Skip to main content

(XXXIV. AGAMA DAN DILEMA)


AGAMA DALAM DILEMA
Oleh : Rahman Saputra Tamba



I. Pendahuluan

            Pada dasarnya agama memiliki sifat aktif. Dimana Agama mampu terus berkembang baik melalui kehidupan Individu maunpun kelompok. Perkembangan agama juga didukung oleh anggota-anggota kelompok yang memiliki tujuan yang sama didalam sebuah komunitas. Selain itu, agama juga memiliki adil yang sangat besar dalam mempengaruhi sebuah komunitas baik positif maupun negatif. Hingga timbullah pernyataan bahwa agama berkembang sebagai suatu organisasi. Akan tetapi, masuknya agama didalam sebuah organisasi kelembagaan menimbulkan dampak tersendiri bagi organisasi tersebut. Hal ini dikarenakan pada akhirnya agama akan menjadi sebuah institusi. Dan menyebabkan akan timbul Dilemma didalam institusi tersebut.



II. Isi

Berbicara kondisi saat ini, situasi dan kondisi masyarakat sudah lah berubah dari masa kemasa, namun keadaan agama masih tetap saja tidak berubah. Jika agama tidak mau menerima segala perkembangan jaman serta pemikiran pemikiran baru maka kharisma agama serta keberadaannya lambat laun akan kehilangan daya tariknya (eksistensinya) ditengah-tengah masyarakat. Akan Tetapi Jika agama memilih kepemimpinan itu sebagai unsur yang mutlak dan harus diadakan maka agama harus terbentur dengan sebuah Dilema diatas.

Beralihnya nilai-nilai dan institusi agama menjadi nilai-nilai dan institusi non agama, ini jelas ditemukan memiliki warna tersendiri yang disebut Sekulerisasi. Ini mengacu kepada pandangan hidup atau ideologi yang lepas dari campur tangan Tuhan yang dapat diartikan dalam pandangan hidup atheis. Pandangan agama terhadap sekulerisasi ini ialah agama menggunakan kekuatan supra-empiris dari dunia lain. Sikap mendukung dapat dilihat dari segi ideal yag hendak memanusiakan manusia, namun agama juga menjelaskan ajaran-ajarannya secara rasional dengan mengandalkan filsafat dan ilmu pengetahuan empiris. Dalam hal ini muncul krisis pranata keagamaan, dikarenakan tiadanya kesesuaian tertib hukum agama dengan masyarakat yang sudah berbeda. Dalam berbagai peristiwa yang menyangkut hal itu maka dapat disimpulkan bahwa norma-norma hukum agama telah kehilangan kekuatannya apabila infra struktur norma-norma hukum itu runtuh. Sementara itu penganut agama dari waktu ke waktu menjadi semakin sadar bahwa hukum keagamaan yang ditentukan oleh kekuasaan sentral, baik yang sifatnya etis maupun non-etis, dan yang semula dinilai berlaku absolut, ternyata tidak demikian kenyataannya. Identifikasi keagamaan juga bisa menjadi pemisah didalam masyarakat, dalam perang keagamaan setelah reformasi  identifikasi keagamaan yang berpusat pada batasan diri dengan kelompok telah terbukti dengan jelas sebagai sarana memperburuk keadaan.

            Selain itu adaa pula krisis kewibawaan agama pada umumnya tidak ain merupakan salah satu bentuk proses sekularisasi menuju tercapainya kedaulatan (otonomi) manusia dengan melawana kekuasaan yang dipandang tidak memiliki keadilan. Hal ini sangat jelas jika kekuasaan dan kewibawaan dikembalikan denga arti sebenarnya yaitu menambah dan melengkapi untuk kemudian dapat berdiri sendiri sebagai manusia yang berdaulat, yang mampu menentukan pilihannya sendiri dalam merencanakan nasibnya tanpa menerima interverensi dari pihak lain kecuali atas kehendaknya sendiri.



III. Kesimpulan

Dalam pembahasan ini, Kita dibekali dengan bagaimana semestinya fungsi keagamaan itu, Sehingga kita mampu untuk hidup sesuai dengan norma-norma atau kaidah yang ada dalam kehidupan kita sehari hari sebagai mahluk sosial. Yang tentunya tidak terlepas dari berbagai dilema yang akan kita hadapi layaknya jika kita melaksanakan sesuatu, maka kita akan mendapatkan konsekuensi akan apa yang kita lakukan, serta dalam hal ini kita dimampukan untuk mengetahui seberapa pentingnya agama, dan seberapa pentingnya kita untuk bersikap dewasa dan mandiri tanpa adanya interverensi dari pihak lain dalam kita menenetukan pilihan serta bukti bahwa kita mampu menghadapi segala dilema yang terjadi, baik dalam agama maupun dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan dalam hal ini jelas kita menemukan bahwasanya tugas-tugas keagamaan tidak memerlukan jabatan khusus. Diperlukan juga perubahan yang khusus  dari pola tradisional, untuk membuktikan bahwasanya agama (gereja) mempelopori perwujutan cita-cita atau demokrasi kedalam dan keluar kehendak agama, memberikan tempat sewajarnya terhadap masyarakat tradisional dan memberikan hak-hak yang sewajarnya terhadap masyarakat untuk hidup Bebas, Merdeka tanpa adanya intervernsi dari pihak lain.

Comments

Popular posts from this blog

(LX. SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP)

SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP  I. Pendahuluan             Baptisan merupakan salah satu sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.             Kata “baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus. [1] Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan Kristus ke dunia. [2] HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samp...

(LXXVI. MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)

MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON   MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA [1] 1. Biografi             Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada 26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.             Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967 dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul Die Konkretisierung ...

(XXXI. TAFSIRAN HISTORIS KRITIS MAZMUR 23:1-6)

Tinjauan Historis Kitab Mazmur 23:1-6 Oleh " Rahman Saputra Tamba " BAB I Pendahuluan             Nama kitab ini dalam LXX adalah Psalmoi [1] . Alkitab bahasa latin memakai nama yang sama. Kata Yunani (dari kata kerja psallo yang artinya “memetik atau mendentingkan”). Mula-mula digunakan untuk permainan alat musik petik atau untuk alat musik itu. Kemudian kata ini menunjukkan nyanyian ( psalmos ) atau kumpulan nyanyian ( psalterion) . [2] Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul Kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah [3] tehillim yang artinya “puji-pujian atau nyanyian pujian”.             Dalam Alkitab Ibrani, Kitab Mazmur terdapat pada awal bagian Kitab-kitab. Para nabi menempatkan sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Da...