AGAMA DALAM DILEMA
Oleh : Rahman Saputra Tamba
I. Pendahuluan
Pada dasarnya agama memiliki sifat aktif.
Dimana Agama mampu terus berkembang baik melalui kehidupan Individu maunpun
kelompok. Perkembangan agama juga didukung oleh anggota-anggota kelompok yang
memiliki tujuan yang sama didalam sebuah komunitas. Selain itu, agama juga
memiliki adil yang sangat besar dalam mempengaruhi sebuah komunitas baik
positif maupun negatif. Hingga timbullah pernyataan bahwa agama berkembang
sebagai suatu organisasi. Akan tetapi, masuknya agama didalam sebuah organisasi
kelembagaan menimbulkan dampak tersendiri bagi organisasi tersebut. Hal ini
dikarenakan pada akhirnya agama akan menjadi sebuah institusi. Dan menyebabkan
akan timbul Dilemma didalam institusi tersebut.
II. Isi
Berbicara kondisi saat ini, situasi dan kondisi
masyarakat sudah lah berubah dari masa kemasa, namun keadaan agama masih tetap
saja tidak berubah. Jika agama tidak mau menerima segala perkembangan jaman
serta pemikiran pemikiran baru maka kharisma agama serta keberadaannya lambat
laun akan kehilangan daya tariknya (eksistensinya) ditengah-tengah masyarakat.
Akan Tetapi Jika agama memilih kepemimpinan itu sebagai unsur yang mutlak dan
harus diadakan maka agama harus terbentur dengan sebuah Dilema diatas.
Beralihnya
nilai-nilai dan institusi agama menjadi nilai-nilai dan institusi non agama,
ini jelas ditemukan memiliki warna tersendiri yang disebut Sekulerisasi. Ini
mengacu kepada pandangan hidup atau ideologi yang lepas dari campur tangan Tuhan
yang
dapat diartikan dalam pandangan hidup atheis. Pandangan agama terhadap sekulerisasi ini ialah agama
menggunakan kekuatan supra-empiris dari dunia lain. Sikap mendukung dapat dilihat dari segi ideal yag hendak
memanusiakan manusia, namun agama juga menjelaskan ajaran-ajarannya secara rasional
dengan mengandalkan filsafat dan ilmu pengetahuan empiris. Dalam hal ini muncul
krisis pranata keagamaan, dikarenakan tiadanya kesesuaian tertib hukum agama
dengan masyarakat yang sudah berbeda. Dalam berbagai peristiwa yang menyangkut
hal itu maka dapat disimpulkan bahwa norma-norma hukum agama telah kehilangan
kekuatannya apabila infra struktur norma-norma
hukum itu runtuh. Sementara itu penganut agama dari waktu ke waktu menjadi
semakin sadar bahwa hukum keagamaan yang ditentukan oleh kekuasaan sentral,
baik yang sifatnya etis maupun non-etis, dan yang semula dinilai berlaku
absolut, ternyata tidak demikian kenyataannya. Identifikasi keagamaan juga bisa
menjadi pemisah didalam masyarakat, dalam perang keagamaan setelah reformasi identifikasi keagamaan yang berpusat pada
batasan diri dengan kelompok telah terbukti dengan jelas sebagai sarana
memperburuk keadaan.
Selain itu adaa pula krisis kewibawaan agama pada umumnya tidak ain merupakan salah satu
bentuk proses sekularisasi menuju tercapainya kedaulatan (otonomi) manusia
dengan melawana kekuasaan yang dipandang tidak memiliki keadilan. Hal ini
sangat jelas jika kekuasaan dan kewibawaan dikembalikan denga arti sebenarnya
yaitu menambah dan melengkapi untuk kemudian dapat berdiri sendiri sebagai manusia
yang berdaulat, yang mampu menentukan pilihannya sendiri dalam merencanakan
nasibnya tanpa menerima interverensi dari pihak lain kecuali atas kehendaknya
sendiri.
III. Kesimpulan
Dalam pembahasan ini, Kita dibekali dengan bagaimana
semestinya fungsi keagamaan itu, Sehingga kita mampu untuk hidup sesuai dengan
norma-norma atau kaidah yang ada dalam kehidupan kita sehari hari sebagai
mahluk sosial. Yang tentunya tidak terlepas dari berbagai dilema yang akan kita
hadapi layaknya jika kita melaksanakan sesuatu, maka kita akan mendapatkan
konsekuensi akan apa yang kita lakukan, serta dalam hal ini kita dimampukan
untuk mengetahui seberapa pentingnya agama, dan seberapa pentingnya kita untuk
bersikap dewasa dan mandiri tanpa adanya interverensi dari pihak lain dalam
kita menenetukan pilihan serta bukti bahwa kita mampu menghadapi segala dilema
yang terjadi, baik dalam agama maupun dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan dalam hal ini jelas kita menemukan bahwasanya tugas-tugas
keagamaan tidak memerlukan jabatan khusus. Diperlukan juga perubahan yang
khusus dari pola tradisional, untuk
membuktikan bahwasanya agama (gereja) mempelopori perwujutan cita-cita atau
demokrasi kedalam dan keluar kehendak agama, memberikan tempat sewajarnya
terhadap masyarakat tradisional dan memberikan hak-hak yang sewajarnya terhadap
masyarakat untuk hidup Bebas, Merdeka tanpa adanya intervernsi dari pihak lain.
Comments
Post a Comment