Immorality
of the Soul or Resurrection of the Dead? by Oscar Cullmann
Oleh : Rahman Saputra Tamba
1.1 Pendahuluan
Keabadian
jiwa adalah salah satu kesalahpahaman terbesar di Kekristenan. Konsep kematian
dan kebangkitan tubuh Kristus tidak sesuai dengan pemikiran Yunani. Tapi,
apakah iman Kristen tentang kebangkitan tidak dapat diperdamaikan dengan konsep
Yunani tentang keabadian jiwa? Bukankah Injil Yohanes mengajarkan bahwa kita
sudah memiliki hidup yang kekal? Apakah benar bahwa kematian dalam Perjanjian
Baru selalu dipahami sebagai “musuh terakhir” dan bertentangan dengan pemikiran
Yunani yang melihat kematian sebagai “teman”? Bagi orang Kristen, jiwa yang
kekal hanya dapat diperoleh melalui kebangkitan Yesus Kristus dan melalui iman
kepada-Nya. Kematian bukanlah “teman”, melainkan berupa “sengat” yang hanya
dapat ditaklukkan oleh kemenangan Yesus dalam kematianNya.
1.2 Musuh Terakhir: Kematian (Socrates
dan Yesus)[1]
Tidak
ada yang dapat menunjukkan secara jelas hal yang kontras dari pandangan
Socrates dan Yesus mengenai kematian (hal kontras yang sering dikutip oleh
lawan awal Kekristenan untuk kepentingan lain) yang pada awalnya pandangan
Alkitab tentang kematian difokuskan dalam sejarah keselamatan dan berangkat
sepenuhnya dari konsepsi Yunani.
Dalam
deskripsi Plato yang berbicara tentang pendapat Socrates mengenai kematian (di Phaedo), keabadian jiwa adalah ajaran
yang tertinggi dan paling luhur yang pernah disampaikan. Tubuh kita adalah
hanya pakaian luar selama kita hidup, yang dapat menghambat jiwa kita bergerak
bebas dan hidup sesuai dengan esensi hidup yang kekal. Jiwa terkurung dalam
tubuh, termasuk ke dunia yang kekal. Selama kita hidup, jiwa kita kita
terpenjara dalam tubuh yang adalah sebagai orang asing baginya. Kematian pada
kenyataannya adalah sebuah pembebas besar. Kematian akan mengarahkan jiwa
keluar dari tubuh dan akan kembali ke rumah yang abadi. Tubuh dan jiwa adalah
sangat berbeda antara satu sama lain dan memiliki dunia yang berbeda.
kehancuran tubuh atau tubuh yang mati bukan berarti kehancuran jiwa. Ini berarti,
Plato menunjukkan kepada kita bahwa Socrates dalam kematiannya pergi dengan
tenang dan damai menuju kepada pembebasan jiwa yang diyakini oleh Socrates
sendiri. Socrates menganggap bahwa kematian itu adalah sebagai teman baginya.
Sekarang,
mari kita lihat bagaimana Yesus menghadapi kematian di Getsemani. Dalam Injil
Sinoptik dikatakan bahwa ketika Yesus menghadapi kematian, Ia merasa “sedih dan
gentar” (Mat 26:37). Yesus sama seperti manusia lainnya, Dia mengalami
ketakutan yang alami menghadapi kematian. Yesus juga tidak ingin sendirian pada
saat itu, Ia berdoa kepada Bapa dan meminta murid-muridNya untuk tetap bisa
terjaga dari tidur.
Itulah
perbedaan antara Socrates dan Yesus dalam menghadapi kematian. Socrates
menganggap kematian sebagai teman yang membebaskannya dari tubuh yang ia miliki
sehingga ia begitu tenang menghadapinya, sedangkan Yesus, beberapa jam sebelum
kematian-Nya, Ia gemetar dan meminta para murid-Nya untuk tetap terjaga bersama
diri-Nya, bahkan Yesus menangis dalam menghadapi detik-detik kematian-Nya. Ini
jugalah perbedaan radikal antara pemikiran Yunani dari keabadian jiwa dengan
doktrin tentang kebangkitan setelah kematian. Yesus menjalani kematianNya bukan
hanya di dalam tubuh-Nya saja, tetapi juga di dalam jiwa-Nya. Ia bisa menaklukkan
kematian dengan benar-benar masuk dalam lingkup kematian, yang dianggap sebagai
perusak kehidupan. Karena ketika seseorang ingin mengatasi orang lain, salah
satu dari mereka harus memasuki wilayahnya, siapa pun yang ingin menaklukkan
kematian harus mati dan benar-benar harus berhenti untuk hidup, tidak hanya
hidup sebagai jiwa yang abadi, tapi mati dalam tubuh dan jiwa, kehilangan hidup
itu sendiri, yaitu kehidupan yang paling berharga yang Tuhan berikan kepada
manusia, dan itulah yang dilakukan oleh Yesus.
Jika
kita ingin memahami iman Kristen tentang kebangkitan, kita harus benar-benar
mengabaikan pemikiran Yunani yang mengatakan bahwa tubuh adalah sesuatu yang
buruk dan harus dimusnahkan, dan kematian tubuh adalah sebuah kehidupan yang
benar. Akan tetapi, pandangan Kristiani mengatakan bahwa kematian tubuh adalah
bentuk penghancuran ciptaan Allah. Tubuh yang hidup adalah benar, dan kematian
adalah penghancuran semua kehidupan yang diciptakan oleh Allah. Oleh karena
itu, kematian dari tubuh harus ditaklukkan oleh kebangkitan. Keabadian pada
kenyataannya hanyalah pernyataan negatif: jiwa tidak mati, tetapi akan terus
hidup selamanya. Sedangkan, kebangkitan adalah pernyataan positif: seluruh
manusia yang telah benar-benar mati, dipanggil kembali ke kehidupan sebagai
tindakan dari penciptaan Allah secara baru.
1.3 Upah dosa: Kematian (Tubuh, Jiwa
dan Roh)[2]
Kepercayaan
pada kebangkitan adalah berbicara tenang kematian dan dosa. Kematian bukanlah
sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, kematian adalah kutukan. Kematian dapat
ditaklukkan jika dosa telah dihapuskan. Upah maut adalah dosa. Dosa adalah
sesuatu yang bertentangan dengan Tuhan, dan konsekuensinya adalah kematian.
Kematian adalah musuh Allah. Karena Allah adalah Hidup dan Pencipta Kehidupan.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah adalah pembuat tubuh. Tubuh tidak
memenjarakan jiwa, melainkan tubuh adalah Bait Roh Kudus (1 Kor 6:19).
Perbedaan besar antara pemikiran Yunani dengan pandangan Kristiani adalah
terletak di sini, jiwa dan tubuh bagi umat Kristiani adalah tidak berlawanan.
Dosa juga mencakup seluruh manusia, tidak hanya tubuh, tetapi juga jiwa, dan
konsekuensinya adalah kematian.
Seluruh
ciptaan telah rusak oleh dosa dan kematian. Allah tidak menghendaki hal
tersebut. Di balik rusaknya penciptaan oleh dosa dan kematian, Allah ingin
menyelesaikan kehancuran atas ciptaanNya tersebut, tetapi tidak melalui
penghancuran atas ciptaan, melainkan suatu jalan akan penciptaan di masa depan
melalui kebangkitan. Maka bagi orang Kristen, hal yang kontras itu bukan antara
tubuh dan jiwa, bukan antara bentuk luar dan ide, melainkan antara penciptaan
baru melalui kematian oleh dosa, antara tubuh dan daging yang fana dengan tubuh
kebangkitan yang tidak fana.
Hal
ini akan membawa kita masuk lebih dalam lagi akan konsep Kristini dalam
Perjanjian Baru mengenai Tubuh, Jiwa, dan Roh. Daging (sark) dan roh (pneuma)
dalam Perjanjian Baru adalah dua kekuatan transenden yang ada pada diri
manusia. Menurut pandangan Paulus, daging
adalah kekuatan dosa atau kuasa maut. Roh
adalah kekuatan penciptaan. Daging dan roh adalah sebuah kekuatan aktif
yang bekerja di dalam diri kita. Daging/kuasa maut dimasuki oleh dosa. Di sisi
lain, roh adalah kekuatan besar dalam kehidupan, yaitu unsur kebangkitan.
Kekuatan penciptaan Allah yang diberikan kepada kita melalui Roh Kudus. Roh
Kudus telah mengambil kepemilikan atas tubuh dan memperbaharui dari hari ke
hari (2 Kor 4:16). Kita telah di dalam kebangkitan, hidup yang kekal, bukan
keabadian jiwa yang hendak kita capai. Tubuh kita sudah dalam kuasa Roh Kudus.
Dimanapun Roh Kudus selalu bekerja dari kuasa kematian.
Kebangkitan
tubuh, yang substansinya tidak akan lagi berupa daging, melainkan dari Roh
Kudus, sehingga kita menjadi ciptaan yang baru. Karena kebangkitan tubuh adalah
tindakan baru penciptaan yang mencakup segala sesuatu. Ini bukan transisi dari
dunia ini ke dunia yang lain, seperti halnya jiwa abadi dibebaskan dari tubuh,
melainkan adalah transisi dari zaman sekarang untuk masa depan. Hal ini terkait
dengan seluruh proses penebusan. Oleh karena itu, keyakinan Kristen dalam
kebangkitan berbeda dari kepercayaan
Yunani dalam keabadian. Dosa dan kematian harus ditaklukkan. Kita tidak bisa
melakukan ini. Yesus telah melakukannya untuk kita, dan Dia mampu melakukannya.
Dia sendiri telah merasakan kematian dan menebus dosa kita, sehingga kematian
sebagai upah dosa telah diatasi. Iman Kristen menyatakan bahwa Yesus telah
melakukan ini dan bahwa Dia telah bangkit dengan tubuh dan jiwa yang
sepenuhnya. Kebangkitan tidak hanya dalam arti Roh Kudus mengambil kepemilikan
manusia, tetapi juga kebangkitan tubuh adalah spiritual baru dalam tubuh yang
di diami oleh Roh Kudus yang dalamnya adalah Kristus.
1.4 Yang pertama bangkit dari antara
orang mati (Kebangkitan Kristus dan Penghancuran Kematian)[3]
Kristus
telah bangkit! Akan tetapi, apa artinya bagi orang Kristen ketika mereka
menyatakan: Kristus telah bangkit dari antara orang mati? Jika Kristus adalah
“pertama lahir dari antara orang mati”, ini berarti bahwa waktu akhir akan ada
untuk kita. Ini berarti bahwa kemudian
kita akan menyusul dan hidup dalam waktu yang sementara.
Kebangkitan
Kristus adalah adalah inti dari semua kehidupan dan awal dari inti pemikiran
Kristen. Iman tentang kebangkitan menjadi titik kardinal semua kepercayaan
Kristen. Dengan demikian, fakta bahwa ada kebangkitan tubuh didefenisikan dari
kebangkitan tubuh Kristus. Melalui Perjamuan Kudus, Roti (1 Kor 10:16)
digambarkan sebagai tubuh Kristus, karena tubuh rohani Kristus hadir bersama
Firman yang diucapkan. Akan tetapi, perlu untuk kita perhatikan juga, bahwa
setelah Paskah dan Pentakosta, tubuh kita tetap fana dan tunduk pada penyakit.
Transformasi ke dalam tubuh rohani tidak terjadi sampai seluruh ciptaan
dibentuk lagi oleh Allah. Bukan hanya ciptaan yang baru, tetapi juga langit
yang baru dan bumi yang baru, itu adalah pengharapan bagi umat Kristen. Dan
kemudian tubuh kita juga akan bangkit dari antara orang mati. Namun tidak
sebagai tubuh jasmani, tetapi sebagai tubuh rohani. Dalam Filipi 3:21, Paulus
mengatakan bahwa pada akhir zaman, Kristus akan mengubah tubuh kita yang hina
ke dalam tubuh kemuliaan-Nya sendiri.
1.5 Roh Kudus dan keadaan orang mati[4]
Kematian
memang sudah ditaklukkan (2 Tim 1:10), kematian ditaklukkan, tetapi belum
dihapuskan sampai pada hari kedatanganNya yang kedua kalinya. Kemenangan memang
sudah dicapai, tetapi belum terwujud dan akan terwujud di akhir. Dalam Wahyu
20:14 juga dikatakan bahwa, “maut dan kerajaan maut akan dilemparkan ke dalam
lautan api”, itulah akhir pemusnahan kematian. Hal ini berarti, bahwa
transformasi tubuh tidak terjadi sebelum ada kematian setiap individu itu
sendiri. Kebangkitan Kristus adalah titik awal pandang Kekristenan. Keyakinan
berada dalam kedekatan dengan Kristus didasarkan pada keyakinan bahwa jiwa kita
sudah digenggam oleh Roh Kudus. Roh Kudus ada di dalam diri kita, Dia telah
mengubah manusia batiniah kita. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Roh
Kudus adalah kekuatan hidup. Oleh karena itu, mereka yang telah mati dan
percaya kepada Kristus, benar-benar mati di dalam Kristus, dalam kepemilikan
Roh Kudus, dan dalam Perjanjian Baru, menekankan bahwa orang mati memang
bersama dengan Kristus. Daging, yang adalah tubuh duniawi kita, selalu menjadi
hambatan untuk pengembangan pemenuhan akan Roh Kudus dan kematian membebaskan kita
dari hambatan itu, karena kita akan mengalami kebangkitan tubuh. Tubuh orang
percaya telah diubah oleh Roh Kudus dan ditangkap oleh kebangkitan (Rom 6:3),
dan benar-benar diperbaharui oleh Roh Kudus mekipun tubuh yang mati itu masih
“tidur” dan masih menunggu kebangkitan tubuh. Dan orang-orang mati yang mati
dalam Tuhan dapat benar-benar diberkati. Kondisi mati dalam Kristus belum
sepenuhnya sempurna sampai pada hari kebangkitan tubuh oleh Kristus. Oleh
karena itu, kebangkitan tubuh masih ditunggu dengan kepastian kemenangan karena
Roh Kudus sudah tinggal di hati manusia. Karena Roh yang telah membangkitkan
Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kita, maka Ia yang telah
membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga
tubuh kita yang fana oleh roh-Nya yang juga diam di dalam kita.
2.
Tanggapan
Para
Teolog, baik Yahudi maupun Kristiani, menyatakan bahwa gagasan terpisahnya
antara tubuh dan roh tidak dapat diterima. Alkitab memandang manusia sebagai
suatu keutuhan yang terdiri dari dua unsur, tubuh dan jiwa/roh yang tidak dapat
berdiri sendiri. Mereka mengatakan bahwa jiwa tidak dapat mati, adalah
pandangan Yunani, bukan Yahudi-Kristen. Teori keabadian Jiwa memandang sebagai
suatu dualism antara roh dan tubuh, dan menurut teori itu, keabadian jiwa
merupakan milik kodrati selamanya. Para Teolog mempertahankan bahwa umat
Kristen percaya bukan pada keabadian jiwa, tetapi pada kebangkitan tubuh. Hidup
setelah kematian adalah anugerah dari Allah, bukan kodrat manusia. Ini termasuk
tubuh yang dibangkitkan.[5]
Sangat
penting untuk menghargai tubuh yang dimiliki selama hidup. Sebab ada
kesinambungan tubuh kita sekarang dengan tubuh nanti. Tentunya, sebagaimana
keadaan tubuh kebangkitan Yesus atau sebagaimana ciri-ciri Yesus sesudah
kebangkitanNya, seperti itu jugalah keadaan dan yang akan dikenakan oleh orang
yang dibangkitkan. Sebagaimana tubuh kebangkitan Tuhan Yesus, seperti itu
jugalah tubuh kebangkitan yang akan kita kenakan. Tubuh Yesus dapat dikenali,
dapat diraba, dapat berdialog, dapat makan, dapat melayani, dapat berkunjung,
seperti itu jugalah masing-masing manusia yang dibangkitkan dalam Kristus
nantinya. Itulah beberapa kontinuitas tubuh alamiah dengan tubuh kebangkitan.
Tetapi harus segera pula diingat, bahwa tubuh rohaniah itu, walaupun ada
kesinambungannya dengan tubuh kebangkitan, tetap ada juga
ketidaksinambungannya, yaitu: tubuh kebangkitan itu tidak lagi dibatasi oleh
dimensi ruang, dapat muncul tiba-tiba, dapat menyatu dengan awan dan tidak lagi
mempunyai gairah biologis.[6]
Di
dalam kebangkitan Kristus dinyatakan
kemenanganNya atas kuasa-kuasa dosa, maut dan iblis; maka kebangkitan
Kristus meyakinkan dan member jaminan kepada kita tentang realitasnya
pengampunan dosa (Rm 4:25; 1 Kor 15:17). Kebangkitan Kristus mengandung seruan
kepada orang yang percaya kepadaNya, supaya membuang segala perbuatan gelap,
dan hidup sebagai anak-anak terang (Rm 13:12). Kebangkitan Kristus itu adalah
juga suatu jaminan bagi kita akan kebangkitan kita yang berbahagia, yakni di
dalam Kerajaan Allah yang akan dinyatakan (1 Kor 6:14). Kebangkitan Kristus
membuat kita menaruh segenap percaya dan harapan kita kepada Dia yang
membangkitkan orang-orang mati (2 Kor 1:9).[7]
Dalam
Alkitab tidak pernah ditemukan keadaan atau esensi pada manusia tentang keabadian
yang serupa dengan Allah, baik itu “jiwa” maupun “roh” nya, satu pun tidak.
Apabila kita temukan juga ayat yang berkenaan dengan jiwa manusia, maka tidak
ada satu ayat pun yang mendukung tentang keabadian jiwa. Sesungguhnya keadaan
manusia baik jiwa maupun rohnya setelah jatuh ke dalam belenggu dosa adalah
fana, tidak abadi. Manusia yang sudah terjerumus ke dalam kematian itu
memberikan kesempatan kepada manusia untuk memperoleh kembali hidup kekalnya
yang telah hilang. Dan kesempatan ini harus diperoleh melalui iman kepada
putraNya yang tunggal, yaitu Yesus Kristus. Ia adalah sumber keabadian yang
harus diimani oleh segenap manusia. Dengan pengorbananNya di kayu salib, Ia
telah meruntuhkan kuasa iblis atas dunia ini. Iman kepada Kristus harus
dipertahankan melalui pengalaman iman yang progresif, tiap hari hidup
bersamaNya, di dalamNya, dan oleh darahNya kita akan dilayakkan untuk
mendapatkan keabadian yang telah hilang itu. Keabadian itu diberikan pada waktu
kebangkitan kelak, pada waktu kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali. Hanya
dengan demikianlah kita dapat diubahkan dari keadaan yang dapat binasa kepada
keadaan yang tidak dapat binasa, dari tubuh yang fana kepada tubuh yang baka.
Saat itulah keadaan yang abadi dipulihkan kepada manusia.[8]
3.
Kesimpulan
Kematian
tubuh harus ditaklukkan oleh kebangkitan. Keabadian pada kenyataannya hanyalah
pernyataan negatif: jiwa tidak mati, tetapi akan terus hidup selamanya.
Sedangkan, kebangkitan adalah pernyataan positif: seluruh manusia yang telah
benar-benar mati, dipanggil kembali ke kehidupan sebagai tindakan dari
penciptaan Allah secara baru. Kebangkitan tubuh masih ditunggu dengan kepastian
kemenangan karena Roh Kudus sudah tinggal di hati manusia. Karena Roh yang
telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kita, maka Ia
yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan
menghidupkan juga tubuh kita yang fana oleh roh-Nya yang juga diam di dalam
kita.
[1] Oscar Cullmann, Immortality of the Soul or Resurrection of
the Dead? (London: The Epworth Press 1958) Hlm. 19-27
[2] Oscar Cullmann, Immortality of the Soul or Resurrection of
the Dead? (London: The Epworth Press 1958) Hlm. 28-39
[3] Oscar Cullmann, Immortality of the Soul or Resurrection of the
Dead? (London: The Epworth Press 1958) Hlm. 40-47
[4] Oscar Cullmann, Immortality of the Soul or Resurrection of
the Dead? (London: The Epworth Press 1958) Hlm.48-57
[5] John J. Heaney, Yang Kudus dan yang Gaib (Yogyakarta:
Kanisius 2008) Hlm. 164
[6] Robert Pandiangan, Tubuh Kebangkitan (Karawaci: Rosopan
2004) Hlm. 55-56
[7] B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung
Mulia 2008) Hlm. 287-288
[8] M.S. Nugroho, Dunia orang mati & Alkitab (Jakarta:
Talenta Mulia Aksara 2006) Hlm. 3-10
Comments
Post a Comment