SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP
I. Pendahuluan
Baptisan merupakan salah satu sakramen yang
diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja
melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.
Kata
“baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke
dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi
“baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus.[1]
Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di
tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan
datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan
Kristus ke dunia.[2]
HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia
mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samping
Perjamuan Kudus. Sebagai salah satu gereja yang berdiri atas nama suku –HKBP
merupakan singkatan dari Huria (Gereja) Kristen Batak Protestan— maka
HKBP juga melihat bahwa ternyata sakramen Baptisan yang dilayankan oleh gereja
sejalan dengan adat yang dimiliki oleh orang Batak sejak dulu. Dalam kebudayaan
suku Batak terdapat suatu upacara yang mirip dengan Baptisan Kudus Kristen.
Seorang anak yang lahir, menurut tradisi, dibawa ke suatu mata air atau ke
sebuah sungai untuk dipermandikan (patutuaekkon). Pada saat yang sama
digunakan untuk memberikan nama anak itu (mangalap goar atau mengambil
nama).[3]
Oleh karena itu, dalam paper ini penulis tertarik untuk memaparkan bagaimana
HKBP mengartikan Baptisan sebagai sakramen (tinjauan teologis), bagaimana HKBP
melayankan sakramen Baptisan Kudus bagi jemaat (tinjauan Liturgis), budaya
orang Batak yang sejalan dengan Baptisan, dan kemudian penulis akan memberikan
pandangan penulis sendiri mengenai hal tersebut.
II. Baptisan Kudus di HKBP
Di HKBP hanya diakui dua sakramen, yakni
Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus. Baptisan Kudus sendiri dilayankan dalam
beberapa jenis, yaitu: baptisan bagi orang dewasa, baptisan anak, dan baptisan
dalam keadaan darurat atau dalam bahasa Batak sering disebut sebagai Pandidion
(Baptisan) Na Hinipu (yang tiba-tiba/mendadak). Masing-masing
baptisan ini dilayankan secara berbeda dalam hal liturgis. Pertanyaan yang
diajukan kepada orang dewasa yang akan dibaptis berbeda dengan pertanyaan yang
diajukan kepada orangtua dalam Baptisan Anak. Sedangkan Pandidion Na Hinipu biasanya
dilayankan pada bayi yang sakit atau dalam keadaan yang sekarat.
Sebelum
kita membahas secara lebih lanjut mengenai bagaimana liturgi masing-masing
baptisan tersebut dilayankan, maka dalam Bab ini terlebih dahulu kita akan
melihat bagaimana HKBP mengartikan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen
yang dilayankan bagi jemaat. Pengartian ini akan kita tinjau berdasarkan
dokumen-dokumen gereja yang menjadi dasar di HKBP.
2.1. Baptisan Kudus dalam Katekhismus Martin
Luther
HKBP
merupakan salah satu gereja Protestan yang berdasar pada pandangan-pandangan
reformasi dari Martin Luther. Biasanya HKBP juga disebut sebagai gereja yang
beraliran Lutheran. Oleh karena itu, kebanyakan teologi yang “dianut” oleh HKBP
didasarkan pada pandangan-pandangan dari Martin Luther.
Salah
satu buah pikiran Luther yang dipakai di HKBP adalah Katekhismus yang
disusunnya. Salah satu pokok pikiran yang diatur dalam katekhismus adalah
pengertian mengenai Baptisan Kudus sebagai sakramen yang diperintahkan oleh
Tuhan Yesus Kristus sendiri. Dalam katekhismus kecilnya, Luther mengartikan
Baptisan sebagai berikut[4]:
Baptisan bukanlah hanya air biasa, melainkan baptisan itu adalah air
yang dipesankan Tuhan dan diberkati dengan Firman Allah. Dengan demikian
Baptisan tidak lain daripada air Allah sendiri –bukan karena air itu sendiri
lebih istimewa daripada segala jenis air yang lain, tetapi karena firman dan
perintah Allah menyertainya.[5]
Pesan tersebut tertulis dalam fasal terakhir kitab Matius (Mat. 28:19).
Baptisan adalah wujud kasih Allah kepada manusia. Oleh karena itu, melalui
baptisan, orang percaya akan memperoleh keampunan dosa, kelahiran yang baru,
dan kelepasan dari kematian dan iblis dan mendapat keselamatan yang kekal.
Baptisan ini memberikan keampunan dosa, kelepasan dari kematian dan
iblis serta memberi keselamatan yang kekal kepada semua orang yang percaya
kepada baptisan itu sebagai Firman dan Janji Allah yang dinyatakan. Ini
merupakan Janji Allah yang dinyatakan dalam pasal terakhir dari Kitab Markus.
Dalam
baptisan air dianggap memiliki kuasa yang besar, namun sesungguhnya bukan air
itu yang mempunyai kekuatan, melainkan Firman Tuhan yang ada di dalam dan menguatkan
air itu, serta iman yang mempercayai bahwa Firman Tuhan berada dalam air itu.
Karena tanpa firman Tuhan di dalamnya, air itu hanyalah air biasa dan bukan
baptisan. Inilah air yang penuh berkat kehidupan dan yang menyucikan kelahiran
kembali di dalam Roh Kudus seperti yang dituliskan Rasul Paulus dalam suratnya
kepada Titus pasal 3.
Adapun
sikap dan tingkah laku seseorang yang telah dibaptis ialah: Hendaklah Adam yang
buruk di dalam hidup kita itu dihanyutkan melalui penyesalan dan pertobatan
setiap hari, dan mati bersama semua dosa dan nafsu jahat, sebaliknya setiap
hari tumbuh dan bangkit menjadi manusia baru yang akan hidup di hadapan Allah
di dalam kebenenaran dan kesucian yang kekal. Hal ini ditulis oleh Paulus dalam
Surat Roma pasal 6.
2.2. Baptisan Kudus dalam Tata Gereja (Aturan)
dan Pengakuan Iman (Konfessi)
HKBP
Dalam Tata Gereja HKBP (Aturan ni HKBP),
mengenai sakramen disebutkan demikian[6]:
“Hanya ada dua sakramen
yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus untuk dilaksanakan oleh gereja, yaitu
Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus”
Sedangkan mengenai Baptisan Kudus dikatakan
demikian[7]:
“Di Gereja dilayankan Baptisan Kudus kepada anak
sesuai dengan tata ibadah yang ada di Agenda. Bagi mereka yang belum
dibaptiskan pada masa kanak-kanaknya, dan ingin bergabung sebagai anggota
gereja, maka dia akan dibaptis sesuai dengan tata ibadah yang diatur dalam Agenda.”
Di samping Tata Gereja,
HKBP juga berpegang pada Pengakuan Iman atau yang lebih dikenal dengan Konfessi
HKBP. Saat ini ada dua jenis konfessi yang ada di HKBP, yakni Konfessi yang
diterbitkan pada tahun 1951 dan Konfessi yang diterbitkan pada tahun 1996.
Pokok pemikiran dari kedua Konfessi ini sebenarnya sama, hanya saja Konfessi
yang lebih bari
(Konfessi 1996) lebih lengkap dari Konfessi 1951.
Berikut adalah pengertian
Sakramen dan Baptisan Kudus menurut Konfessi 1951 Pasal 10 dan 10 A, yaitu[8]:
“Kita percaya dan menyaksikan:
Hanyalah dualah Sakramen yang diperintahkan Tuhan Yesus kepada kita untuk
melakukannya, yaitu Pembaptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Inilah yang
dipesankanNya, untuk memberikan dengan barang terlihat, anugerah yang tidak
terlihat, yaitu keampunan dosa, hidup dan sejahtera yang kita terima dalam iman
(Mat. 28:19; Mrk. 16:15-16; Mat. 26; Mrk. 14; Luk. 22; II Kor. 11)”
“Kita percaya dan menyaksikan:
Pembaptisan Kudus, ialah jalan pemberian anugerah kepada manusia, sebab dengan
pembaptisan disampaikan kepada yang percaya keampunan dosa, kelepasan dari maut
dan iblis, serta sejahtera yang kekal.
Dengan ajaran ini kita menyaksikan:
Anak kecil pun harus dibaptiskan karena dengan pembaptisan itu mereka juga
masuk ke dalam persekutuan yang menerima anugerah pengorbanan Kristus,
berhubungan pula dengan pemberkatan anak-anak oleh Tuhan Yesus (Mrk. 10:14;
Luk. 18:16).”
Sedangkan dalam Konfessi
1996 pasal 8 dan 8A mengenai Sakramen dan Baptisan Kudus dikatakan demikian[9]:
“Di Gereja Protestan hanya ada dua
sakramen, yaitu Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Itulah yang ditetapkan oleh
Tuhan Yesus kepada Gereja untuk memberikan tanda yang nyata akan kasih
karuniaNya yang tidak kelihatan, yaitu keampunan dosa, kehidupan dan
kebahagiaan, yang dihayati melalui iman dalam karya Roh Kudus (Mat. 28:19; Mrk.
16:15-16; Mrk. 14; Luk. 22; II Kor. 11)”
“Baptisan itu adalah saluran
kemurahan Allah bagi manusia, anak-anak dan yang dewasa, karena melalui
Baptisan itu Gereja berdiri di tengah dunia ini, dan melalui iman dijadikan
layak menerima keampunan dosa, kelahiran keampunan dosa, kelahiran kedua kali,
kelepasan dari kuasa maut dan kuasa iblis, dan memperoleh kebahagiaan kekal.
Dan melalui Baptisan itu jugalah orang percaya dipersatukan ke dalam kematian
dan kebangkitan Tuhan Yesus, dan menerima kuasa Roh Kudus (Mrk. 10:14;
Luk.18:16; Kis 2:41; 10:48; 16:33; Rm. 6:4; I Kor. 10:1-9; Tit. 3:5; Ibr. 11:29;
I Ptr. 3:21).
Dengan ajaran ini kita menekankan
bahwa anak bayi dibaptiskan di tengah Gereja, karena dengan demikianlah mereka
termeteraikan ke dalam persekutuan yang ditebus Kristus, sebab Tuhan Yesus
adalah juga bersukacita menerima anak-anak. Orang tua diimbau agar mereka
mendorong anak-anak mereka yang sudah dibaptis ikut Sekolah Minggu, dan
persekutuan lainnya di Gereja. Kita juga menekankan, Gereja itu esa dalam
Baptisan Kudus. Cukuplah Baptisan Kudus dilayankan sekali kepada seseorang
selama hidupnya.”
Demikianlah kita dapat melihat bahwa sebenarnya
kedua Konfessi ini sama pemahamannya. Namun Konfessi 1996 lebih banyak mendapat
tambahan atau sebagai hasil revisi dari Konfessi 1951.
III. Tata Liturgi Baptisan di HKBP[10]
Setelah
kita melihat bagaimana HKBP mengartikan Baptisan Kudus, maka kita juga akan
melihat bagaimana HKBP melayankan Sakramen ini kepada jemaatnya. Seperti yang
telah disebutkan di atas, maka kita mengetahui bahwa ada 3 jenis baptisan yang
dilayankan di HKBP, yakni: Baptisan Anak, Baptisan Dewasa, dan Baptisan yang
didakan secara mendadak atau tiba-tiba.
3.1. Baptisan Anak (Pandidion di Dakdanak)
Baptisan
Anak adalah jenis Baptisan yang paling sering dilaksanakan di HKBP. Sebelum
Sakramen ini dilaksanakan, orang tua si anak harus terlebih dahulu mendapat
katekisasi atau penggembalaan. Pada saat itu pendeta akan menjelaskan arti dan
makna Baptisan Kudus sekaligus mengingatkan baptisan yang dulu diperoleh oleh
orang tua tersebut. Selaku orang tua ynag beragama Kristen, mereka wajib
mempersiapkan anak-anaknya menuju peneguhan sidi sebagai lanjutan dari Baptisan
Anak. Sidi disebut dalam buku Tata Liturgi Agenda HKBP sebagai “mengakui” atau
“menyaksikan iman” (manghatingkhon haporseaon).
Liturgi
pembaptisan anak ini dilakukan pada ibadah Minggu dan liturginya menjadi bagian
integral dari Ibadah Minggu. Acara pembaptisan sendiri biasanya diadakan sesaat
ketika pendeta selesai menyampaikan kotbahnya. Untuk lebih jelasnya kita akan
melihat jalannya tata ibadah Hari Minggu yang di dalamnya dilayankan Sakramen
Baptisan Kudus.
1. Nyanyian Umat
2. Votum-Introitus-Doa Pembuka
3. Nyanyian Umat
4. Pembacaan Hukum Tuhan
5. Nyanyian Umat
6. Pengakuan Dosa dan Berita Anugerah
7. Nyanyian Umat
8. Pembacaan Epistel[11]
9. Nyanyian Umat
10. Pengakuan Iman Rasuli
11. Pembacaan Warta Jemaat
12. Nyanyian Umat (Persembahan I)
13. Pemberitaan Firman
14. Baptisan Kudus ® adapun Tata Liturgi Pembaptisan Anak adalah
sebagai berikut:
- Nyanyian Umat
- Doa Pembuka
- Nasihat dan Bimbingan (ditujukan untuk orang tua dan jemaat yang hadir)
- Pengakuan Iman Rasuli (hanya untuk orang tua yang membawa anaknya untuk dibaptis)
- Pertanyaan-pertanyaan (diajukan oleh Pendeta untuk dijawab oleh orang tua)
- Pembaptisan
- Berkat
- Doa
- Nyanyian Umat
15. Nyanyian Umat (persembahan II)
16. Doa Pesembahan-Nyanyian Persembahan-Doa Bapa
Kami-Berkat
Demikianlah kita melihat
bahwa acara Baptisan Kudus ini diadakan secara integral dalam Ibadah Minggu.
Sakramen ini sepenuhnya dilayankan oleh Pendeta.
3.2. Baptisan Dewasa (Pandidion di
Namagodang)
Sama
halnya dengan Baptisan Anak, Baptisan bagi orang dewasa pun dilaksanakan secara
integrla dalam tata ibadah Minggu. Sebelum orang dewasa tersebut menerima
Baptisan, mereka harus terlebih dahulu mengikuti katekisasi untuk mempelajari
Iman Kristen. Bagi baptis dewasa ini Sidi tidak lagi dilaksanakan. Baptisan ini
biasanya sekaligus juga menandakan sidi bagi mereka karena pada saat
pembaptisan ini jugalah mereka diberi kesempatan untuk mengaku iman percaya
mereka di hadapan Tuhan dan jemaatNya. Adapun tata cara pembaptisan orang
dewasa adalah sebagai berikut:
·
Nyanyian
Umat
·
Votum
·
Nasihat
(ditujukan bagi calon Baptis dewasa)
·
Doa
·
Pertanyaan
(diajukan oleh pendeta kepada calon Baptis dewasa, pertanyaan yang diajukan ini
merupakan pertanyaan sekitar doktrin yang intinya bahwa calon baptis setuju dan
mengakui doktrin gereja sebagai pedoman bagi hidupnya)
·
Pengakuan
Iman Rasuli (diucapkan oleh calon baptis dewasa)
·
Pertanyaan
(diajukan oleh pendeta kepada calon baptis dewasa, kali ini hanya ada satu
pertanyaan yang diajukan, yakni “bersediakah saudara dibaptis ke dalam nama
Tuhan yang saudara percayai?” dan calon baptis akan menjawab “Ya, saya
bersedia”)
·
Pembaptisan
·
Berkat
Baptisan
·
Doa
·
Nyanyian
Bersama
·
Doa Bapa
Kami- Berkat
3.3. Baptisan Darurat (Pandidion Na Hinipu)
Di
HKBP juga dilayankan Baptisan Darurat. Baptisan ini biasanya diberikan kepada
anak kecil yang sakit parah dan dalam keadaan kritis. Karena Baptisan ini
sifatnya darurat, tiba-tiba, dan mendadak, maka baptisan ini tidak diberikan di
Gereja melainkan di tempat di mana si anak terbaring sakit. Baptisan ini juga
tidak harus dilayankan oleh pendeta. Penatua dapat melayankan Baptisan darurat
ini. Apabila kelak si anak sembuh dari sakitnya, maka orang tuanya wajib
membawa si anak ke gereja untuk menerima berkat baptisan dari pendeta, tetapi
si anak tidak akan dibaptis ulang. Adapun tata liturgi Baptisan Darurat ini
adalah sebagai berikut:
·
Votum
(oleh Pelayan Liturgi)
·
Pertanyaan
(diajukan kepada orang tua atau wali si anak, bunyi pertanyaannya adalah
sebagai berikut “Apakah saudara menghendaki supaya anak ini dibaptiskan sesuai
dengan iman kepercayaan Kristen Protestan?” dan dijawab “Kami menghendakinya”)
·
Pembaptisan
·
Doa
·
Doa Bapa
Kami
Demikianlah kita melihat
bahwa baptisan ini dilayankan dengan tata liturgi yang sangat singkat dan
padat.
Sejak
hari pertama bayi lahir sampai hari ke-7, pada malam hari tetangga berkumpul di
rumah keluarga yang bayinya lahir. Tujuan utama berkumpulnya tetangga tersebut
adalah untuk menemani dan menjaga si ibu yang baru melahirkan. Kebiasaan ini
disebut dengan mandungoi atau melek-melekan (terjaga,
berjaga-jaga, tidak tidur). Dengan demikian ada yang tetap terjaga (tidak
tidur) untuk menolong si ibu bilamana ia memerlukan sesuatu.
4.1. Martutu Aek atau Patutuaekhon
(Baptisan Dalam Versi Budaya Batak)
Setelah
si bayi berumur 7 hari, diadakanlah acara martutuaek atau patutuaekhon,
yaitu membawa si bayi mandi ke sungai atau ke pancuran sekaligus memberi nama
si bayi.[12] Pada
acara ini biasanya dibawa api ni anduhur, yaitu bara api yang diletakkan
di dalam periuk. Menurut kepercayaan suku Batak kuno, bara api dalam periuk ini
dapat mengusir roh jahat yang suka mengganggu si bayi.
Setelah
si bayi selesai dimandikan, si bayi dibaringkan di atas ulos ragidup
(sejenis tenunan yang dijadikan alas bagi bayi). Tulang si bayi (paman
dari pihak ibu bayi) akan menabur sejumput beras yang dalam bahasa Batak
disebut boras pir ni tondi (beras yang menjadi berkat bagi jiwa). Beras
ini ditaburkan ke ubun-ubun si bayi dan kemudian tulang jugamenyemprotkan
air dari mulutnya ke ubun-ubun si bayi. Penyemprotan air ke ubun-ubun si bayi
dalam bahasa Batak disebut mamupus. Kemudian tulang si bayi
mengucapkan kata-kata harapan agar kelak si anak menjadi anak yang tegar,
menjadi andalan keluarga, dan terpandang di lingkungannya. Dalam acara ini maka
tulang si bayi disebut na manupus sedangkan si bayi disebut napinupus.
Di
beberapa tempat, acara ini disebut marambit atau manampe goar
(memberikan nama bayi). Kedudukan tulang dalam adat Batak sangat
dihormat, bahkan ada keyakinan bahwa pau-pasu (berkat, restu) tulang
sangat berperan dalam kehidupan seseorang.
Setelah
agama Kristen masuk ke “tanah Batak”, acara ini tidak lagi dilakukan. Acara
pengganti adalah acara adat setelah si bayi dibaptis ke gereja. Pembaptisan itu
dianggap juga sebagai pengesahan nama, di mana nama yang telah direncanakan
orang tuanya akan didaftarkan di Gereja dan menjadi nama sah (goar tardidi
= nama baptis).[13]
4.2. Mangallang Haroan (Pesta Menyambut
Kelahiran)
Kurang
lebih sebulaan setelah si bayi lahir, didakanlah acara Mangallang Haroan,
yaitu perjamuan menyambut kelahiran si bayi. Dalam acara ini yang diundang
hanyalah keluarga terdekat. Para tamu datang
membawa kado, maupun amplop yang berisi uang. Ompung Bao (orang tua
isteri) dan tulang si bayi akan membawa aek ni unte, yaitu bangun-bangun
ni untean[14], ikan
mas yang telah dimasak, boras pir ni tondi, dan ulos parompa
(ulos yang akan digunakan untuk menggendong bayi). Ulos Parompa yang
diserahkan adalah ulos yang dapat menghangatkan si bayi dalam gendongan. Orang
tua si bayi akan menyiapkan babi lengkap dengan tudu-tudu ni sipanganon
atau yang disebut juga sebagai na margoar (yaitu berupa seekor babi yang
disusun secara utuh sesuai dengan bagian-bagian tubuhnya). Intisari dari kata
harapan dalam acara ini adalah kiranya si ibu yang baru melahirkan tetap
sehat-sehat saja, dan banyak asinya. Kesehatan si ibu sangat penting untuk
kesehatan si bayi.
4.3. Baptisan Anak
Jika
anak sulung dibaptis di gereja, dilaksanakan pesta dengan mengundang unsur dalihan
na tolu (yaitu saudara dari pihak semarga, saudara dari pihak isteri, dan
saudara dari pihak anak perempuan), dongan sahuta (teman
sekampung/sewilayah), dan ale-ale (sahabat/rekan). Pesta ini merupakan
pesta yang agak besar, dalam adat Batak disebut ulaon di alaman (acara
pesta yang dilakukan di halaman rumah), walaupun seluruh undangan masuk ke
dalam rumah dan pesta dilaksanakan di dalam rumah. Ini menggambarkan besarnya
pesta yang dilaksanakan.[15]
Ompung
Bao dan tulang si bayi yang dibaptis datang membawa ikan mas, ulos,
dan boras pir ni tondi. Dongan tubu (teman semarga) dan boru
(pihak keluarga dari anak perempuan) datang membawa uang dalam amplop. Orang
tua si bayi yang dibaptis menyediakan makanan lengkap dengan tudu-tudu ni
sipanganon. Jumlah ikan mas yang disajikan di atas piring yang besar
sebanyak 3-5 ekor atau 7 ekor (jumlah ikan harus ganjil).
Setelah selesai makan dilanjutkan dengan
memberi kata-kata petuah kepada orang tua bayi yang dibaptis, dengan harapan
kiranya diberikan Tuhan kekuatan untuk mendidik bayi tersebut hingga dewasa dan
menjadi orang yang dapat diandalkan oleh keluarga.[16]
Dalam acara ini, pembaptisan di Gereja dipahami sebagai acara pemberian nama
bagi si bayi.
V. Penutup
HKBP
mengakui Baptisan sebagai salah satu dari Sakramen yang dilayankan bagi jemaat.
HKBP melihat Baptisan sebagai perintah langsung dari Tuhan Yesus untuk
dilaaksanakan oleh Gereja. HKBP juga mempercayai begitu banyak berkat dan
manfaat yang dapat diperoleh orang percaya dalam Baptisan. Baptisan juga
dimengerti secara universal, semua orang percaya dan keluarganya berhak
menerima Baptisan. Oleh karena itu HKBP juga melayankan baptisan anak dengan
iman orang tua yang dijadikan jaminan bagi si anak untuk menerima baptisan.
Baptisan
yang dijalankan juga cukup fleksibel sehingga memungkinkan untuk memberikan
Baptisan kepada anak yang sedang sakit atau dalam keadaan sekarat, walaupun
baptisan tersebut tidak dilaksanakan di gereja dan boleh dilayani oleh penatua
(tidak harus pendeta).
Salah
satu ciri utama HKBP adalah bahwa adat tidak dapt dipisahkan dengan agama. Oleh
karena itu acara adat setelah pembaptisan di gereja tetap dipertahankan. Hanya
saja unsur-unsur sinkrentisme seperti berkat dari tulang tidak lagi
diadakan dengan pengertian bahwa berkat baptisan yang sudah diterima di gereja
adalah berkat yang paling agung sehingga tidak ada berkat lain yang dapat
menyamainya.
Daftar Pustaka
Agenda
(Tata Liturgi) HKBP. Pearaja Tarutung: Badan Penerbit
HKBP. ttp.
Aturan
Ni HKBP tahun 1994-2004 (Tata Gereja HKBP tahun
1994-2004). Pearaja Tarutung:
Badan Penerbit HKBP. 1995.
Hadiwijono,
Harun. Iman Kristen. Jakarta :
BPK Gunung Mulia. 1990.
Luther,
Dr. Martin. Katekismus Besar. Jakarta :
BPK Gunung Mulia. 1994.
Luther,
Dr. Martin. Katekismus Kecil. Pearaja Tarutung: Badan Penerbit HKBP.
ttp.
Panindangion
Haporseaon (Pengakuan Iman/Konfessi) HKBP. Pearaja
Tarutung: HKBP. 1951. Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman/Konfessi)
HKBP. Pearaja Tarutung: HKBP. 1996.
Pasaribu,
Rudolf H. Pembinaan Warga Jemaat: Iman Kristen. Medan : BP3 Iman Warga Jemaat.
2000.
Sihombing,
T.M. Jambar Hata Dongan tu Ulaon Adat. Jakarta : Tulus Jaya. 1997.
Sinaga,
Anicetus B. The Batak Toba High God Transendence and Immanence. St.
Augustin
Sinaga,
Richard. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta : Dian Utama. 1998.
Comments
Post a Comment