PENGUBURAN DALAM ADAT TORAJA
Oleh : Rahman Saputra Tamba
Agama dalam kesadarannya yang mendalam dari semua umat
beragama bahwa agamanya dipanggil Tuhan untuk melayani kebutuhan manusia yang
terdalam yang tidak boleh dilalaikan sedikit pun untuk tetap berjuang
mencapainya. Dalam pembahasan saat ini, kita akan dikenalkan
dengan agama sebagai institusi dalam dilemma. Dalam dilemma, agama diperhadapkan
dengan pilihan diantara
dua alternatif yang berlawanan.
Yakni antara keputusan “ya” atau “tidak” yang secara langsung
tidak memberikan sebuah kepastian, Karena “ya” belum tentu benar, dan
“tidak” belum tentu salah dan malah mungkin sebaliknya. Jika kita perhatikan,
dapat di lihat bahwa masyarakat dari zaman ke zaman berjalan maju menuju
kebentuk-bentuk kehidupan yang lebih sempurna melalui pola sosiologi yang ada.
Pola ini dikenal dengan proses sosial karena laju kecepatan yang berbeda-beda
untuk kurun waktu zaman yang satu dengan yang lain. Dalam
proses ini, terdapat suatu
fenomena yang membuat perubahan dalam masyarakat serta konflik yang ada didalamnya. Akan tetapi, melalui proses ini, agama tidak mengalami suatu perubahan, dimana agama cenderung bersifat statis dan menimbulkan adanya dilemma didalamnya. Keadaan inilah yang dirasakan oleh umat yang terikat didalamnya serta para instansi maupun kelompok
sosial lainnya (ahli filsafat, teologi dan sosiologi).
Terlebih lagi dalam hal ini, banyak aspek-aspek yang
akhirnya menciptakan adanya dilemma dalam pemahaman tersebut. Berikut ini
beberapa pemahaman berdasarkan penjelasan diatas, yakni :
1.
Dampak dilemma terhadap Religius
Jika
agama mempertahankan kemurnianya,
dan tidak bersifat dinamis maka agama akan kehilangan daya tariknya karena
tidak dapat menyajikan kekayaannya kepada manusia menurut selera zamannya.
Diluar itu, agama juga diperhadapkan dengan adanya pilihan yang sulit antara kekuasaan dan kepemimpinan
dalam memutuskan seorang pemimpin yang kharismatis
ataukah kepemimpinan yang
rasional.
2.
Sekularisasi sebagai penyebab
eksternal
Dalam
problem ini,
agama sering dirasakan menjalankan
tugas dan tanggung jawab tidak sesuai
dengan jalur yang ada. Yang mana sering terdapat kebimbangan antara menyerahkan
kekuasaan dan hak Gereja kepada negara atau yayasan duniawi (pemerintah).
3.
Goyahnya kaidah keagamaan
Goyahnya
kaidah keagamaan,
dapat terjadi ketika umat melakukan sesuatu yang melanggar aturan keagamaan
namun dibenarkan oleh majelis.
Hal ini terjadi karena seringnya majelis maupun anggota menempatkan keputusan
sesuai dengan jalur yang ada. Serta dilakukan dibawah ketidaksadarannya. Hal inilah
yang pada akhirnya akan mencetuskan anggapan bahwa gereja saat ini tidak lagi
memiliki wibawa dalam kelompok maupun perorangan.
4.
Krisis kewibawaan
Krisis
kewibawaan ini terjadi tidak lain
tidak bukan akibat bentuk dari proses sekularisasi menuju
tercapainya kedaulatan manusia dengan melawan kekuasaan yang dipandang tidak
adil.
5.
Jalan keluar
Jalan
keluar yang dapat dilakukan untuk menghadapi problema yang terjadi itu adalah :
A. Umat beragama hendaknya
meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi.
B. .Hendaknya struktur
pemerintahan agama memberikan tempat sewajarnya kepada kaum awam dimana unsur
awam mempunyai hak bersuara untuk ikut menentukan kehidupan Gereja (agama).
C. Tugas-tugas keagamaan
yang sifatnya tidak memerlukan jabatan imamat khusus, hendaknya diserahkan
kepada kaum awam.
D. Kesediaan pemimpin
agama untuk mendorong pengadaan penelitian mengenai masalah penggembalaan umat
dari pandangan sosiologis dan menggunakan kesimpulan yang didapatkannya.
1. Penguburan
Upacara
penguburan adalah suatu kebaktian pengucapan syukur kepada Tuhan karena
perbuatan-Nya melalui orang yang meninggal itu. Dalam upacara penguburan
sepantasnya terdapat nyanyian gereja, doa, pembacaan kitab suci yang membawa
penghiburan yang menguatkan dan juga membantu membebaskan perasaan yang
tertekan. Kebaktian ini bersifat saling mendukung oleh persekutuan Kristen bagi
orang yang kehilangan itu. Dan juga suatu penegasan tentang kepercayaan
komunitas yang membantu orang yang kehilangan menempatkan kehilangan itu dalam
konteks iman yng lebih luas, yang meneguhkan kehidupan.[1]
Penguburan
mayat didahului dengan upacara-upacara sesuai dengan kedudukan masa hidupnya,
lalu jenazah diberikan bekal kubur yang lengkap. Dikenal dua penguburan;
Penguburan tidak langsung (Sekunder),
penguburan langsung (Primer).
Penguburan sekunder dilakukan dengan cara meletakkan mayat ke dalam peti kay
yang berbentuk perahu, sebagai simbol bahwa arwah mampu berlayar ke kehidupan
selanjutnya. Sedangkan penguburan primer, mayat dimasukkan kedalam tempayan
kubur dalam tanah.[2]
2.
Pandangan Umum
terhadap tradisi Rambu Solo (Upacara Kematian)
Dalam masyarakat Toraja, upacara
pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta
pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi
pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua
itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas
rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah
sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang
bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa
penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan
disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa
sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan
ke Puya.[3]
Bagian lain dari pemakaman adalah
penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak
kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya,
yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai
di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan
ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan
tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang.
Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum. Ada tiga cara pemakaman:
Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau
digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu
berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa
bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau-tau biasanya diletakkan di
gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan
tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum
membusuk dan membuat petinya terjatuh. Upacara pemakaman Rambu
Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan. Sementara menunggu
upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah
leluhur atau tongkonan. Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada
bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh
Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini.
Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan
mancanegara. Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada
prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya
untuk sampai menuju nirwana. Bagi kalangan bangsawan yang meninggal maka mereka
memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro
Tedong). Satu di antaranya bahkan kerbau belang yang terkenal mahal harganya.
Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja
dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali
ayunan. Kerbau pun langsung terkapar beberapa saat kemudian.[4]
Teluk Tonkin, terletak antara
Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja.
Telah terjadi inkulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran
Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun
akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan
kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi
Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya
memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai
khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di
antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut
animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an,
misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah
kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar
wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi
dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda
memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957. Misionaris Belanda yang baru datang mendapat
perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang
menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah
secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada
tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[5]
3.
Pandangan Umum
terhadap tradisi Rambu Solo (Upacara Kematian)
Upacara Rambu Solo merupakan suatu kebudayaan yang dimiliki
masyarakat Toraja. Rambu Solo / Aluk Rampe Matampu merupakan rangkaian upacara
yagn menyangkut kematian dan pemakaman manusia. Upacara ini dilaksanakan
setelah lewat tengah mata hari, ketika sinar matahari mulai terbenam
menunjukkan kedukaan atas kematian / pemakaman manusia. Selain itu tradisi itu
juga dianggap sebagai sebuah upacara yang bertujuan untuk menyempurnakan
kematian seseorang. Secara umum, pelaksanaan kegiatan upacara ini biasanya
dilangsungkan pada bulan Juli dan Agustus. Ketika waktu, jenis dan pembagian
tugas telah disepakati didalam rapat keluarga inti untuk menentukan tingkat
upacara. Menurut Aluk Todolo, mati adalah suatu proses perubahan status
semata-mata dari manusia fisik di dunia kepada manusia roh di alam gaib. Rambu
solo ibarat “pintu gerbang” bagi jenazah untuk memasuki alam yang baru. Semakin
banyak hewan yang dikurbankan maka semakin tinggi derajat jenazah ketika berada
di Puya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tradisi Rambu Solo sekaligus
bagi anak keturunan untuk tetap memuliakan orang tua. Sehingga anak keturunan
akan berlomba-lomba mengurbankan hewan sebanyaknya sehingga jenazah memperoleh
tempat yang mulia. Pengurbanan tersebut dapat berupa kerbau ataupun babi.
Didalam pelaksanaanya jumlah dari pada hewan kurban tersebut bervariasi hal ini
dilatarbelakangi oleh kemampuan dari pada keluarga itu sendiri. Misalnya untuk
keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa mencapai sekitar 24 sampai 100 ekor
kerbau. Sedangkan untuk golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau
ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacaa 3 hari. Oleh karena itu, bagi
masyarakat Toraja, tradisi ini merupakan salah satu bentuk bakti seorang anak
kepada orang tua dan pengikat tali silaturahmi dalam keluarga besar.[6]
Secara umum dalam tradisi Rambu Solo, dijabarkan bahwa apabila
semakin tinggi (gua tebing batu) tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat
rohnya untuk sampai menuju nirwana / puya “Dua tempat peristirahatan” tempat
keabadian dimana arwah para leluhur berkumpul. Ditempat ini roh yang meninggal
akan bertransformasi menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah setingkat dewa
(to Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata). Wujud transformasi tersebut
tergantung dari kesempurnaan propesi Rambu Olo. Kerbau-kerbau (tedong) dan babi
yang dikurbankan pada upacara pemakaman, harta benda dan perhiasan-perhiasan
lainnya merupakan bekal dan perlengkapan utama yang akan digunakan di alam
gaib.[7]
Akan tetapi bagi maksyarakat
Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar
orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo, maka orang yang
meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih sakit, maka
orang yang sudah meniggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang
yang masuk hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok
atau sirih. Serta hal-hal lainnya yang biasa dilakukan oleh arwah haruslah
dijalankan seperti biasanya.[8]
Oleh sebab itu, banyak masyarakat baik masyarakat Toraja maupun
masyarakat umum lainnya yang berpandangan bahwa tradisi ini merupakan sebuah
kebudayaan yang bertujuan sebagai upacara penghormatan untuk orang yang sudah
meninggal. Dengan demikian orang akan mampu melakukan segala hal demi
melangsungkan kelancaran acara agar arwah yang telah meninggal dapat diterima
disurga dan tenang.
4.
Pandangan
Agama mengenai Kebudayaan Suku Toraja dalam prosesi Penguburan
Aluk adalah istilah umum
yang diterjemahkan langsung dari istilah Agama. Aluk Todolo berarti agama para
leluhur yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Toraja. Sedangkan
Rambu solo berasal dari kataRambu yang artinya Asap dan solo yang artinyaTurun.
Oleh karena itu dapat diartikan bahwa rambu solodalam pandangan agama berarti :
suatu kiasan persembahan yang ditujukan kepada jiwa orang yang sudah meninggal
dan segala sesuatu yang dikorbankan baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa
ikut dibawah oleh jiwa tersebut ke Puya(dunia oarang mati) dan upacara dimulai
saat matahari condong ke Barat sampai petang).
Dalam pandangan agama, tradisi Rambu Solo (Upacara
Kematian) merupakan kegiatan upacara yang dilakukan atas dasar penyembahan
terhadap dewa-dewa atau arwah nenek
moyang yang telah pergi. Hal ini sebenarnya sangatlah bertentangna dengan
prinsip agama kristen yang melarang akan tindakan tersebut. Hal ini dikarenakan
bagi menurut pandangan kristen, apabila orang tersebut telah meninggal, maka
dirinya tidak memiliki hubungan lagi baik dengan keturunan maupun keluarga yang
ada di dunia. Terlebih pula mayat orang yang sudah meninggal tersebut hanyalah
sebatas tubuh yang kaku (bangkai) yang tidak berisi roh lagi.
Tidak hanya itu, pertentangan tersebut juga terlihat pada
acara pemakaman. Dimana dalam pelaksanaanya terdapat kejanggalan antara lain :
keluarga yang belum mampu memenuhi syarat pemakaman, belumlah dapat menguburkan
anggota keluarganya di dinding-dinding goa. Dan
sejak saat itu keluarga haruslah tetap merawat bahkan berlaku seperti
biasanya terhadap mayat anggota keluarga tersebut.[9]
Tidak hanya dalam pandangan Kristen, ajaran Islam juga
berpendapat sama dalam hal ini. Dimana ajaran Islam pada dasarnya tidaklah
pernah mengajarkan tradisi yang ada di tanah Toraja (Sambu Solo). Dalam
pandangannya, manusia yang telah mati, haruslah segera dikuburkan pada hari
kematiannya juga. Sebab apabila jenazah tersebut tidak langsung dikuburkan,
maka dapat memperpajang keluarga untuk tetap bersedih menagisi kematiannya.[10]
Tidak hanya itu, baik ajaran Kristen maupun Islam
sama-sama mengajarkan bahwa orang yang sudah meniggal haruslah dikuburkan
didalam tanah. Hal ini didasarkan atas kitab masing-masing penganutnya yang
berpendapat bahwa “Manusia diciptakan dari debu
dan tanah” oleh sebab itu melalui landasan diatas, apabila ada anggota
keluarga yang meninggal haruslah dikuburkan dalam tanah dan bukan didalam
goa-goa layaknya tradisi tanah Toraja. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
dalam pandangan agama, tradisi Sambo Solo merupakan tradisi yang sangatlah
bertentangan terhadap agama karena didalamnya terdapat unsur-unsur penyembahan
serta ritual-ritual yang diperuntukkan terhadap roh-roh atau dewa-dewa yang
telah meninggal.
Dalam dokumen keesaan gereja BAB XII mengenai
penguburan/pengaubuan dikatakan bahwa diakui, menerima pelayanan upacara
penguburan dan atau pengabuan menurut pemahaman dan peraturan gereja anggota
PGI, untuk memberitakan kebangkitan Kristus, bahwa ia telah mengalahkan maut,
dan untuk memberikan penghiburan (1 Tes.
4:18) dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan. Penghiburan dan pengharapan
ini berdasar pada kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Bahwa manusia
yang mati di dalam Kristus kepadanya
akan diberikan tubuh yang baru, yaitu tubuh kemuliaan atau tubuh rohani yang
tidak lagi mengalami kebinasaan. Bahwa Tuhan bukanlah Tuhan buat orang yang
hidup saya, tetapi juga Tuhan yang kesetiaan-Nya tetap dialami oleh orang orang
yang telah meninggal. Hal ini tampak di dalam kebangkitan dari antara orang
mati bagi setiap orang yang mati didalam Yesus Kristus untuk beroleh kasih dan
kemuliaan Allah (Rm. 8:9; 14:8; 1 Kor. 15:35-38; Flp. 3:21; 1 Tes. 4:13-18).[11]
Sikap
gereja sepanjang masa terhadap penguburan mayat. Berbeda dengansikap gereja
terhadap adat kematian toraja atau batak- terhadap kebiasaan untuk membakar
tubuh orang yang sudah meninggal, gereja sudah lama menunjukan sikap menentang.
Sikap ini berasal dari adat Yahudi, yang melihat pengabuan mayat sebagai
hukuman penjahat (Im. 20:14; 21:9; Yos. 7:25). Oleh sebab itu ditentang
kebiasaan membakar mayat pada orang Yunani, Romawi, dan juga orang German,
sampai berhasil ditiadakan oleh Charles Agung (800). Oleh karena itu tidak ada
pendapat Calvin mengenai pengabuan. Ketika pada abad ke-19 orang di Eropa
mempropogandakan kembali pengabuan. Gereja-gereja protestan, biarpun tidak
melarang kremasi, juga tidak mendukungnya, karena telah terjadi kesadaran bagi
orang Kristen yang mengajarkan bahwa untuk mayat yang hilang karena kebakaran,
dimakan binatang dan sebagainya tidak perlu diragukan kebangkitan daging,
karena Allah akan menciptakan tubuh kebangkitan yang baru. Disadari bahwa bukan
penguburan, tetapi kematian sendiri yang menandai permulaan kebangkitan (1 Kor.
15), sedangkan pilihan antara pengabuan atau penguburan dapat diserahkan kepada
orang percaya sendiri, sesuai juga dengan kebiasaan yang berlaku di daerah
tertentu.[12]
5.
Dampak
prosesi Penguburan tersebut terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya
Dari sekian
banyaknya budaya dan tradisi yang dimiliki, yang paling banyak diekspos adalah
Rambu solo’ atau yang disebut dengan upacara kematian. Rambu solo’ adalah
upacara besar-besaran yang sering diadakan oleh masyarakat Toraja, sehingga
tidak heran jika dari semua acara baik itu acara perkawinan maupun acara
syukuran, upacara rambu solo’ menduduki urutan pertama. Masyarakat Tana Toraja
bahkan tidak segan-segan untuk mengeluarkan uang ratusan juta hingga milyaran
rupiah. Oleh karena itu, upacara rambu solo’ adalah upacara yang sering
dicari-cari oleh wisatawan dari luar.
Tetapi
tahukah kalian apa yang terjadi di balik upacara adat itu? Ada keluarga
kelihatan sangat sederhana, hidup pas-pasan. Bisa menyediakan puluhan babi dan
3 sampai 5 kerbau dalam setiap upacara rambu solo’. Sekedar tahu saja, harga
seekor babi diatas dua jutaan dan harga seekor kerbau diatas 10 juta. Belum
lagi dengan kerbu belang (Tedong bonga) Namun, Apakah ada dampak yang dirasakan
dari pihak keluarga itu sendiri? Kalau kita menyusuri beberapa keluarga yang
masih sangat kuat dengan adat istiadanya, dampak negatifnya lebih banyak dari
yang positif. Orang tua cenderung untuk mempertahankan status sosialnya dalam
masyarakat, sehingga yang menjadi tujuan mereka adalah upacara adat dan
cenderung mngesampingkan pendidikan dan masa depan anak-anaknya. Sehingga tidak
heran jika orang tua yang demikian, akan selalu mengeluh bahkan menolak untuk
membayar uang sekolah, giliran pengadaan dana untuk upacara adat, orang tua
selalu siap. Jadi upacara rambu solo’ menjadi prioritas pertama dibandingkan
pendidikan anak, lifestyle dan property. Namun bagaimanakah seharusnya
menyikapi hal tersebut? Orang tua kadang tidak realistis dalam
memandang/menargetkan suatu upacara adat, mereka mengeluarkan banyak uang
padahal mereka sebenarnya tidak mempunyai sebanyak itu. Sehingga yang terjadi
adalah utang sana-sini. Adanya pola pikir yang demikian tentu akan menghambat
untuk tidak melakukan hal yang benar dan realistis.[13]
Pelaksanaan ritual rambu solo’ di Tana Toraja sarat dengan
nilai-nilai sosial.Nilai-nilai sosial yang terbentuk dalam upacara kematian
ini, lama-kelamaan akhirnya menjelma menjadi tradisi dalam tata pergaulan
masyarakat adat Toraja.Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab ritus rambu
solo’ tetap bertahan di tengah zaman yang berubah. Menurut
Prof. M. Paranoan, (M. Paranoan, 1990 : 15 – 22) motivasi sosio-kultural
memainkan peranan penting dalam pada perlakuan orang mati di Tana Toraja antara
lain :
·
Sebagai wadah pemersatu keluarga artinya; melalui
ritus rambu solo’, relasi kekeluargaan disegarkan kembali. Ritual ini
menjadi ajang reuni para kaum kerabat, bahkan dengan semua handai tolan atau
kenalan biasa. Orang bertamu, duduk bercerita massalu nene’ (menelusuri
garis keturunan) sambil ma’ panggan (siri-pinang) sehingga hubungan
kekerabatan antara keluarga besar kembali erat.
·
Sebagai tempat
membagi warisan artinya; suatu kebiasaan yang dilakukan keluarga si mati dalam
ritus rambu solo’ adalah ma’ tallang atau mangrinding
(membagi warisan). Ma’tallang artinya mendapatkan harta warisan “si
mati” lewat mantunu (mengorbankan kerbau dan babi pada saat upacara
kematian si mati. Yang berhak ikut ma’tallang ialah anak kandung si
mati, kalau si mati tidak mempunyai anak, maka saudaranya berkewajiban
menyelenggarakan upacara kematian dan berhak atas harta benda si mati dengan
jalan ma’tallang.
·
Sebagai tempat menyatakan martabat artinya; dalam
setiap ritus rambu solo’ martabat dan harga diri orang Toraja dinyatakan
lewat ma’tallang. Anak dan keluarga “si mati” akan berlomba mencari
kerbau yang nilainya tinggi dalam konteks budaya Toraja. Sehingga banyaknya
kerbau dan babi serta keberhasilan dan kemeriahan penyelenggaraan ritus rambu
solo’akan meningkatkan martabat keluarga dan menciptakan nilai budaya
tinggi. Di sinilah letak keunikan orang Toraja dalam menghadapi upacara
kematian karena tidak berhitung ekonomis, tetapi yang ditonjolkan ialah karapasan
(kedamaian).
·
Sebagai tempat bergotong royong artinya; salah satu
ciri khas orang Toraja adalah gotong-royong, hal ini terlihat dalam tradisi sembangan
ongan (bantuan keluarga atau kenalan sebagai ungkapan belasungkawa) yang
ditujukan untuk membantu pelaksanan ritus rambu solo’. Semua sembangan
ongan berupa kerbau dan babi tidak boleh ditolak oleh keluarga “si mati”. Pada
waktu si pemberi sembangan ongan mengalami kedukaan, barulah bantuan sembangan
ongan-nya dikembalikan yang disebut umbaya’ indan (membayar utang).
Utang sembangan ongan tidak boleh ditagih, walaupun begitu setiap
kelurga yang berhutang akan menggantinya dan membayarnya kembali sesuai dengan
prinsip saling mempercayai dengan penuh tanggung jawab.
·
Sebagai wadah pengembangan seni artinya; dalam ritus
rambu solo’, kesenian orang Toraja dipertunjukkan. Hal ini terlihat pada balun
(kain kafan) berwarna merah, kuning diukir dengan corak matahari yang bahannya
bergantung pada status sosial “si mati”. Selama upacara berlangsung secara
berganti-ganti ditampilkan berbagai kesenian hingga lagu duka yang
mengungkapkan keberanian, kebaikan hati atau riwayat hidup “si mati”.Para tamu
yang datang ma’sembangan ongan memasuki rante (tempat upacara
dilangsungkan) dengan berbaris secara artistik ma’ulang bulu (berbaris
memanjang bagaikan pintalan ijuk). Kemudian para tamu disambut oleh pa’rinding
(penerima tamu) dengan tarian kebesaran, diikuti keluarga yang berpakaian serba
hitam mengantarkan siri dan pinang.
·
Tempat rekreasi
dan memberi makan rakyat artinya; berbagai atraksi, unsur ritus rambu solo’
ditampilkan seperti, ma’palao (mengarak jenazah), ma’pasilaga tedong (adu
kerbau), ma’sembangan ongan (barisan tamu), ma’marakka, ma’ badong,
massuling, yang mengungkapkan riwayat hidup “si mati” dalam lagu duka, ma’randing
(tarian penyambutan tamu), ummbating, (meratap), merupakan atraksi yang
sangat menarik ditonton dan dialami sendiri.Para tamu dan kerabat, duduk
bersantai, makan bersama, ma’puama (bercerita). Semuanya berlangsung
dalam interaksi-partisipasi-spontan, tanpa perintah. Mereka senang berkumpul,
berkenalan dalam suasana rileks.Semua orang yang hadir dalam upacara tersebut
diberi makan oleh keluarga “si mati” sebagai penyelenggara pesta. Kerbau,
babi, yang dipotong selama beberapa hari dijadikan lauk-pauk. Pada hari
terakhir, semua babi dan kerbau yang masih tersisah dipotong semua – dagingnya
lalu dibagikan kepada pemangku adat, tokoh masyarakat, pemerintah dan rakyat
sekitar. Sebelum hewan kurban disembeli sebagian disisihkan untuk sumbangan
pembangunan seperti; pendidikan, kesehatan, jalanan, rumah ibadat, pengairan
dan fasilitas umum lainnya.
Keunikan
dalam ritus rambu solo’ adalah mengandung sifat ambivalensi – di satu
pihak berduka dan di pihak lain bergembira, namun tetap tercipta kedamaian pada
semua pihak.[14]
6.
Dampak
prosesi Penguburan Tersebut terhadap Agama/ Gereja
Meskipun
jumlah umat Katholik Roma lebih kecil dibanding dengan jemaat Kristen
Protestan, (Kristen Protestan298.221 jiwa, Katolik108.850 jiwa dari
total 450.000 jiwa penduduk Tana Toraja) namun pengaruh Gereja Katholik
sangat kuat serta berjasa besar menyelamatkan kebudayaan suku Toraja yang kini
akan dijadikan UNESCO (United Nation Education Social Culture Organization)
sebagai warisan kebudayaan dunia. Hal itu terlihat pada dilegalkannya ritus rambu
solo’ untuk dilaksanakan oleh umat Katholik Toraja. Sebab ritual rambu
solo’ selaras dengan dogma gereja tentang hubungan antara orang yang telah
mati dengan orang yang masih hidup di dunia dan Guadium et Spes yang
menaruh penghargaan besar terhadap kebudayaan lokal.
Gereja kaum musafir menyadari sepenuhnya persekutuan seluruh dalam Tubuh
mistik Kristus itu.Sejak masa pertama agama Kristiani, Gereja dengan sangat
kidmad merayakan kenangan mereka yang telah meninggal. Dan karena
“inilah suatu pikiran yang mursid dan saleh: mendoakan mereka yang meninggal
supaya dilepaskan dari dosa-dosa mereka” (2 Mak 12:46), maka Gereja juga
mempersembahkan kurban-kurban silih bagi mereka.” (Sifat Eskatologis Gereja
Musafir dan Persekutuannya dengan Gereja di Surga.[15]
Dalam Guadium et Spes, Gereja berusaha mendorong pelbagai golongan
dan bangsa ke arah dialog yang sejati dan subur, sehingga jangan justru
mengacaukan kehidupan masyarakat, atau menumbangkan kebijaksanaan para leluhur,
atau membahayakan watak peragai bangsa-bangsa yang khas.[16]Dua dogma
Gereja inilah yang melindungi ritus rambu solo’ sehingga tetap dapat
dilaksanakan tanpa mengacaukan iman Kristiani dengan perubahan makna-makna yang
terkandung dalamnya. Kalau dulunya dipersembahkan kepada deata (bandingkan
dengan kebiasaan orang Israel pada zaman Perjanjian Lama yang mengurbankan
domba jantan kepada Tuhan) kini dimaknai sebagai alat pembagi
warisan, konsumsi kerabat yang melayat, dan sebagai pembayar daging yang telah
diterima oleh si mati semasa hidupnya dari anggota masyarakat adat.
BAB
III
KESIMPULAN
Kita
percaya pengharapan eskatologis, yaitu kebangkitan orang mati, kebangkitan
tubuh, baik
mereka yang percaya maupun yang tidak percaya, baik mereka yang baru meninggal maupun
mereka yang sudah lama meninggal, baik
yang meninggal yang masih terlihat jasadnya, maupun yang jasadnya telah hancur
atau lenyap. Kalau salah satu alasan keberatan terhadap cara kremasi adalah
meniadakan jasad tubuh kebangkitan, alasan ini seakan-akan menjadikan dirinya
syarat bagaimana Allah akan bekerja untuk membangkitkan orang mati.
Kita
harus menyadari bahwa perlakuan atas jenazah dengan cara penguburan maupun
kremasi, keduanya sama-sama membuat jenazah mengalami dekomposisi. Inilah yang
menjadi bukti betapa fananya tubuh jasmani ini. Namun ini tidak berarti kita
boleh memakai segala cara, termasuk cara promessi dan resomasi. Gereja-gereja
protestan, biarpun tidak melarang kremasi, pengawetan, juga tidak mendukungnya,
karena telah terjadi kesadaran bagi orang Kristen yang mengajarkan bahwa untuk
mayat yang hilang karena kebakaran, dimakan binatang dan sebagainya tidak perlu
diragukan kebangkitan daging, karena Allah akan menciptakan tubuh kebangkitan
yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Araruallorans, Kebudayaan Toraja, Yogyakarta : Pohonahaya
2014
2. Clinebell, Howard, Tipe-tipe Dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral
2006 Jakarta
: BPK Gunung Mulia
3. Cristian
De Jonge, Apa itu
Calvinisme Jakarta : BPK Gunung Mulia
2008
4. Dhavamony, Fenamenologi Agama, Yogyakarta : Kanisius Baruallo
1995
5. Frans, Kebudayaan Toraja
(Masa Lalu, Masa Kini dan Masa
2010 Mendatang Jakarta : Universitas Atmajaya
6. Hetty, Nooy-Palm, The
Sa’dan Toraja : A
Study of their social life and religion
1979 The Hague : Nijhoff, Verhandelingen
7. Kombong,
dkk, Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja, Pusbang : Badan pekerja
1992 Sinode gereja Toraja
8. Oikumene, Lima Dokumen Kesaan Gereja PGI, Jakarta : LDKG-PGI 1994
9. Siti
PH Aminah, dkk, Dampak
Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan
1993 Budaya Daerah Sulawesi Selatan Jakarta : Depdikbud
10. Suhartono
Sudarhini, Sejaran Untuk SMP dan MTs
Jakarta : Grasindo
2006
[1] Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 2006), 290
[2] Sudarhini Suhartono, Sejaran
Untuk SMP dan MTs, (Jakarta ; Grasindo, 2006), 18
Budaya
Daerah Sulawesi Selatan, (Jakarta : Depdikbud, 1993), 23-24
Budaya Daerah
Sulawesi Selatan, 29-31
Budaya Daerah
Sulawesi Selatan, 56-57
[6] Nooy-Palm, Hetty,The Sa’danToraja: A Study of their
social life and religion,
Vol. 1 Organization, symbols and beliefs, (The Hague : Nijhoff,
Verhandelingen1979), 87
[7] Baruallo, Frans, Kebudayaan Toraja (Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Mendatang, (Jakarta : Universitas Atmajaya, 2010), 35-38
[8] Kombong, dkk, Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja,(Pusbang : Badan pekerja Sinode gereja Toraja, 1992), 97-104
[9] Araruallorans, Kebudayaan Toraja, (Yogyakarta : Pohonahaya, 2014), 90-91
[10] Dhavamony, Fenamenologi Agama,(Yogyakarta : Kanisius, 1995), 79
[11] OIKUMENE, Lima Dokumen Kesaan Gereja PGI, (Jakarta
: LDKG-PGI,
1994),
69
[12]
Cristian De Jonge, Apa itu Calvinisme (Jakarta : BPK Gunung Mulia,
2008), 257
[13] http://www.kompasiana.com/soniantok/di-balik-upacara-rambu-solo-tana-toraja_55007d9b8133116619fa78ef
[14] Nicholas Dammen, Pengaruh Ritus Rambu Solo Terhadap Perkembangan Pendidikan di Tanah
Toraja (Makalah), (Makasar : Gppmator
Makasar, 2012), Dikutip dari Internet pada tanggal 01-04-2016, pukul 15.30 WIB
[15] Konsili Vatikan II
(1962 – 1969) , artikel 50)
Comments
Post a Comment