Skip to main content

(LXX. KAUM MU'TAZILAH)


KAUM MU’TAZILAH


            Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi islam yang bersifat rasional dan liberal. Dimana ciri utama yang membedakan dengan aliran agama Islam yang lainnya adalah pandangan-pandangan teologinya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqilah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga disebut aliran rasionalisme Islam.

Ada berbegai tanggapan mengenai pengertian dari Mu’tazilah, yaitu:

1.    Ilm al-Kalam yang berpusat pada peristiwa Wasil Ibn “Ata” serta temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Pada saat itu seorang pendatang bertannya tentang orang yang berdosa besar. Dimana Wasil langsung menjawabnya dengan jawaban “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah Mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya, tidak Mukmin dan tidak kafir”. Sehingga pada saat itu Hasan al-Basri serta temannya menganggap bahwa Wasil adalah kaum Mu’tazilah.

2.    al-Baghdadi, Wasil dan temannya Amr Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Sehingga Wasil disebut kaum Mu’tazilah karena  mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang orang yang berdosa besar. Menurut Wasil orang yang berdosa besar tidak Mukmin dan tidak Kafir.

3.    Tasy Kubra Zadah, mengatakan bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk kemesjid Basrah dan menuju kemajelis Amr Ibn Ubaid yang dianggapnya majelis Hasan al-Basri. Teryata tanggapan itu tidak benar bahwa yang dikunjunginya itu bukanlah majelis Hasan dan ia meninggalkan tempat itu sambil berkata “Ini kaum Mu’tazilah”.

4.    al-Mas’udi, tidak melihat pertalian antara pertikaian antara Wasil dan Amr dari suatu pihak dan Hasan dari satu pihak. Mereka disebut kaum Mu’tazirah karena mereka berpendapat bahwa orang yang  berdosa besar bukan Mukmin dan bukan pula Kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-Manzilah bain al-Manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan Mukmin dan Kafir.

5.    Ahmad Amin, menurut dia nama Mi’tazilah sudah ada sebelum pertikaian antara Wasil dengan  Hasan dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Perkataan “i’tazala” dan “Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum pertikaian Wasil dengan Hasan dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada dizaman mereka. Golongan Mu’tazilah pertama sekali mempunyai corak politik, sedangkan Mu’tazilah yang kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai corak politik karena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murjiah. Juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Usman, Ali, dan mu’awiah. Perbedaan diantara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan falsafat kedalam ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran mereka.

6.    C.A Nallino, pendapatnya hampir sama dengan Ahmad Amin. Berdasarkan versi Mas’udi dia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung arti “memisahkan diri dari umat Islam lainnya”, tetapi sebaliknya nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka. Menurut versi Mas’udi bahwa golongan Mu’tazilah adalah golongan yang berdiri netral antara Khawarij yang memandang Usman, Ali. Mu’awiah dan orang-orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murjiah yang memandang mereka tetap Mukmin.sehingga Nallino berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah keduanya mempunyai persamaan atau mempunyai hubungan yang erat. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua ialah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertam.

7.    Ali Sami al-Nasysyar, Ali sangat menentang teori Nallino dengan mengemukakan argumen bahwa ada diantara khafilah-khafilah baru Umayyah yang menganut paham Mu’tazilah. Kaum Umayyah sangat bertentang dengan kaum khawarij dan dipandang kaum Mu’tazilah sebagai orang yang berdosa besar dan akn kekel di neraka. Ali selanjutnya berpendapat bahwa nama Mu’tazilah timbul pada waktu pertentangan politik Islam antara Ali dan Mu’awiyah tetapi nama itu tidak dipaki untuk satu golongan tertentu. arti Mu’tazilah menurut Ali ialah bahwa kata i’tazala dan al-Mu’tazilah terkadang dipakai untuk menjauhkan diri dari peperangan dari Ali dan sebagainya. Orang-orang yang menjauhkan diri dari masyarakat umum dan memusatkan pikiran pada ilmu pengetahuan dan ibadat. Jadi Mu’tazilah yang kedua muncul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadat dan bukan golongan Mu’tazilah yang merupakan aliran politik. Nama Mu’tazilah sebagai “Designatie” bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan di Basrah dan sebelum peristiwa Basrah nama i’tazala, al-Mu’tazilah sudah ada. Mu’tazilah yang pertama dan yang kedua mempunyai persamaan tetapi belum ada fakta-fakta yang dapat memberi kepastian. Akan tetapi melalui ucapan-acapan kaum Mu’tazilah dapat kita jumpai keterangan yang dapt memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu.

8.    Al-Qadi Abd al-Jabbar, mengatakan bahwa kata i’tazala yang terdapat dalam Al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar. Dan dengan demikian Mu’tazalah artinya Pujian. Menurut dia bahwa ada hadis nabi yang mengatakan umat akan terpecah 73 golongan dan golongan Mu’tazilah yang paling patuh. Para umat Mu’tazilah menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl artinya mempertahankan keadilan Tuhan, dan Ahl al-Tauhid Waal-Adl artinya yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Lawan mereka menyebut mereka al-Qadariah, karena mereka menganut faham free Will dan free alt; al-Mu’attilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti sifat yang mempunyai wujud diluar zat Tuhan; dan Wa’idiah berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tak bolek tidak akan menimpa mereka.           

           

 Ajaran-ajaran Wasil sebagai berikut:

Ø    Faham al-mazilah bain al-manzilatain, posisi diantara dua posisi dalam arti posisi tengah. Menurut ajaran ini orang-orang yang berdosa besar bukan kafir (khawarij) dan bukan Mukmin (Murjiah)tetapi disebut “Fasiq” yang menduduki posisi diantara Mukmin dan kafir.

Ø    Faham Qadariah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Menurut Wasil Tuhan itu bijaksana dan adil, ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Sehingga manusialah yang mewujudkan perbuatan baik dan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidak patuhannya. Sehingga Tuhan memberi kekuatan dan daya unutk melakukan segala perintah-Nya.

Ø    Peniadaan sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bykanlah sifat yang mewujudkan tersendiri diluar zat. Faham peniadaan sifat ini berasal dari Jahm karena Jahm menurut al-Syahrastani berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada dalam manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena itu akan membawa kepada Anthropomorphisme yang disebut dalam istilah Islam al-Tajassum atau al-Tasybih.

            Demikian ajaran-ajaran Wasil. Dua diantaranya yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan merupakan bagian integral dari al-Usul l-Khamsah atau pancasila Mu-tazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-adl; al-Amr bi al-Ma’ruf WA al-nahy’ an al-Mukar, memerintahkan orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau perlu dengan kekerasan. Menurut al-Malatti, Wasil mempunyai dua murid yaitu Bisyr Ibn Sa’id dan Abu’Usman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah muncul dua pemimpin lainnya yaitu Abu al-Huzail al-Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar. Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya arti Nafy al-Sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim. Sehingga sifatnya adalah bersifat qadim. Dia juga berpendapat Tuhan bener mengetahui tetapi bukan dengan sifat malahan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Selanjutnya dia berpendapat bahwa manusia dengan mempergunakan aklnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhazat pada mereka, tetapi karena hikmat lainnya. Sehingga timbullah paham al-salah wa al-aslah dalam Mu’tazilah yang artinya Tuhan mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik bagi keselamatan manusia.

            Dalam membahas keadilan Abu al-Huzail berpendapat Tuhan berkuasa untuk bersikap zalim, tetapi mustahil Tuhan bersikap Zalim karena itu membawa kurang sempurnanya. Berlainnan dengan muridnya (Ibn Syyar Ibn Hani al-Nazzam) yang mengatakan bahwa bukan hanya mustahil bagi Tuhan bersikap Zalim, alasannya adalah bahwa kezaliman hanya dilakukan orang-orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Mengenai mu’jizat dia berpendapat bahwa al-Qur’an dalam gaya dan bahasa tidak merupakan mu’jizat tetapi hanya dalam isinya. Menurut Nazzam kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Mu’ammar Ibn’abbad yang hidup semasa Abu al-Huzail dan al-Nazzam berpendapat yang diciptakan Tuhan hanya benda-bendamateri itu sendiri, dalam bentuk naturseperti pembakaran oleh api dan pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk pilihan seperti antara gerak dan diam. Abu’Ali Muhammad’Abd al-Wahhab al-Jubba’i dan anaknya Abu Hasyim’Abd al-salam berpendapat bahwa kalam atau sabda Tuhan tersusun daru huruf atau suara. Tuhan disebut Mutakalim dalam arti menciptakan kalam. Mereka juga berpendapat bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat. Mengetahui Tuhan dan bersyukur kepadanya dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk adalah wajib bagi manusia dalam arti kewajiban yang diapaksakan akal (wajibat’aqiah).

            Mengenai peniadaaan sifat Tuhan, al-Jubbai mengatakan bahwa Tuhan mengetahui melalui esensinya, demikian pula berkuasa dan hidupmelalui esensinya. Seorang Mu’tazila Bagdad yaitu Abu Musa al-Murdar. Menurut al-Syahrastani ia dengan kuat mempertahankan pendapat al-Qur’an tidak bersifat Qadim tetapi diciptakan Tuhan. Ia juga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan tetapi diwujudkan manusia sendiri. Ia juga mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya. Hisyam Ibn’Amr al-Fuwati mengatakan bahwa surga dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena masa memasuki surga dan neraka belum tiba. Abu al-Husain al-Khayat dan Sumamah Ibn Asyras berpendapat dalam tubuh manusia sendiri yaitu tubuh yang baik dan sehat lagi tidak mempunyai cacat. Ia juga berpendapat bahwa manusia melalui akalnya berkewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk sebelum wahyu turun. Didalam membahas sifat yang melekat kepada zat Tuhan dan Tuhan berkehendak bukan melalui zat-Nya. Jika Tuhan berkehendak itu berarti bahwa ia mengetahui, berkuasa dan tidak dipaksa melakukan perbuatan-perbuatan-Nya. Dan jika Tuhan mengkehendaki perbuatan-perbuatan-Nya artinya itu berarti ia menciptakan perbuatan-perbuatan itu sesuai dengan pengetahuan-Nya.

           

Selanjutnya kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam dua golongan, antara lain:

1.  Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat Zatiah.

2.  Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang disebut sifat Fi’liah.

            Sifat-sifat perbuatan mengandung art hubungan antara Tuhan dengan mahluknya seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-‘adl). Sifat esensi seperti wujud (al-wujud), kekekalan dimasa lampau (al-qidam), hidup (al-hayah), kekuasaan (al-qudrah). Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak berbuat buruk bahkan menurut salah satu golongan tidak bisa (yaqdir) berbuat buruk (Zulm) karena perbuatan yang demikian timbul hanya dri orang-orang yang bersifat tidak sempurna. Satu ajaran lain yang dekat dengan hubungannya dengan paham al-salah dan al-aslah ini adalah paham Lulf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib menurunkan lulf bagi manusia. Yang dimaksud lulf ialah semua hal yang membawa manusia kepada ketaatan dan yang kan menjauhkan manusia dari maksiat. Ajaran dasar ketiga, janji dan ancaman al-wa’d wa al- wa’id. Tuhan tidak akan dapat disebut adil jika ia tidak membuat pahala kepada oarang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum yang berbuat jahat. Keadilan mengkehendaki supaya orang bersalah dihukum dan orang yang berbuat baik mendapat pahala.

            Ajaran dasar keempat, al-Mazilah bain al-manzilatain. Pembuat dosa besar bukanlah kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi bukan Mukmin karena imannya tidak sempurna. Bagi pembuat dosa besar harus dimasukkan kedalam salah satu tempat. Iaman menurut mereka digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Ajaran dasar kelima Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja tetapi juga oleh golongan umat islam lainnya. Kaum Khawarij untuk melakukan itu harus dengan kekerasan tetapi kaum Mu’tazilah cukup dengan seruan, tetapi kalua perlu dengan kekerasan. Kaum Mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantara rasio. Untuk mempertahankan pendirian mereka maka mereka menggunakan argumen rasional dan juga ayat-ayat al-Qur’an adan hadis Nabi. Kaum Mu’tazilah sangat tidak disukai karena sikap mereka memakai kekerasan dan memyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad 9 Masehi, tetapi ada juga alim ulama yang membela kaum Mu’tazilah yaitu Al- Nasysyar guru besar Falsafat Islam. Dia berpendapat bahwa al-Nazzam adalah orang lurus serta benar (saliq) yang banyak Usahanya dalam membela Islam.



BAB VI

AHLI SUNNAH DAN JAMA’AH



            Kaun Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah disamping merupakan golongan minoritas adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Mungkin ini menimbulkan term ahli sunnah dan jama’ah yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas sebagai lawa golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah. Sunnah dalam term ini berarti hadis. Ahli sunnah dan jama’ah berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-Muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al-kasir wa al-sawad al-a’zam (jumlah besar dan khayak ramai). Ahli sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari disekitar tahun 300 H, dia keluar dari kaum Mu’tazilah dan membentuk aliran teologio yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri.

            Yang dimaksud  ahli sunnah dan Jama’ah didalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi. Pada suatu ketika dia bermimpi tentang ahli hadis, dimana mimpinya Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli hadislah yang benar dan mazhab Mu’tazilah salah. Perkataan Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan mengetahui dengan zay-Nya, karena dengan zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi Yang mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan  pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikianlah dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. Perbuatan-perbuatan manusia bagi Asy’ari bukanlah diwujudkan manusia sendiri sebagai pendapat Mu’tazilah tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan Kufr adalah buruk tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik.

            Mengenai anthropomorphisme Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan,mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad). Mengenai paham keadilan Tuhan dia sangat menentang yanf dibawa kaum Mu’tazilah, dia berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendaknya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia kedalam sorga bukanlah ia bersifat adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia kedalam neraka tidaklah Ia bersifat Zalim. Ajaran tentang posisi menegah ditolak. Bagi dia orang yang berdosa besar tetap mukmin karea imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq.

            Abu Bakr al-Baqillani sifat Allah bukanlah sifat tetapi Hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah. Selanjutnya dia tidak sepaham dengan al-Asy’ari mengenai paham perbuatan manusia. Menurut dia manusia mempunyai sumbangan yang efwektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia. Manusialah yang membuat gerak yang diciptakan Tuhan itu. Al-Juwaini mengenai anthropomorphisme ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan. Mengenai perbuatan manusia dia berpendapat daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat diantara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia. Abu Hamid al-Ghazali mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak indentik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat. Al-Qur’an dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan.

            Aliran Maturidiah adalah aliran yang dipelopori oleh Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi . dimana paham-paham teologinya banyak persamaan dengan paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologinya termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah. Dalam persoalan perbuatan-perbuatan manusia sependapat dengan golongan Mu’tazilah bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian dia mempunyai paham qadariah dan bukan paham jabariah atau kasb Asy’ari. Dia menolak ajaran tentang al-salah wa al-aslah, disamping itu dia juga berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. mengenai al Qur’an dia tidak sependapat dengan kaum Mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim. Mengenai dosa besar dia sependapat dengan al-Asy’ari bahwa orang-orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Dia juga menolak soal posisi menengah kaum Mu’tazilah. Dalam soal al-wa’d wa al-wa’id al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji Tuhan dan ancaman-ancaman Tuhan tak bolek tidak mesti terjadi kelak. Dan mengenai anthropomorphisme sealiran dengan Mu’tazilah, dia tidak sependapat dengan al-Asy’ari.

Comments

Popular posts from this blog

(LX. SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP)

SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP  I. Pendahuluan             Baptisan merupakan salah satu sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.             Kata “baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus. [1] Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan Kristus ke dunia. [2] HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samp...

(LXXVI. MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)

MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON   MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA [1] 1. Biografi             Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada 26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.             Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967 dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul Die Konkretisierung ...

(XXXI. TAFSIRAN HISTORIS KRITIS MAZMUR 23:1-6)

Tinjauan Historis Kitab Mazmur 23:1-6 Oleh " Rahman Saputra Tamba " BAB I Pendahuluan             Nama kitab ini dalam LXX adalah Psalmoi [1] . Alkitab bahasa latin memakai nama yang sama. Kata Yunani (dari kata kerja psallo yang artinya “memetik atau mendentingkan”). Mula-mula digunakan untuk permainan alat musik petik atau untuk alat musik itu. Kemudian kata ini menunjukkan nyanyian ( psalmos ) atau kumpulan nyanyian ( psalterion) . [2] Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul Kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah [3] tehillim yang artinya “puji-pujian atau nyanyian pujian”.             Dalam Alkitab Ibrani, Kitab Mazmur terdapat pada awal bagian Kitab-kitab. Para nabi menempatkan sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Da...