KAUM MU’TAZILAH
Mu’tazilah
adalah salah satu aliran dalam teologi islam yang bersifat rasional dan
liberal. Dimana ciri utama yang membedakan dengan aliran agama Islam yang
lainnya adalah pandangan-pandangan teologinya lebih banyak ditunjang oleh
dalil-dalil ‘aqilah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga disebut
aliran rasionalisme Islam.
Ada berbegai tanggapan mengenai pengertian dari
Mu’tazilah, yaitu:
1. Ilm al-Kalam yang
berpusat pada peristiwa Wasil Ibn “Ata” serta temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan
al-Basri di Basrah. Pada saat itu seorang pendatang bertannya tentang orang
yang berdosa besar. Dimana Wasil langsung menjawabnya dengan jawaban “Saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah Mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi mengambil posisi diantara keduanya, tidak Mukmin dan tidak kafir”.
Sehingga pada saat itu Hasan al-Basri serta temannya menganggap bahwa Wasil
adalah kaum Mu’tazilah.
2. al-Baghdadi, Wasil
dan temannya Amr Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri karena adanya
pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.
Sehingga Wasil disebut kaum Mu’tazilah karena
mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang orang yang berdosa
besar. Menurut Wasil orang yang berdosa besar tidak Mukmin dan tidak Kafir.
3. Tasy Kubra Zadah, mengatakan
bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk kemesjid Basrah dan menuju
kemajelis Amr Ibn Ubaid yang dianggapnya majelis Hasan al-Basri. Teryata
tanggapan itu tidak benar bahwa yang dikunjunginya itu bukanlah majelis Hasan
dan ia meninggalkan tempat itu sambil berkata “Ini kaum Mu’tazilah”.
4. al-Mas’udi, tidak
melihat pertalian antara pertikaian antara Wasil dan Amr dari suatu pihak dan
Hasan dari satu pihak. Mereka disebut kaum Mu’tazirah karena mereka berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukan
Mukmin dan bukan pula Kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu
(al-Manzilah bain al-Manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti
tidak masuk) golongan Mukmin dan Kafir.
5. Ahmad Amin, menurut
dia nama Mi’tazilah sudah ada sebelum pertikaian antara Wasil dengan Hasan dan sebelum timbulnya pendapat tentang
posisi diantara dua posisi. Perkataan “i’tazala” dan “Mu’tazilah” telah dipakai
kira-kira 100 tahun sebelum pertikaian Wasil dengan Hasan dalam arti golongan
yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada dizaman mereka.
Golongan Mu’tazilah pertama sekali mempunyai corak politik, sedangkan
Mu’tazilah yang kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai
corak politik karena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murjiah. Juga
membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Usman, Ali, dan mu’awiah.
Perbedaan diantara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan
persoalan-persoalan teologi dan falsafat kedalam ajaran-ajaran dan
pemikiran-pemikiran mereka.
6. C.A Nallino,
pendapatnya hampir sama dengan Ahmad Amin. Berdasarkan versi Mas’udi dia
berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung arti “memisahkan
diri dari umat Islam lainnya”, tetapi sebaliknya nama itu diberikan kepada
mereka, karena mereka. Menurut versi Mas’udi bahwa golongan Mu’tazilah adalah
golongan yang berdiri netral antara Khawarij yang memandang Usman, Ali.
Mu’awiah dan orang-orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murjiah yang
memandang mereka tetap Mukmin.sehingga Nallino berpendapat bahwa golongan
Mu’tazilah keduanya mempunyai persamaan atau mempunyai hubungan yang erat.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua ialah lanjutan dari
golongan Mu’tazilah pertam.
7. Ali Sami al-Nasysyar,
Ali sangat menentang teori Nallino dengan mengemukakan argumen bahwa ada
diantara khafilah-khafilah baru Umayyah yang menganut paham Mu’tazilah. Kaum
Umayyah sangat bertentang dengan kaum khawarij dan dipandang kaum Mu’tazilah
sebagai orang yang berdosa besar dan akn kekel di neraka. Ali selanjutnya
berpendapat bahwa nama Mu’tazilah timbul pada waktu pertentangan politik Islam
antara Ali dan Mu’awiyah tetapi nama itu tidak dipaki untuk satu golongan
tertentu. arti Mu’tazilah menurut Ali ialah bahwa kata i’tazala dan
al-Mu’tazilah terkadang dipakai untuk menjauhkan diri dari peperangan dari Ali
dan sebagainya. Orang-orang yang menjauhkan diri dari masyarakat umum dan
memusatkan pikiran pada ilmu pengetahuan dan ibadat. Jadi Mu’tazilah yang kedua
muncul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan
ibadat dan bukan golongan Mu’tazilah yang merupakan aliran politik. Nama
Mu’tazilah sebagai “Designatie” bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam
Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan di Basrah dan sebelum
peristiwa Basrah nama i’tazala, al-Mu’tazilah sudah ada. Mu’tazilah yang
pertama dan yang kedua mempunyai persamaan tetapi belum ada fakta-fakta yang
dapat memberi kepastian. Akan tetapi melalui ucapan-acapan kaum Mu’tazilah
dapat kita jumpai keterangan yang dapt memberi kesimpulan bahwa mereka
sendirilah yang memberikan nama itu.
8. Al-Qadi Abd al-Jabbar, mengatakan bahwa kata i’tazala yang terdapat dalam Al-Qur’an mengandung
arti menjauhi yang salah dan tidak benar. Dan dengan demikian Mu’tazalah
artinya Pujian. Menurut dia bahwa ada hadis nabi yang mengatakan umat akan
terpecah 73 golongan dan golongan Mu’tazilah yang paling patuh. Para umat
Mu’tazilah menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl artinya mempertahankan
keadilan Tuhan, dan Ahl al-Tauhid Waal-Adl artinya yang mempertahankan keesaan murni
dan keadilan Tuhan. Lawan mereka menyebut mereka al-Qadariah, karena mereka
menganut faham free Will dan free alt; al-Mu’attilah berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat dalam arti sifat yang mempunyai wujud diluar zat Tuhan;
dan Wa’idiah berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang
tidak patuh, pasti dan tak bolek tidak akan menimpa mereka.
Ajaran-ajaran Wasil sebagai berikut:
Ø Faham al-mazilah bain al-manzilatain,
posisi diantara dua posisi dalam arti posisi tengah. Menurut ajaran ini
orang-orang yang berdosa besar bukan kafir (khawarij) dan bukan Mukmin
(Murjiah)tetapi disebut “Fasiq” yang menduduki posisi diantara Mukmin dan
kafir.
Ø Faham Qadariah yang dianjurkan oleh Ma’bad
dan Ghailan. Menurut Wasil Tuhan itu bijaksana dan adil, ia tidak dapat berbuat
jahat dan bersifat zalim. Sehingga manusialah yang mewujudkan perbuatan baik
dan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidak patuhannya. Sehingga
Tuhan memberi kekuatan dan daya unutk melakukan segala perintah-Nya.
Ø Peniadaan sifat Tuhan dalam arti bahwa
apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bykanlah sifat yang mewujudkan
tersendiri diluar zat. Faham peniadaan sifat ini berasal dari Jahm karena Jahm
menurut al-Syahrastani berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada dalam manusia
tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena itu akan membawa kepada
Anthropomorphisme yang disebut dalam istilah Islam al-Tajassum atau al-Tasybih.
Demikian
ajaran-ajaran Wasil. Dua diantaranya yaitu posisi menengah dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan merupakan bagian integral dari al-Usul l-Khamsah atau
pancasila Mu-tazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-adl; al-Amr bi al-Ma’ruf WA al-nahy’ an al-Mukar, memerintahkan
orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau
perlu dengan kekerasan. Menurut al-Malatti, Wasil mempunyai dua murid yaitu Bisyr Ibn Sa’id dan Abu’Usman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah muncul dua pemimpin
lainnya yaitu Abu al-Huzail al-Allaf dan
Bisyr Ibn Mu’tamar. Abu
al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya arti Nafy al-Sifat atau peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud
tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat
qadim. Sehingga sifatnya adalah bersifat qadim. Dia juga berpendapat Tuhan
bener mengetahui tetapi bukan dengan sifat malahan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Selanjutnya dia berpendapat
bahwa manusia dengan mempergunakan aklnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan.
Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhazat pada mereka, tetapi karena
hikmat lainnya. Sehingga timbullah paham al-salah wa al-aslah dalam Mu’tazilah
yang artinya Tuhan mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik bagi keselamatan
manusia.
Dalam
membahas keadilan Abu al-Huzail berpendapat Tuhan berkuasa untuk bersikap zalim,
tetapi mustahil Tuhan bersikap Zalim karena itu membawa kurang sempurnanya.
Berlainnan dengan muridnya (Ibn Syyar Ibn Hani al-Nazzam) yang
mengatakan bahwa bukan hanya mustahil bagi Tuhan bersikap Zalim, alasannya
adalah bahwa kezaliman hanya dilakukan orang-orang yang mempunyai cacat dan
berhajat atau orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Mengenai
mu’jizat dia berpendapat bahwa al-Qur’an dalam gaya dan bahasa tidak merupakan
mu’jizat tetapi hanya dalam isinya. Menurut Nazzam kalam adalah suara yang
tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Mu’ammar Ibn’abbad yang
hidup semasa Abu al-Huzail dan al-Nazzam berpendapat yang diciptakan Tuhan
hanya benda-bendamateri itu sendiri, dalam bentuk naturseperti pembakaran oleh
api dan pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk pilihan seperti antara gerak
dan diam. Abu’Ali Muhammad’Abd al-Wahhab al-Jubba’i dan anaknya Abu
Hasyim’Abd al-salam berpendapat bahwa kalam atau sabda Tuhan tersusun
daru huruf atau suara. Tuhan disebut Mutakalim dalam arti menciptakan kalam.
Mereka juga berpendapat bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat manusia dengan
mata kepalanya di akhirat. Mengetahui Tuhan dan bersyukur kepadanya dan
mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk adalah wajib bagi manusia dalam
arti kewajiban yang diapaksakan akal (wajibat’aqiah).
Mengenai
peniadaaan sifat Tuhan, al-Jubbai mengatakan bahwa Tuhan
mengetahui melalui esensinya, demikian pula berkuasa dan hidupmelalui
esensinya. Seorang Mu’tazila Bagdad yaitu Abu Musa al-Murdar. Menurut
al-Syahrastani ia dengan kuat mempertahankan pendapat al-Qur’an tidak bersifat
Qadim tetapi diciptakan Tuhan. Ia juga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan
manusia bukanlah diciptakan Tuhan tetapi diwujudkan manusia sendiri. Ia juga
mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya. Hisyam
Ibn’Amr al-Fuwati mengatakan bahwa surga dan neraka belum mempunyai
wujud sekarang karena masa memasuki surga dan neraka belum tiba. Abu
al-Husain al-Khayat dan Sumamah Ibn Asyras berpendapat dalam
tubuh manusia sendiri yaitu tubuh yang baik dan sehat lagi tidak mempunyai
cacat. Ia juga berpendapat bahwa manusia melalui akalnya berkewajiban
mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk sebelum
wahyu turun. Didalam membahas sifat yang melekat kepada zat Tuhan dan Tuhan
berkehendak bukan melalui zat-Nya. Jika Tuhan berkehendak itu berarti bahwa ia
mengetahui, berkuasa dan tidak dipaksa melakukan perbuatan-perbuatan-Nya. Dan
jika Tuhan mengkehendaki perbuatan-perbuatan-Nya artinya itu berarti ia
menciptakan perbuatan-perbuatan itu sesuai dengan pengetahuan-Nya.
Selanjutnya kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam dua golongan,
antara lain:
1. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan
dan disebut sifat Zatiah.
2. Sifat-sifat yang merupakan
perbuatan-perbuatan Tuhan yang disebut sifat Fi’liah.
Sifat-sifat
perbuatan mengandung art hubungan antara Tuhan dengan mahluknya seperti
kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-‘adl). Sifat esensi seperti wujud (al-wujud), kekekalan dimasa lampau (al-qidam), hidup (al-hayah),
kekuasaan (al-qudrah). Tuhan dalam
paham Mu’tazilah tidak berbuat buruk bahkan menurut salah satu golongan tidak
bisa (yaqdir) berbuat buruk (Zulm) karena perbuatan yang demikian
timbul hanya dri orang-orang yang bersifat tidak sempurna. Satu ajaran lain
yang dekat dengan hubungannya dengan paham al-salah dan al-aslah ini adalah paham
Lulf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib menurunkan lulf bagi manusia. Yang
dimaksud lulf ialah semua hal yang membawa manusia kepada ketaatan dan
yang kan menjauhkan manusia dari maksiat. Ajaran dasar ketiga, janji dan
ancaman al-wa’d wa al- wa’id. Tuhan tidak akan dapat disebut adil jika ia tidak
membuat pahala kepada oarang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum yang
berbuat jahat. Keadilan mengkehendaki supaya orang bersalah dihukum dan orang
yang berbuat baik mendapat pahala.
Ajaran
dasar keempat, al-Mazilah bain al-manzilatain. Pembuat dosa besar
bukanlah kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi
bukan Mukmin karena imannya tidak sempurna. Bagi pembuat dosa besar harus
dimasukkan kedalam salah satu tempat. Iaman menurut mereka digambarkan bukan
hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Ajaran
dasar kelima Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap
sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja tetapi juga oleh golongan
umat islam lainnya. Kaum Khawarij untuk melakukan itu harus dengan kekerasan
tetapi kaum Mu’tazilah cukup dengan seruan, tetapi kalua perlu dengan
kekerasan. Kaum Mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya
mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantara rasio. Untuk mempertahankan
pendirian mereka maka mereka menggunakan argumen rasional dan juga ayat-ayat
al-Qur’an adan hadis Nabi. Kaum Mu’tazilah sangat tidak disukai karena sikap
mereka memakai kekerasan dan memyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad 9
Masehi, tetapi ada juga alim ulama yang membela kaum Mu’tazilah yaitu Al- Nasysyar
guru besar Falsafat Islam. Dia berpendapat bahwa al-Nazzam adalah orang lurus
serta benar (saliq) yang banyak Usahanya dalam membela Islam.
BAB VI
AHLI SUNNAH DAN JAMA’AH
Kaun
Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan mereka
tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu
akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena
itu kaum Mu’tazilah disamping merupakan golongan minoritas adalah pula golongan
yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Mungkin ini menimbulkan term ahli sunnah
dan jama’ah yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas
sebagai lawa golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang
pada sunnah. Sunnah dalam term ini berarti hadis. Ahli sunnah dan jama’ah
berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis-hadis sahih
tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan
tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-Muslimin
(umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al-kasir wa al-sawad al-a’zam (jumlah besar
dan khayak ramai). Ahli sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu
al-Hasan al-Asy’ari disekitar tahun 300 H, dia keluar dari kaum Mu’tazilah dan
membentuk aliran teologio yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri.
Yang
dimaksud ahli sunnah dan Jama’ah didalam
lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi. Pada suatu
ketika dia bermimpi tentang ahli hadis, dimana mimpinya Nabi Muhammad SAW
mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli hadislah yang benar dan mazhab
Mu’tazilah salah. Perkataan Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan mengetahui dengan
zay-Nya, karena dengan zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah
pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi Yang mengetahui (‘Alim).
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikianlah dengan sifat-sifat seperti sifat
hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. Perbuatan-perbuatan manusia bagi Asy’ari
bukanlah diwujudkan manusia sendiri sebagai pendapat Mu’tazilah tetapi
diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan Kufr adalah buruk tetapi orang kafir ingin
supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik.
Mengenai
anthropomorphisme Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan,mata
dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan
tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad). Mengenai paham
keadilan Tuhan dia sangat menentang yanf dibawa kaum Mu’tazilah, dia berpendapat
bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan
berbuat sekehendaknya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia kedalam
sorga bukanlah ia bersifat adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia kedalam
neraka tidaklah Ia bersifat Zalim. Ajaran tentang posisi menegah ditolak. Bagi
dia orang yang berdosa besar tetap mukmin karea imannya masih ada, tetapi
karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq.
Abu
Bakr al-Baqillani sifat Allah bukanlah sifat tetapi Hal, sesuai dengan pendapat
Abu Hasyim dari Mu’tazilah. Selanjutnya dia tidak sepaham dengan al-Asy’ari
mengenai paham perbuatan manusia. Menurut dia manusia mempunyai sumbangan yang
efwektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang
terdapat dalam diri manusia. Manusialah yang membuat gerak yang diciptakan
Tuhan itu. Al-Juwaini mengenai anthropomorphisme ia berpendapat bahwa tangan
Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan
penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan. Mengenai perbuatan
manusia dia berpendapat daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek. Tetapi
efeknya serupa dengan efek yang terdapat diantara sebab dan musabab. Wujud
perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia. Abu Hamid al-Ghazali
mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak indentik dengan zat
Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat. Al-Qur’an dalam pendapatnya bersifat
qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia berpendapat bahwa
Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan.
Aliran
Maturidiah adalah aliran yang dipelopori oleh Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Mahmud al-Maturidi . dimana paham-paham teologinya banyak persamaan dengan
paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologinya termasuk dalam
golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah. Dalam
persoalan perbuatan-perbuatan manusia sependapat dengan golongan Mu’tazilah
bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian
dia mempunyai paham qadariah dan bukan paham jabariah atau kasb Asy’ari. Dia
menolak ajaran tentang al-salah wa al-aslah, disamping itu dia juga berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. mengenai al Qur’an dia
tidak sependapat dengan kaum Mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa kalam atau sabda
Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim. Mengenai dosa besar dia
sependapat dengan al-Asy’ari bahwa orang-orang yang berdosa besar masih tetap
mukmin dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Dia juga
menolak soal posisi menengah kaum Mu’tazilah. Dalam soal al-wa’d wa al-wa’id
al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji Tuhan dan ancaman-ancaman
Tuhan tak bolek tidak mesti terjadi kelak. Dan mengenai anthropomorphisme
sealiran dengan Mu’tazilah, dia tidak sependapat dengan al-Asy’ari.
Comments
Post a Comment