rm. 8:9; 14:8; 1 Kor. 15:35-38; Flp. 3:21; 1 Tes. 4:13-18).[11]

Sikap gereja sepanjang masa terhadap penguburan mayat. Berbeda dengansikap gereja terhadap adat kematian toraja atau batak- terhadap kebiasaan untuk membakar tubuh orang yang sudah meninggal, gereja sudah lama menunjukan sikap menentang. Sikap ini berasal dari adat Yahudi, yang melihat pengabuan mayat sebagai hukuman penjahat (Im. 20:14; 21:9; Yos. 7:25). Oleh sebab itu ditentang kebiasaan membakar mayat pada orang Yunani, Romawi, dan juga orang German, sampai berhasil ditiadakan oleh Charles Agung (800). Oleh karena itu tidak ada pendapat Calvin mengenai pengabuan. Ketika pada abad ke-19 orang di Eropa mempropogandakan kembali pengabuan. Gereja-gereja protestan, biarpun tidak melarang kremasi, juga tidak mendukungnya, karena telah terjadi kesadaran bagi orang Kristen yang mengajarkan bahwa untuk mayat yang hilang karena kebakaran, dimakan binatang dan sebagainya tidak perlu diragukan kebangkitan daging, karena Allah akan menciptakan tubuh kebangkitan yang baru. Disadari bahwa bukan penguburan, tetapi kematian sendiri yang menandai permulaan kebangkitan (1 Kor. 15), sedangkan pilihan antara pengabuan atau penguburan dapat diserahkan kepada orang percaya sendiri, sesuai juga dengan kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu.[12]



5.      Dampak prosesi Penguburan tersebut terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya

Dari sekian banyaknya budaya dan tradisi yang dimiliki, yang paling banyak diekspos adalah Rambu solo’ atau yang disebut dengan upacara kematian. Rambu solo’ adalah upacara besar-besaran yang sering diadakan oleh masyarakat Toraja, sehingga tidak heran jika dari semua acara baik itu acara perkawinan maupun acara syukuran, upacara rambu solo’ menduduki urutan pertama. Masyarakat Tana Toraja bahkan tidak segan-segan untuk mengeluarkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah. Oleh karena itu, upacara rambu solo’ adalah upacara yang sering dicari-cari oleh wisatawan dari luar. 

Tetapi tahukah kalian apa yang terjadi di balik upacara adat itu? Ada keluarga kelihatan sangat sederhana, hidup pas-pasan. Bisa menyediakan puluhan babi dan 3 sampai 5 kerbau dalam setiap upacara rambu solo’. Sekedar tahu saja, harga seekor babi diatas dua jutaan dan harga seekor kerbau diatas 10 juta. Belum lagi dengan kerbu belang (Tedong bonga) Namun, Apakah ada dampak yang dirasakan dari pihak keluarga itu sendiri? Kalau kita menyusuri beberapa keluarga yang masih sangat kuat dengan adat istiadanya, dampak negatifnya lebih banyak dari yang positif. Orang tua cenderung untuk mempertahankan status sosialnya dalam masyarakat, sehingga yang menjadi tujuan mereka adalah upacara adat dan cenderung mngesampingkan pendidikan dan masa depan anak-anaknya. Sehingga tidak heran jika orang tua yang demikian, akan selalu mengeluh bahkan menolak untuk membayar uang sekolah, giliran pengadaan dana untuk upacara adat, orang tua selalu siap. Jadi upacara rambu solo’ menjadi prioritas pertama dibandingkan pendidikan anak, lifestyle dan property. Namun bagaimanakah seharusnya menyikapi hal tersebut? Orang tua kadang tidak realistis dalam memandang/menargetkan suatu upacara adat, mereka mengeluarkan banyak uang padahal mereka sebenarnya tidak mempunyai sebanyak itu. Sehingga yang terjadi adalah utang sana-sini. Adanya pola pikir yang demikian tentu akan menghambat untuk tidak melakukan hal yang benar dan realistis.[13]

Pelaksanaan ritual rambu solo’ di Tana Toraja sarat dengan nilai-nilai sosial.Nilai-nilai sosial yang terbentuk dalam upacara kematian ini, lama-kelamaan akhirnya menjelma menjadi tradisi dalam tata pergaulan masyarakat adat Toraja.Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab ritus rambu solo’ tetap bertahan di tengah zaman yang berubah. Menurut Prof. M. Paranoan, (M. Paranoan, 1990 : 15 – 22) motivasi sosio-kultural memainkan peranan penting dalam pada perlakuan orang mati di Tana Toraja antara lain :



·         Sebagai wadah pemersatu keluarga artinya; melalui ritus rambu solo’, relasi kekeluargaan disegarkan kembali. Ritual ini menjadi ajang reuni para kaum kerabat, bahkan dengan semua handai tolan atau kenalan biasa. Orang bertamu, duduk bercerita massalu nene’ (menelusuri garis keturunan) sambil ma’ panggan (siri-pinang) sehingga hubungan kekerabatan antara keluarga besar kembali erat.



·          Sebagai tempat membagi warisan artinya; suatu kebiasaan yang dilakukan keluarga si mati dalam ritus rambu solo’ adalah ma’ tallang atau mangrinding (membagi warisan). Ma’tallang artinya mendapatkan harta warisan “si mati” lewat mantunu (mengorbankan kerbau dan babi pada saat upacara kematian si mati. Yang berhak ikut ma’tallang ialah anak kandung si mati, kalau si mati tidak mempunyai anak, maka saudaranya berkewajiban menyelenggarakan upacara kematian dan berhak atas harta benda si mati dengan jalan ma’tallang.



·         Sebagai tempat menyatakan martabat artinya; dalam setiap ritus rambu solo’ martabat dan harga diri orang Toraja dinyatakan lewat ma’tallang. Anak dan keluarga “si mati” akan berlomba mencari kerbau yang nilainya tinggi dalam konteks budaya Toraja. Sehingga banyaknya kerbau dan babi serta keberhasilan dan kemeriahan penyelenggaraan ritus rambu solo’akan meningkatkan martabat keluarga dan menciptakan nilai budaya tinggi. Di sinilah letak keunikan orang Toraja dalam menghadapi upacara kematian karena tidak berhitung ekonomis, tetapi yang ditonjolkan ialah karapasan (kedamaian).



·         Sebagai tempat bergotong royong artinya; salah satu ciri khas orang Toraja adalah gotong-royong, hal ini terlihat dalam tradisi sembangan ongan (bantuan keluarga atau kenalan sebagai ungkapan belasungkawa) yang ditujukan untuk membantu pelaksanan ritus rambu solo’. Semua sembangan ongan berupa kerbau dan babi tidak boleh ditolak oleh keluarga “si mati”. Pada waktu si pemberi sembangan ongan mengalami kedukaan, barulah bantuan sembangan ongan-nya dikembalikan yang disebut umbaya’ indan (membayar utang). Utang sembangan ongan tidak boleh ditagih, walaupun begitu setiap kelurga yang berhutang akan menggantinya dan membayarnya kembali sesuai dengan prinsip saling mempercayai dengan penuh tanggung jawab.



·         Sebagai wadah pengembangan seni artinya; dalam ritus rambu solo’, kesenian orang Toraja dipertunjukkan. Hal ini terlihat pada balun (kain kafan) berwarna merah, kuning diukir dengan corak matahari yang bahannya bergantung pada status sosial “si mati”. Selama upacara berlangsung secara berganti-ganti ditampilkan berbagai kesenian hingga lagu duka yang mengungkapkan keberanian, kebaikan hati atau riwayat hidup “si mati”.Para tamu yang datang ma’sembangan ongan memasuki rante (tempat upacara dilangsungkan) dengan berbaris secara artistik ma’ulang bulu (berbaris memanjang bagaikan pintalan ijuk). Kemudian para tamu disambut oleh pa’rinding (penerima tamu) dengan tarian kebesaran, diikuti keluarga yang berpakaian serba hitam mengantarkan siri dan pinang.



·         Tempat rekreasi dan memberi makan rakyat artinya; berbagai atraksi, unsur ritus rambu solo’ ditampilkan seperti, ma’palao (mengarak jenazah), ma’pasilaga tedong (adu kerbau), ma’sembangan ongan (barisan tamu), ma’marakka, ma’ badong, massuling, yang mengungkapkan riwayat hidup “si mati” dalam lagu duka, ma’randing (tarian penyambutan tamu), ummbating, (meratap), merupakan atraksi yang sangat menarik ditonton dan dialami sendiri.Para tamu dan kerabat, duduk bersantai, makan bersama, ma’puama (bercerita). Semuanya berlangsung dalam interaksi-partisipasi-spontan, tanpa perintah. Mereka senang berkumpul, berkenalan dalam suasana rileks.Semua orang yang hadir dalam upacara tersebut diberi makan oleh keluarga “si mati” sebagai penyelenggara pesta. Kerbau, babi, yang dipotong selama beberapa hari dijadikan lauk-pauk. Pada hari terakhir, semua babi dan kerbau yang masih tersisah dipotong semua – dagingnya lalu dibagikan kepada pemangku adat, tokoh masyarakat, pemerintah dan rakyat sekitar. Sebelum hewan kurban disembeli sebagian disisihkan untuk sumbangan pembangunan seperti; pendidikan, kesehatan, jalanan, rumah ibadat, pengairan dan fasilitas umum lainnya.



Keunikan dalam ritus rambu solo’ adalah mengandung sifat ambivalensi – di satu pihak berduka dan di pihak lain bergembira, namun tetap tercipta kedamaian pada semua pihak.[14]



6.      Dampak prosesi Penguburan Tersebut terhadap Agama/ Gereja

Meskipun jumlah umat Katholik Roma lebih kecil dibanding dengan jemaat Kristen Protestan, (Kristen Protestan298.221 jiwa, Katolik108.850 jiwa dari total 450.000 jiwa penduduk Tana Toraja) namun pengaruh Gereja Katholik sangat kuat serta berjasa besar menyelamatkan kebudayaan suku Toraja yang kini akan dijadikan UNESCO (United Nation Education Social Culture Organization) sebagai warisan kebudayaan dunia. Hal itu terlihat pada dilegalkannya ritus rambu solo’ untuk dilaksanakan oleh umat Katholik Toraja. Sebab ritual rambu solo’ selaras dengan dogma gereja tentang hubungan antara orang yang telah mati dengan orang yang masih hidup di dunia dan Guadium et Spes yang menaruh penghargaan besar terhadap kebudayaan lokal.



Gereja kaum musafir menyadari sepenuhnya persekutuan seluruh dalam Tubuh mistik Kristus itu.Sejak masa pertama agama Kristiani, Gereja dengan sangat kidmad merayakan kenangan mereka yang telah meninggal. Dan karena “inilah suatu pikiran yang mursid dan saleh: mendoakan mereka yang meninggal supaya dilepaskan dari dosa-dosa mereka” (2 Mak 12:46), maka Gereja juga mempersembahkan kurban-kurban silih bagi mereka.” (Sifat Eskatologis Gereja Musafir dan Persekutuannya dengan Gereja di Surga.[15] Dalam Guadium et Spes, Gereja berusaha mendorong pelbagai golongan dan bangsa ke arah dialog yang sejati dan subur, sehingga jangan justru mengacaukan kehidupan masyarakat, atau menumbangkan kebijaksanaan para leluhur, atau membahayakan watak peragai bangsa-bangsa yang khas.[16]Dua dogma Gereja inilah yang melindungi ritus rambu solo’ sehingga tetap dapat dilaksanakan tanpa mengacaukan iman Kristiani dengan perubahan makna-makna yang terkandung dalamnya. Kalau dulunya dipersembahkan kepada deata  (bandingkan dengan kebiasaan orang Israel pada zaman Perjanjian Lama yang mengurbankan domba jantan kepada Tuhan)  kini dimaknai sebagai alat pembagi warisan, konsumsi kerabat yang melayat, dan sebagai pembayar daging yang telah diterima oleh si mati semasa hidupnya dari anggota masyarakat adat.









































BAB III

KESIMPULAN



Kita percaya pengharapan eskatologis, yaitu kebangkitan orang mati, kebangkitan tubuh, baik mereka yang percaya maupun yang tidak percaya, baik mereka yang baru meninggal maupun mereka yang sudah lama meninggal, baik yang meninggal yang masih terlihat jasadnya, maupun yang jasadnya telah hancur atau lenyap. Kalau salah satu alasan keberatan terhadap cara kremasi adalah meniadakan jasad tubuh kebangkitan, alasan ini seakan-akan menjadikan dirinya syarat bagaimana Allah akan bekerja untuk membangkitkan orang mati.



Kita harus menyadari bahwa perlakuan atas jenazah dengan cara penguburan maupun kremasi, keduanya sama-sama membuat jenazah mengalami dekomposisi. Inilah yang menjadi bukti betapa fananya tubuh jasmani ini. Namun ini tidak berarti kita boleh memakai segala cara, termasuk cara promessi dan resomasi. Gereja-gereja protestan, biarpun tidak melarang kremasi, pengawetan, juga tidak mendukungnya, karena telah terjadi kesadaran bagi orang Kristen yang mengajarkan bahwa untuk mayat yang hilang karena kebakaran, dimakan binatang dan sebagainya tidak perlu diragukan kebangkitan daging, karena Allah akan menciptakan tubuh kebangkitan yang baru.





























DAFTAR PUSTAKA





1. Araruallorans,                      Kebudayaan Toraja,  Yogyakarta : Pohonahaya

2014



2. Clinebell, Howard,              Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral

2006                            Jakarta : BPK Gunung Mulia



3. Cristian De Jonge,               Apa itu Calvinisme  Jakarta : BPK Gunung Mulia

2008



4. Dhavamony,                        Fenamenologi  Agama,   Yogyakarta : Kanisius  Baruallo

            1995



5. Frans,                                  Kebudayaan Toraja (Masa Lalu, Masa Kini dan Masa

2010                            Mendatang  Jakarta : Universitas Atmajaya



6. Hetty, Nooy-Palm,              The Sa’dan Toraja : A Study of their social life and religion

1979                            The Hague : Nijhoff, Verhandelingen



7. Kombong, dkk,                   Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja,  Pusbang : Badan pekerja

1992                            Sinode gereja Toraja



8. Oikumene,                           Lima Dokumen Kesaan Gereja PGI,  Jakarta : LDKG-PGI 1994



9. Siti PH Aminah, dkk,         Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan

1993                            Budaya Daerah Sulawesi Selatan  Jakarta : Depdikbud



10. Suhartono Sudarhini,        Sejaran Untuk SMP dan MTs  Jakarta : Grasindo

            2006





[1] Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006), 290
[2] Sudarhini Suhartono, Sejaran Untuk SMP dan MTs, (Jakarta ; Grasindo, 2006), 18
[3] Aminah, Siti PH., Faisal dkk, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan
Budaya Daerah Sulawesi Selatan, (Jakarta : Depdikbud, 1993), 23-24

[4] Op. Cit,. [4]Aminah, Siti PH., Faisal dkk, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan
Budaya Daerah Sulawesi Selatan, 29-31

[5] Ibid,. Aminah, Siti PH., Faisal dkk, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan
Budaya Daerah Sulawesi Selatan, 56-57
[6] Nooy-Palm, Hetty,The Sa’danToraja: A Study of their social life and religion, Vol. 1 Organization, symbols and beliefs, (The Hague : Nijhoff, Verhandelingen1979), 87
[7] Baruallo, Frans, Kebudayaan Toraja (Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Mendatang, (Jakarta : Universitas Atmajaya, 2010), 35-38
[8] Kombong, dkk, Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja,(Pusbang : Badan pekerja Sinode gereja Toraja, 1992), 97-104
[9] Araruallorans, Kebudayaan Toraja, (Yogyakarta : Pohonahaya, 2014), 90-91
[10] Dhavamony, Fenamenologi  Agama,(Yogyakarta : Kanisius, 1995), 79
[11] OIKUMENE,  Lima Dokumen Kesaan Gereja PGI,  (Jakarta : LDKG-PGI, 1994), 69
[12] Cristian De Jonge,  Apa itu Calvinisme (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), 257
[13] http://www.kompasiana.com/soniantok/di-balik-upacara-rambu-solo-tana-toraja_55007d9b8133116619fa78ef
[14] Nicholas Dammen, Pengaruh Ritus Rambu Solo Terhadap Perkembangan Pendidikan di Tanah Toraja (Makalah), (Makasar : Gppmator Makasar, 2012), Dikutip dari Internet pada tanggal 01-04-2016, pukul 15.30 WIB
[15] Konsili Vatikan II (1962 – 1969) , artikel 50)
[16] (Guadium et Spes, Konsili Vatikan II (1962 – 1969) , artikel 56)




Comments

Popular posts from this blog

(LX. SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP)

SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP  I. Pendahuluan             Baptisan merupakan salah satu sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.             Kata “baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus. [1] Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan Kristus ke dunia. [2] HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samp...

(LXXVI. MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)

MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON   MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA [1] 1. Biografi             Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada 26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.             Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967 dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul Die Konkretisierung ...

(XXXI. TAFSIRAN HISTORIS KRITIS MAZMUR 23:1-6)

Tinjauan Historis Kitab Mazmur 23:1-6 Oleh " Rahman Saputra Tamba " BAB I Pendahuluan             Nama kitab ini dalam LXX adalah Psalmoi [1] . Alkitab bahasa latin memakai nama yang sama. Kata Yunani (dari kata kerja psallo yang artinya “memetik atau mendentingkan”). Mula-mula digunakan untuk permainan alat musik petik atau untuk alat musik itu. Kemudian kata ini menunjukkan nyanyian ( psalmos ) atau kumpulan nyanyian ( psalterion) . [2] Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul Kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah [3] tehillim yang artinya “puji-pujian atau nyanyian pujian”.             Dalam Alkitab Ibrani, Kitab Mazmur terdapat pada awal bagian Kitab-kitab. Para nabi menempatkan sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Da...