Skip to main content

(LXIX. SEJARAH AGAMA BUDDHA & AJARAN)


SEJARAH AGAMA BUDDHA



Agama Budha

A.   Sidharta Gautama: Pengembaraan Hati Nurani Mencari Kebenaran

Tentang etimologi asal kata “Buddha” yaitu berasal dari kata kerja “buddh” yang artinya “bangun”. Orang Budha ialah orang yang bangun, artinya orang yang bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada di tengah-tengah cahaya pemandangan yang benar. Kepada orang Buddha diberikan juga nama-nama lain, misalnya Bhagavat, artinya yang luhur; Tathagata, artinya yang sempurna. Sebutan yang terakhir ini tidak jelas betul, karena tentang terjemahan kata “tathagata” itu tiada kepastian. Mungkin artinya: mereka yang datang begitu, ialah mereka yang datang dengan cara yang tepat. Dengan demikian lalu mempunyai arti: seorang yang suci, yang sesuai dengan suatu type tertentu dan merupakan salah satu diantara sekian banyak orang-orang suci. Selanjutnya seorang Budha adalah orang yang mendapat pengetahuan dengan kekuatannya sendiri. Jadi ia mencapai pengetahuan itu tidak dengan mendapat wahyu dari Allah, juga tidak dengan mempelajari kitab-kitab suci. Budha sendirilah yang mencapai pengetahuan. Budha bukanlah nama orang, melainkan suatu gelar. Nama pendiri agama Budha yang didapatnya dari orang tuanya ialah Siddharta (yang mencapai maksud tujuannya). Tetapi biasanya ia disebut Gautama karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda Gautama. Acap kali ia disebut juga Shakyamuni (rahib yang bijak dari kaum Shakya) dan Shaakya-sinha (singa dari kaum Shakya), karena ia sendiri termasuk kedalam golongan Ksatrya keturunan Shakya.[1]

Sidharta Gautama atau Budha Gautama (563-483 SM) adalah putra Raja Sudhodhana penguasa kerajaan Kavilawastu yang wilayahnya meliputi Nepal, Bhutan dan Sikkim (sekarang). Pada 524 SM, di saat ia berumur 39 tahun, Sidharta Gautama berontak dengan segala keadaan disekitarnya, ia pergi mengasingkan diri dan melakukan pertapaan untuk mencari kebenaran yang mengatasi kesengsaraan manusia dalam hidup ini. Setelah memperoleh hikmat, Budha Gautama bangkit dari pertapaan dan berangkat menuju kota Benares, kota suci tempat berziarahnya penganut Hindu. Di Sarnath ia bertemu dengan lima rahib bekas temannya, kemudian di Taman Menjangan (Deer Park) Ia menyampaikan khotbahnya untuk pertama kali (First Sermon) yang kemudian menjadi dasar ajaran agama Budha yang dikenal dengan sebutan Empat Kebenaran Utama (Catu Arya Sacca) dan delapan jalan kebajikan (Arya Attha Ngika Magga). 40 tahun berikutnya bersama dengan murid-muridnya mengemangkan ajarannya, lalu pada umur 80 tahun ia meninggal dunia di pangkuan saudara sepupu dan sekaligus murid yang dikasihinya yaitu  Ananda, di saat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia masih sempat menyampaikan nasihat yang bermakna: “Kerontokan itu suatu kemestian setiap susunan. Ikhtiarkan keselamatan dirimu dengan rajin”.


C.   Kitab Suci Tripitaka

Agama Budha memiliki kitab suci yang disebut dengan Tripitaka, yang memiliki arti sebagai berikut: Tri berarti tiga dan Pitaka bermakna bakul atau hikmat. Dengan demikian Tripitaka bermakna tiga himpunan hikmat:

a.    SUITA-PITAKA: dalam kitab ini terdiri dari ajaran dan khotbah sang Budha Gautama, dalam kitab ini juga terdapat dialog antara Budha Gautama dengan murid-muridnya. Selain itu juga terdapat tentang meditasi dan peribadatan. Kitab ini juga mengandung himpunan kata-kata hikmat, sajak-sajak agamawi dan kisah-kisah orang suci. Kitab ini terdiri dari berbagai Nikaya, setiap nikaya terdiri dari berbagai Sutta. Sutta itu sendiri terdiri dari berbagai Vagga (bab). Keseluruhan himpunan itu ditujukan bagi kalangan awam.



b.    VINAYA-PITAKA: berisikan Pattimokha, yakni tata-tertib para bhikkhul/bhikkhuni (sangha). Setiap peraturan itu dirumuskan, disusun, dan dibukukan sesuai dengan perkembangan sejarah, dan sampai saat ini berisikan 227 buah peraturan.



c.    ABIDHAMMA-PITAKA: berisikan dhamma lanjutan atau dhamma khusus. Kitab ini berisi berbagai himpunan tentang latihan ingatan (mind training), yang membahas secara rinci tentang proses pemikiran dan proses kesadaran. Kitab ini ditujukan bagi lapisan terpelajar dalam agama Budha.

Pada sisi lain kitab suci agama Budha itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu:

a.    Kitab Sutra,  yakni kitab yang dianggap merupakan ucapan Budha Gautama sendiri.

b.    Kitab Sastra, yang merupakan uraian sistimatis tokoh-tokoh ternama, seperti Nagarjuna dan Vasubaandhu.

                        Secara historis kitab suci agama Budha telah melalui dua masa penting, yaitu: Pertama, masa transmisi melalui lisan dan hafalan. Kedua, baru empat ratus tahun sepeninggal Budha Gautama menurut Christmas Humphrey kitab tersebut disusun secara tertulis oleh para scribers (para jurnalis). Ciri khas kitab suci ini adalah pengulangan-pengulangan kata dan kalimat yang banyak sekali ditemukan didalamnya.

D.   Konsili, Kristalisasi Ajaran dan Perkembangan

KONSILI PERTAMA

            Tidak lama sepeninggal Budha Gautama, sejumlah 500 orang muridnya berkumpul di Rajagriha merumuskan ajaran Budha Gautama tentang Dharma (pokok-pokok ajaran) dan Vinaya (Tata tertib) yang harus ditaati oleh para bikhu dan bikhuni (Sangha). Pertemuan ini dianggap sebagai konsili pertama dalam agama Budha.



KONSILI KEDUA

            Pada abad ke 4-SM kembali diadakan konsili di Vaisali. Konsili ini membahas tentang masalah kode etik yang harus ditaati masyarakat biara (sangha). Konsili kedua ini merumuskan tentang masalah kode etik yang harus ditaati masyarakat biara (Sangha) yaitu empat himpunan baru dalam Sutta-Pitaka, yan masing-masing disebut Nikaya:

-       Majjhima Nikaya

-       Samyutta Nikaya

-       Anguttara Nikaya

-       Kudahaka Nikaya

Dalam konsili ini terdapat dua perbedaan yang dimunculkan oleh dua aliran dalam agama Budha, yaitu:

·         Golongan Konservatif yang menyebut dirinya Sthaviravadina. Pada masa belakangan golongan ini lebih dikenal dengan aliran Theravada yang mempertahankan kesederhanaan ajaran Sidharta Gautama.

·         Golongan Liberal yang menanamkan dirinya Mahasanghikas. Golongan ini pada masa belakangan lebih dikenal dengan Mahayana yang mencoba memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ajaran Budha Gautama.



KONSILI KETIGA

            Ketika Kaisar Asoka (274-236 SM) berkuasa, dinasti tersebut tercatat sebagai imperium besar yang tiada taranya di anak benua India. Kaisar Asoka pada akhirnya melepaskan agama Hindu dan memeluk agama Budha dan mengumumkannya sebagai agama resmi imperium India. Pada tahun 244 SM berlangsung konsili ketiga di Pataliputera (Patna). Pada saat inilah disusun secara tertulis dalam bentuk Tripitaka. Prestasi besar agama Budha pada masa ini adalah ditandai dengan usaha Kaisar mengirim missi-missi Budha ke berbagai penguasa di luar India, diantaranya ke Syria, Mesir, Lybia, Makedonia, Grik, Sailan dan Bima. Pada 184 SM kekaisaran Maurya ditumbangkan oleh dinasti Sungga (184 SM- 78 M). Dinasti baru ini ternyata menjadikan kaum Brahmin sebagai penasehatnya sehingga terjadi berbagia penekanan terhadap kaum Budha sehingga agama Budha mengalami kemunduran. Pada tahun 78 M dinasti Kushana (78- 178 M) berhasil menumpas sisa-sisa dinasti Sungga yang hancur akibat terjadinya pemberontakan. Dinasti Kushana ini memiliki sifat yang toleran dalam agama sehingga memberikan angin segar kepada agam Budha, pada saat inilah kota Ujjain dan kota Matthura terkenal sebagai pusat agama, filsafat dan kesenian.



KONSILI KEEMPAT

            Pada masa pemerintahan dinasti Kushana, berlangsunglah konsili keempat di kota Jalandra di wilayah Punjab dibawah prakarsa sekte Sarvastivada, pecahan mazhab Theravada. Hasil dalam konsili ini adalah disalinnya Tripitaka ke dalam bahasa Sanskrit dengan nama Agamas. Pada masa ini pula disusun tujuh biku Abhidhamma dalam bahasa Sansekerta yang berisi pembahasan-pembahasan filosofis tentang setiap ajaran dan keyakinan keagamaan.



E.   Mazhab-Mazhab Dalam Agama Budha

Pada abad 4 SM, ketika berlangsungnya konsili Budha di Vaisalia muncul mazhab dalam agama Budha, yaitu: Mazhab Theravada dan Mazhab Mahayana.

Ä   Mazhab Theravada

Mazhab Theravada atau Stavira atau Sthaviravadin, yang kemudian disebut dengan Hinayana berkeyakinan bahwa agama Budha yang benar adalah bentuk yang tak diubah. Menurut mereka Budha Gautama adalah manusia yang telah mencapai pencerahan (Budhabood), sehingga mereka mempertahankan sifat kesederhanaan ajaran Budha itu sebagaimana yang diamalkan pengikut Budha generasi pertama. Mazhab ini menekankan  kesungguhan untuk menjadi orang yang suci (Arahat) yang berhasil menaklukkan hasrat (Tanha) sehingga bebas dari siklus kelahiran (Samsara) dan berhasil mencapai nirvana. Mazhab ini menggunakan bahasa Pali dalam upacara kebaktiannya.



Ada tiga doktrin yang paling menonjol dalam aliran Theravada itu, yakni:

a.    Doktrin tentang Anatta

Anatta bermakna “tanpa jiwa”. Terdiri dari 2 suku kata An (tidak, tanpa) dan Atta (jiwa). Implikasi penting dari ajaran ini adalah bahwa jiwa itu sebenarnya tidak ada. Tentang hal ini Budha Gautama pernah bersabda “Setiap apa pun yang disebut ada, itu adalah suatu susunan dan suatu bentuk. Setiap susunan termasuk makhluk hidup senantiasa berada dalam perubahan dan setiap perubahan akan berakhir dengan kemusnahan”.



b.    Doktrin tentang Skandas

Diri manusia itu dalam pandangan agama Budha adalah paduan dari lima skandas (susunan bagian) yang saling beriteraksi secara terus menerus. Kelima skandas itu adalah:

1.    Rhupa               : tubuh

2.    Vedana             : perasaan

3.    Samjna             : tanggapan

4.    Samskara         : kemauan

5.    Vijnana             : pemikiran

Interaksi kelima skandas itu diikiat oleh suatu kekuatan yang disebut prapti. Ketika manusia mati ikatan itu menjadi rerak sebab segalanya berada dalam perubahan dan kemusnahan. Rerak sebelum mokhsa (hidup suci) dipandang sebagai kererakan yang belum mutlak.





c.    Doktrin tentang Nirvana

Nirvana bermakna tiada suatu pun. Menurut ajaran Budha penderitaan baru akan berakhir bila seseorang mencapai Nirvana. Dalam Kitab Sutta Pitaka bagian Samyutta Nikaya dikisahkan sebuah dialog antara Murid Agung, Sariputta dengan Raja Milinda tentang Nirvana. Di situ Murid Agung menjelaskan bahwa Nirvana itu adalah The Extinetion Of Passion, Of Aversion, Of Confusion This Is Called Nirvana (Peniadaan hasrat, keenggahan, kebingungan. Inilah yang disebut Nirvana). Ini mengisahkan bahwa sewaktu hidup menurut Budha (Theravada) seseorang bisa mencapai Nirvana itu. Karenanya menurut keyakinan mereka, Budha Gautama sebelum mati telah mencapai Nirvana itu dan setelah mati ia baru masuk ke dalam Paranirvana (Nirvana Terakhir).

Ä   Mazhab Mahayana

Mahayana berarti kereta besar. Nama ini dipergunakan, sebab aliran tradisional (lawannya) Theravada (kereta kecil). Mazhab ini mulai tumbuh dan berkembang sekitar abad ke-2 M dan selanjutnya berkembang di berbagai negara, seperti Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea dan Jepang.

               Perbedaan penting antara mazhab Theravada dengan mazhab Mahayana ini terletak pada penekanan tujuannya. Kalau mazhab Theravada menekankan tujuannya agar seseorang menjadi suci (Arahat), menaklukkan hasrat-hasrat duniawi (tanha) sehingga terbebas dari daur kelahiran (samsara) dan mencapai Nirvana, sementara mazhab Mahayana menekankan tujuannya supaya seseorang itu mencapai watak Budha (Bodisatvas), kecuali  terbebas  dari ikatan-ikatan duniawi juga melakukan sejumlah aktivitas membantu orang lain agar terbebas juga dari Dukha (derita). Jadi disini terlihat agama Budha telah memasuki sifat misionernya.

               Menurut Mahayana menyelamatkan diri sambil menyelamatkan orang lain adalah tugas penyelamatan universal yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Budha Gautama. Jadi tujuannya bukan lagi kesucian diri sendiri untuk memperoleh nirvana melainkan juga mengikhtiarkan diri mencapai watak Budha. Sehubungan dengan itu mereka mengetengahkan konsep tiga kesempurnaan. Menurut konsep ini semua yang mendengar dan menerima agama Budha belum tentu mencapai tingkat kesempurnaan itu harus melalui tiga tingkatan:

a.    Arahat, orang suci yang belajar kebenaran dari orang lain dan melaksanakannya untuk dirinya.

b.    Pracekabudha, Budha-pribadi yang berdasarkan ilham memperoleh kebenaran yang lebih tinggi, tetapi disimpannya untuk dirinya dan tidak diajarkannya kepada orang lain.



c.    Budha, yang beroleh terang, yakni berdasarkan ilham ia memperoleh kebenaran lebih tinggi dan diajarkannya kepada orang lain.

Pada tingkatan ketiga ini seseorang telah mencapai kesempurnaan, penuh welas-asih terhadap sesama manusia, dan ia tidak lagi lebih mengutamakan diri sendiri, melainkan merasa berkewajiban menyelamatkan manusia pada umumnya.



G.   Sejarah Perkembangan Agama Budha di Indonesia

Agama Budha diperkirakan masuk ke Indonesia melalui Laut Selatan pada 68 M yang dibawa oleh seorang pengembang agama ini bernama Ajisaka. Ia mendarat di Pulau Majeti salah satu kumpulan pulau disekitar Nusa Kambangan, di depan kota Cilacap sekarang, di muara Kali Serayu. Ajisaka juga dikenal sebagai pencipta carakan (huruf) Jawa yang terdiri dari 20 huruf dan dipakai hingga kini sebagai huruf Jawa. Pelajaran agama Budha yang dibawa dan diajarkan Ajisaka tercatat sebagai tahun satu dari kalender Jawa dengan cara perhitungan Chandara-Sengkala; tanggal 1 Syura adalah tahun baru bagi tahun Jawa ini. Dari kota Cilacap para ulama Budhis menyusuri Kali Serayu hingga di Wonosobo sekarang dan daerah Pegunungan Dieng. Pegunungan ini dalam ukuran kecil mirip dengan pegunungan Himalaya. Daerah Kedu utara dan pegunungan Dieng adalah tempat awal dari penyebaran agama Budha di Indonesia, sebab kali (sungai) merupakan satu-satunya jalan pintas pada waktu itu. Lalu penduduk di sekitar Kali Serayu itu memeluk agama Budha.

Secara garis besar perkembangan agama Budha di Indonesia dapat dibagi dalam empat penggalan masa/zaman:

1.    Zaman Sailendra di Mataram

Rentang waktu antara 775-850 M adalah zaman keemasan bagi Mataram. Saat ini berkuasalah di daerah Bagelan dan Yogyakarta raja-raja dari Sailendra yang memeluk agama Budha, dan memerintah secara arif lagi bijaksana, yang menyebabkan kerajaan menjadi aman dan makmur. Sebagaimana yang berlaku dalam hukum sejarah bahwa keamanan dan kemakmuran secara positif akan memunculkan kemajuan bidang ilmu, maka di kerajaan ini pun ilmu pengetahuan tentang agama Budha dan kesenian, terutama seni pahat, maju dengan pesat. Para seniman bangsa ini telah menghasilkan karya-karya yang mengagumkan. Lihat saja misalnya betapa megahnya candi-candi yang mereka ciptakan, seperti:

-       Candi Kalasan, terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta yang didirikan oleh Rakai Panakaran pada 778 atas perintah Raja Sailendra.

-       Candi Sewu, yang terletak di Prambanan (perbatasan Solo-Yogyakarta), didirikan pada tahun 800.

-       Candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut yang terletak dekat kota Muntilan, didirikan tahun 825 atas perintah Raja Sailendra bernama Samoratungga.



2.    Zaman Majapahit

Dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit (1292-1476) agama Budha berkembang dengan baik berdampingan dengan agama Hindu. Mahayana Hayam Wuruk dalam menjalankan pemerintahannya didampingi oleh penasihat agung dalam bidang keagamaan yaitu Dharmadhyaksa Ring Kasewan dari golongan Hindu dan Dharmadhyaksa Ring Kasewan dari golongan Budha. Kerukunan hidup umat beragama di zaman Majapahit dirintis oleh Pujungga Budhis, Mpu Tantular yang dalambait syairnya didalam buku Sutasoma menulis:

Siwa Budha Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa

Kalimat sakti ini dapat mempersatukan rakyat Majapahit waktu itu, dan kini dapat mempersatukan rakyat Indonesia. Setelah Majapahit runtuh pada 1478, kedudukan agama Budha dan Hindu digeser oleh agama Islam.



3.    Zaman Kebangkitan Agama Budha di Indonesia

Kebangkitan kembali agama Budha di Jawa terjadi setelah kedatangan Bikhu Narada Thera dari Sri Langka (Ceylon) ke Jawa pada bulan Maret 1934. Selama berada di Jawa bikhu ini melakukan aktifitas sebagai berikut:

a.    Ia menyampaikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran agama Budha-Dharma di berbagai tempat di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

b.    Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada 10 Maret 1934.

c.    Membantu kerja sama yang erat dengan bikhu-bikhu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Le, Kwam Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tim Kok Si di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofi di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

d.    Melantik upasaka-upasaka dan upasiaka-upasika di tempat-tempat yang dikunjunginya. Ia melantik S. Mangunkowotjo, tokoh agama Budha Jawa Tengah dan anggota MPR menjadi upasaka di Yogyakarta pada 10 Maret 1934.



4.    Zaman Kebangkitan secara terorganisir

Kebangkitan agama Budha secara terorganisir di Indonesia dimulai 1954 ketika terbentuknya Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang berkedudukan di Semarang. Pada 1958 dibentuklah organisasi masyarakat Budhis dengan nama Perhimpunan Budhis Indonesia (PERBUDI) yang berkedudukan di Semarang. Akan tetapi pada 1962 kedudukan PUUI dan PERBUDI dipindahkan ke Jakarata.

                  Pada 1958 beberapa Bikhu dan Samanera ditahbiskan oleh para bikhu dari negara sahabat seperti Birma, Thailand, Sri Langka. Sangha Suci Indoonesia berdiri tahun 1960, namun 1972 terjadi perbedaan pendapat didalamnya sehingga pecah menjadi dua, masing-masing Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia, lalupada tahun 1974 kedua organisasi ini bersatu kembali dengan nama Sangha Agung Indonesia berkedudukan di Vihara Sakyawanaram, Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Dalam rangka tugasnya membantu Sangha meladeni kepentingan umat Budha dan perkembangan agama Budha PUUI kemudian berganti nama dengan Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI) akan tetapi MUABI digantikan dengan nama yang sesuai denga ajaran Budha, sehingga dicarikan nama yang sesuai yakni Majelis Upasaka Pandita Agama Budha Indonesia dengan singkatan yang sama yakni MUABI dan kemudian 1979 menjadi Majelis Budhayana Indonesia. Sehubungan dengan adanya penggabungan ormas oleh pemerintah maka pada 1979 organisasi Budha dilebur menjadi ormas tunggal yang disebut Budha Dharma Indonesia (BUDHI) yang terkenal dengan Ikrar Mendut.

                  Dewasa ini ormas Budhis yang berorientasikan politik atau turut berpolitik adalah Gabungan Umat Budha Seluruh Indonesia (GUBSI) yang di bentuk pada 29 September 1976 dan Musyawarah Kekeluargaan Budhis Indonesia (MKBI). Untuk kelancaran pengurusan keagamaan umat Budha, maka 11 Oktober 1976 dibentuklah Majelis Agung Budha Indonesia (MABI) dan pada akhir tahun 1978 dilebur kedalam Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI).



[1] A. G. Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 165-167.

Comments

Popular posts from this blog

(LX. SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP)

SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP  I. Pendahuluan             Baptisan merupakan salah satu sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.             Kata “baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus. [1] Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan Kristus ke dunia. [2] HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samp...

(LXXVI. MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)

MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON   MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA [1] 1. Biografi             Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada 26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.             Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967 dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul Die Konkretisierung ...

(XXXI. TAFSIRAN HISTORIS KRITIS MAZMUR 23:1-6)

Tinjauan Historis Kitab Mazmur 23:1-6 Oleh " Rahman Saputra Tamba " BAB I Pendahuluan             Nama kitab ini dalam LXX adalah Psalmoi [1] . Alkitab bahasa latin memakai nama yang sama. Kata Yunani (dari kata kerja psallo yang artinya “memetik atau mendentingkan”). Mula-mula digunakan untuk permainan alat musik petik atau untuk alat musik itu. Kemudian kata ini menunjukkan nyanyian ( psalmos ) atau kumpulan nyanyian ( psalterion) . [2] Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul Kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah [3] tehillim yang artinya “puji-pujian atau nyanyian pujian”.             Dalam Alkitab Ibrani, Kitab Mazmur terdapat pada awal bagian Kitab-kitab. Para nabi menempatkan sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Da...