SEJARAH AGAMA BUDDHA
Agama Budha
A. Sidharta Gautama: Pengembaraan Hati
Nurani Mencari Kebenaran
Tentang
etimologi asal kata “Buddha” yaitu berasal dari kata kerja “buddh” yang artinya
“bangun”. Orang Budha ialah orang yang bangun, artinya orang yang bangun dari
malam kesesatan dan sekarang ada di tengah-tengah cahaya pemandangan yang
benar. Kepada orang Buddha diberikan juga nama-nama lain, misalnya Bhagavat,
artinya yang luhur; Tathagata, artinya yang sempurna. Sebutan yang terakhir ini
tidak jelas betul, karena tentang terjemahan kata “tathagata” itu tiada
kepastian. Mungkin artinya: mereka yang datang begitu, ialah mereka yang datang
dengan cara yang tepat. Dengan demikian lalu mempunyai arti: seorang yang suci,
yang sesuai dengan suatu type tertentu dan merupakan salah satu diantara sekian
banyak orang-orang suci. Selanjutnya seorang Budha adalah orang yang mendapat
pengetahuan dengan kekuatannya sendiri. Jadi ia mencapai pengetahuan itu tidak
dengan mendapat wahyu dari Allah, juga tidak dengan mempelajari kitab-kitab
suci. Budha sendirilah yang mencapai pengetahuan. Budha bukanlah nama orang,
melainkan suatu gelar. Nama pendiri agama Budha yang didapatnya dari orang
tuanya ialah Siddharta (yang mencapai maksud tujuannya). Tetapi biasanya ia
disebut Gautama karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan
Guru Weda Gautama. Acap kali ia disebut juga Shakyamuni (rahib yang bijak dari
kaum Shakya) dan Shaakya-sinha (singa dari kaum Shakya), karena ia sendiri
termasuk kedalam golongan Ksatrya keturunan Shakya.[1]
Sidharta
Gautama atau Budha Gautama (563-483 SM) adalah putra Raja Sudhodhana penguasa
kerajaan Kavilawastu yang wilayahnya meliputi Nepal, Bhutan dan Sikkim
(sekarang). Pada 524 SM, di saat ia berumur 39 tahun, Sidharta Gautama berontak
dengan segala keadaan disekitarnya, ia pergi mengasingkan diri dan melakukan
pertapaan untuk mencari kebenaran yang mengatasi kesengsaraan manusia dalam
hidup ini. Setelah memperoleh hikmat, Budha Gautama bangkit dari pertapaan dan
berangkat menuju kota Benares, kota suci tempat berziarahnya penganut Hindu. Di
Sarnath ia bertemu dengan lima rahib bekas temannya, kemudian di Taman
Menjangan (Deer Park) Ia menyampaikan
khotbahnya untuk pertama kali (First
Sermon) yang kemudian menjadi dasar ajaran agama Budha yang dikenal dengan
sebutan Empat Kebenaran Utama (Catu Arya
Sacca) dan delapan jalan kebajikan (Arya Attha Ngika Magga). 40 tahun
berikutnya bersama dengan murid-muridnya mengemangkan ajarannya, lalu pada umur
80 tahun ia meninggal dunia di pangkuan saudara sepupu dan sekaligus murid yang
dikasihinya yaitu Ananda, di saat
sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia masih sempat menyampaikan nasihat
yang bermakna: “Kerontokan itu suatu kemestian setiap susunan. Ikhtiarkan
keselamatan dirimu dengan rajin”.
C. Kitab Suci Tripitaka
Agama
Budha memiliki kitab suci yang disebut dengan Tripitaka, yang memiliki arti
sebagai berikut: Tri berarti tiga dan Pitaka bermakna bakul atau hikmat.
Dengan demikian Tripitaka bermakna tiga himpunan hikmat:
a.
SUITA-PITAKA:
dalam kitab ini terdiri dari ajaran dan khotbah sang Budha Gautama, dalam kitab
ini juga terdapat dialog antara Budha Gautama dengan murid-muridnya. Selain itu
juga terdapat tentang meditasi dan peribadatan. Kitab ini juga mengandung
himpunan kata-kata hikmat, sajak-sajak agamawi dan kisah-kisah orang suci.
Kitab ini terdiri dari berbagai Nikaya,
setiap nikaya terdiri dari berbagai Sutta. Sutta itu sendiri terdiri dari berbagai Vagga (bab). Keseluruhan himpunan itu ditujukan bagi kalangan awam.
b.
VINAYA-PITAKA: berisikan
Pattimokha, yakni tata-tertib para bhikkhul/bhikkhuni (sangha). Setiap
peraturan itu dirumuskan, disusun, dan dibukukan sesuai dengan perkembangan
sejarah, dan sampai saat ini berisikan 227 buah peraturan.
c. ABIDHAMMA-PITAKA:
berisikan dhamma lanjutan atau dhamma khusus. Kitab ini berisi berbagai
himpunan tentang latihan ingatan (mind training), yang membahas secara rinci
tentang proses pemikiran dan proses kesadaran. Kitab ini ditujukan bagi lapisan
terpelajar dalam agama Budha.
Pada sisi lain kitab
suci agama Budha itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu:
a. Kitab
Sutra, yakni kitab yang dianggap
merupakan ucapan Budha Gautama sendiri.
b. Kitab
Sastra, yang merupakan uraian sistimatis tokoh-tokoh ternama, seperti Nagarjuna
dan Vasubaandhu.
Secara historis kitab
suci agama Budha telah melalui dua masa penting, yaitu: Pertama, masa transmisi melalui lisan dan hafalan. Kedua, baru empat ratus tahun
sepeninggal Budha Gautama menurut Christmas Humphrey kitab tersebut disusun
secara tertulis oleh para scribers
(para jurnalis). Ciri khas kitab suci ini adalah pengulangan-pengulangan kata
dan kalimat yang banyak sekali ditemukan didalamnya.
D. Konsili, Kristalisasi Ajaran dan
Perkembangan
KONSILI PERTAMA
Tidak
lama sepeninggal Budha Gautama, sejumlah 500 orang muridnya berkumpul di
Rajagriha merumuskan ajaran Budha Gautama tentang Dharma (pokok-pokok ajaran) dan Vinaya
(Tata tertib) yang harus ditaati oleh para bikhu dan bikhuni (Sangha).
Pertemuan ini dianggap sebagai konsili pertama dalam agama Budha.
KONSILI KEDUA
Pada
abad ke 4-SM kembali diadakan konsili di Vaisali. Konsili ini membahas tentang
masalah kode etik yang harus ditaati masyarakat biara (sangha). Konsili kedua
ini merumuskan tentang masalah kode etik yang harus ditaati masyarakat biara
(Sangha) yaitu empat himpunan baru dalam Sutta-Pitaka,
yan masing-masing disebut Nikaya:
- Majjhima
Nikaya
- Samyutta Nikaya
- Anguttara Nikaya
- Kudahaka Nikaya
Dalam
konsili ini terdapat dua perbedaan yang dimunculkan oleh dua aliran dalam agama
Budha, yaitu:
·
Golongan Konservatif yang menyebut dirinya Sthaviravadina. Pada masa belakangan
golongan ini lebih dikenal dengan aliran Theravada
yang mempertahankan kesederhanaan ajaran Sidharta Gautama.
·
Golongan Liberal yang menanamkan dirinya Mahasanghikas. Golongan ini pada masa
belakangan lebih dikenal dengan Mahayana
yang mencoba memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ajaran Budha Gautama.
KONSILI KETIGA
Ketika Kaisar Asoka (274-236 SM)
berkuasa, dinasti tersebut tercatat sebagai imperium besar yang tiada taranya
di anak benua India. Kaisar Asoka pada akhirnya melepaskan agama Hindu dan
memeluk agama Budha dan mengumumkannya sebagai agama resmi imperium India. Pada
tahun 244 SM berlangsung konsili ketiga di Pataliputera (Patna). Pada saat
inilah disusun secara tertulis dalam bentuk Tripitaka. Prestasi besar agama
Budha pada masa ini adalah ditandai dengan usaha Kaisar mengirim missi-missi
Budha ke berbagai penguasa di luar India, diantaranya ke Syria, Mesir, Lybia,
Makedonia, Grik, Sailan dan Bima. Pada 184 SM kekaisaran Maurya ditumbangkan
oleh dinasti Sungga (184 SM- 78 M). Dinasti baru ini ternyata menjadikan kaum
Brahmin sebagai penasehatnya sehingga terjadi berbagia penekanan terhadap kaum
Budha sehingga agama Budha mengalami kemunduran. Pada tahun 78 M dinasti
Kushana (78- 178 M) berhasil menumpas sisa-sisa dinasti Sungga yang hancur
akibat terjadinya pemberontakan. Dinasti Kushana ini memiliki sifat yang
toleran dalam agama sehingga memberikan angin segar kepada agam Budha, pada
saat inilah kota Ujjain dan kota Matthura terkenal sebagai pusat agama,
filsafat dan kesenian.
KONSILI KEEMPAT
Pada
masa pemerintahan dinasti Kushana, berlangsunglah konsili keempat di kota
Jalandra di wilayah Punjab dibawah prakarsa sekte Sarvastivada, pecahan mazhab Theravada.
Hasil dalam konsili ini adalah disalinnya Tripitaka ke dalam bahasa Sanskrit
dengan nama Agamas. Pada masa ini
pula disusun tujuh biku Abhidhamma
dalam bahasa Sansekerta yang berisi pembahasan-pembahasan filosofis tentang
setiap ajaran dan keyakinan keagamaan.
E. Mazhab-Mazhab Dalam Agama Budha
Pada
abad 4 SM, ketika berlangsungnya konsili Budha di Vaisalia muncul mazhab dalam
agama Budha, yaitu: Mazhab Theravada dan Mazhab Mahayana.
Ä Mazhab
Theravada
Mazhab Theravada atau Stavira atau Sthaviravadin,
yang kemudian disebut dengan Hinayana
berkeyakinan bahwa agama Budha yang benar adalah bentuk yang tak diubah.
Menurut mereka Budha Gautama adalah manusia yang telah mencapai pencerahan (Budhabood), sehingga mereka
mempertahankan sifat kesederhanaan ajaran Budha itu sebagaimana yang diamalkan
pengikut Budha generasi pertama. Mazhab ini menekankan kesungguhan untuk menjadi orang yang suci
(Arahat) yang berhasil menaklukkan hasrat (Tanha)
sehingga bebas dari siklus kelahiran (Samsara)
dan berhasil mencapai nirvana. Mazhab ini menggunakan bahasa Pali dalam upacara
kebaktiannya.
Ada tiga doktrin yang paling menonjol dalam
aliran Theravada itu, yakni:
a. Doktrin
tentang Anatta
Anatta bermakna “tanpa jiwa”. Terdiri dari 2
suku kata An (tidak, tanpa) dan Atta (jiwa). Implikasi penting dari ajaran ini
adalah bahwa jiwa itu sebenarnya tidak ada. Tentang hal ini Budha Gautama
pernah bersabda “Setiap apa pun yang disebut ada, itu adalah suatu susunan dan
suatu bentuk. Setiap susunan termasuk makhluk hidup senantiasa berada dalam
perubahan dan setiap perubahan akan berakhir dengan kemusnahan”.
b. Doktrin
tentang Skandas
Diri manusia itu dalam pandangan agama Budha
adalah paduan dari lima skandas
(susunan bagian) yang saling beriteraksi secara terus menerus. Kelima skandas itu adalah:
1. Rhupa : tubuh
2. Vedana :
perasaan
3. Samjna :
tanggapan
4. Samskara :
kemauan
5. Vijnana :
pemikiran
Interaksi kelima skandas itu diikiat oleh suatu kekuatan
yang disebut prapti. Ketika manusia
mati ikatan itu menjadi rerak sebab segalanya berada dalam perubahan dan
kemusnahan. Rerak sebelum mokhsa
(hidup suci) dipandang sebagai kererakan yang
belum mutlak.
c. Doktrin
tentang Nirvana
Nirvana
bermakna tiada suatu pun. Menurut ajaran Budha penderitaan baru akan berakhir
bila seseorang mencapai Nirvana. Dalam
Kitab Sutta Pitaka bagian Samyutta Nikaya dikisahkan sebuah dialog
antara Murid Agung, Sariputta dengan Raja Milinda tentang Nirvana. Di situ Murid Agung menjelaskan bahwa Nirvana itu adalah The
Extinetion Of Passion, Of Aversion, Of Confusion This Is Called Nirvana (Peniadaan
hasrat, keenggahan, kebingungan. Inilah yang disebut Nirvana). Ini mengisahkan
bahwa sewaktu hidup menurut Budha (Theravada) seseorang bisa mencapai Nirvana
itu. Karenanya menurut keyakinan mereka, Budha Gautama sebelum mati telah
mencapai Nirvana itu dan setelah mati
ia baru masuk ke dalam Paranirvana (Nirvana
Terakhir).
Ä Mazhab
Mahayana
Mahayana berarti kereta besar. Nama ini
dipergunakan, sebab aliran tradisional (lawannya) Theravada (kereta kecil).
Mazhab ini mulai tumbuh dan berkembang sekitar abad ke-2 M dan selanjutnya
berkembang di berbagai negara, seperti Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea dan
Jepang.
Perbedaan
penting antara mazhab Theravada dengan mazhab Mahayana ini terletak pada
penekanan tujuannya. Kalau mazhab Theravada menekankan tujuannya agar seseorang
menjadi suci (Arahat), menaklukkan hasrat-hasrat duniawi (tanha) sehingga
terbebas dari daur kelahiran (samsara) dan mencapai Nirvana, sementara mazhab
Mahayana menekankan tujuannya supaya seseorang itu mencapai watak Budha (Bodisatvas),
kecuali terbebas dari ikatan-ikatan duniawi juga melakukan
sejumlah aktivitas membantu orang lain agar terbebas juga dari Dukha (derita). Jadi disini terlihat
agama Budha telah memasuki sifat misionernya.
Menurut
Mahayana menyelamatkan diri sambil menyelamatkan orang lain adalah tugas
penyelamatan universal yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Budha Gautama. Jadi
tujuannya bukan lagi kesucian diri sendiri untuk memperoleh nirvana melainkan juga mengikhtiarkan
diri mencapai watak Budha. Sehubungan dengan itu mereka mengetengahkan konsep tiga
kesempurnaan. Menurut konsep ini semua yang mendengar dan menerima agama Budha
belum tentu mencapai tingkat kesempurnaan itu harus melalui tiga tingkatan:
a.
Arahat,
orang
suci yang belajar kebenaran dari orang lain dan melaksanakannya untuk dirinya.
b.
Pracekabudha,
Budha-pribadi
yang berdasarkan ilham memperoleh kebenaran yang lebih tinggi, tetapi
disimpannya untuk dirinya dan tidak diajarkannya kepada orang lain.
c.
Budha,
yang
beroleh terang, yakni berdasarkan ilham ia memperoleh kebenaran lebih tinggi
dan diajarkannya kepada orang lain.
Pada tingkatan ketiga ini
seseorang telah mencapai kesempurnaan, penuh welas-asih terhadap sesama
manusia, dan ia tidak lagi lebih mengutamakan diri sendiri, melainkan merasa
berkewajiban menyelamatkan manusia pada umumnya.
G. Sejarah Perkembangan Agama Budha di
Indonesia
Agama
Budha diperkirakan masuk ke Indonesia melalui Laut Selatan pada 68 M yang
dibawa oleh seorang pengembang agama ini bernama Ajisaka. Ia mendarat di Pulau
Majeti salah satu kumpulan pulau disekitar Nusa Kambangan, di depan kota
Cilacap sekarang, di muara Kali Serayu. Ajisaka juga dikenal sebagai pencipta carakan (huruf) Jawa yang terdiri dari
20 huruf dan dipakai hingga kini sebagai huruf Jawa. Pelajaran agama Budha yang
dibawa dan diajarkan Ajisaka tercatat sebagai tahun satu dari kalender Jawa
dengan cara perhitungan Chandara-Sengkala;
tanggal 1 Syura adalah tahun baru bagi tahun Jawa ini. Dari kota Cilacap para
ulama Budhis menyusuri Kali Serayu hingga di Wonosobo sekarang dan daerah
Pegunungan Dieng. Pegunungan ini dalam ukuran kecil mirip dengan pegunungan
Himalaya. Daerah Kedu utara dan pegunungan Dieng adalah tempat awal dari
penyebaran agama Budha di Indonesia, sebab kali (sungai) merupakan satu-satunya
jalan pintas pada waktu itu. Lalu penduduk di sekitar Kali Serayu itu memeluk
agama Budha.
Secara
garis besar perkembangan agama Budha di Indonesia dapat dibagi dalam empat
penggalan masa/zaman:
1. Zaman
Sailendra di Mataram
Rentang
waktu antara 775-850 M adalah zaman keemasan bagi Mataram. Saat ini berkuasalah
di daerah Bagelan dan Yogyakarta raja-raja dari Sailendra yang memeluk agama
Budha, dan memerintah secara arif lagi bijaksana, yang menyebabkan kerajaan
menjadi aman dan makmur. Sebagaimana yang berlaku dalam hukum sejarah bahwa
keamanan dan kemakmuran secara positif akan memunculkan kemajuan bidang ilmu,
maka di kerajaan ini pun ilmu pengetahuan tentang agama Budha dan kesenian,
terutama seni pahat, maju dengan pesat. Para seniman bangsa ini telah
menghasilkan karya-karya yang mengagumkan. Lihat saja misalnya betapa megahnya
candi-candi yang mereka ciptakan, seperti:
- Candi
Kalasan, terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta yang didirikan oleh
Rakai Panakaran pada 778 atas perintah Raja Sailendra.
- Candi
Sewu, yang terletak di Prambanan (perbatasan Solo-Yogyakarta), didirikan pada
tahun 800.
- Candi-candi
Borobudur, Pawon, Mendut yang terletak dekat kota Muntilan, didirikan tahun 825
atas perintah Raja Sailendra bernama Samoratungga.
2. Zaman
Majapahit
Dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit
(1292-1476) agama Budha berkembang dengan baik berdampingan dengan agama Hindu.
Mahayana Hayam Wuruk dalam menjalankan pemerintahannya didampingi oleh
penasihat agung dalam bidang keagamaan yaitu Dharmadhyaksa Ring Kasewan dari golongan Hindu dan Dharmadhyaksa Ring Kasewan dari golongan
Budha. Kerukunan hidup umat beragama di zaman Majapahit dirintis oleh Pujungga
Budhis, Mpu Tantular yang dalambait syairnya didalam buku Sutasoma menulis:
Siwa Budha Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrwa
Kalimat sakti ini dapat mempersatukan rakyat
Majapahit waktu itu, dan kini dapat mempersatukan rakyat Indonesia. Setelah
Majapahit runtuh pada 1478, kedudukan agama Budha dan Hindu digeser oleh agama
Islam.
3. Zaman
Kebangkitan Agama Budha di Indonesia
Kebangkitan kembali agama Budha di Jawa
terjadi setelah kedatangan Bikhu Narada Thera dari Sri Langka (Ceylon) ke Jawa
pada bulan Maret 1934. Selama berada di Jawa bikhu ini melakukan aktifitas
sebagai berikut:
a. Ia
menyampaikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran agama Budha-Dharma di
berbagai tempat di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
b. Memberkahi
penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
c. Membantu
kerja sama yang erat dengan bikhu-bikhu (hweshio-hweshio) dari
kelenteng-kelenteng Kim Tek Le, Kwam Im
Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng
Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tim Kok Si di Solo dan
perhimpunan-perhimpunan Theosofi di
Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
d. Melantik
upasaka-upasaka dan upasiaka-upasika di tempat-tempat yang
dikunjunginya. Ia melantik S. Mangunkowotjo, tokoh agama Budha Jawa Tengah dan
anggota MPR menjadi upasaka di
Yogyakarta pada 10 Maret 1934.
4. Zaman
Kebangkitan secara terorganisir
Kebangkitan agama Budha secara terorganisir
di Indonesia dimulai 1954 ketika terbentuknya Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang berkedudukan di Semarang.
Pada 1958 dibentuklah organisasi masyarakat Budhis
dengan nama Perhimpunan Budhis Indonesia (PERBUDI) yang berkedudukan di
Semarang. Akan tetapi pada 1962 kedudukan PUUI dan PERBUDI dipindahkan ke
Jakarata.
Pada
1958 beberapa Bikhu dan Samanera ditahbiskan oleh para bikhu
dari negara sahabat seperti Birma, Thailand, Sri Langka. Sangha Suci Indoonesia berdiri tahun 1960, namun 1972 terjadi
perbedaan pendapat didalamnya sehingga pecah menjadi dua, masing-masing Sangha
Indonesia dan Maha Sangha Indonesia,
lalupada tahun 1974 kedua organisasi ini bersatu kembali dengan nama Sangha Agung Indonesia berkedudukan di Vihara Sakyawanaram, Pacet, Sindanglaya,
Jawa Barat. Dalam rangka tugasnya membantu Sangha
meladeni kepentingan umat Budha dan perkembangan agama Budha PUUI kemudian
berganti nama dengan Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI) akan tetapi
MUABI digantikan dengan nama yang sesuai denga ajaran Budha, sehingga dicarikan
nama yang sesuai yakni Majelis Upasaka Pandita Agama Budha Indonesia dengan
singkatan yang sama yakni MUABI dan kemudian 1979 menjadi Majelis Budhayana
Indonesia. Sehubungan dengan adanya penggabungan ormas oleh pemerintah maka
pada 1979 organisasi Budha dilebur menjadi ormas tunggal yang disebut Budha
Dharma Indonesia (BUDHI) yang terkenal dengan Ikrar Mendut.
Dewasa
ini ormas Budhis yang berorientasikan politik atau turut berpolitik adalah
Gabungan Umat Budha Seluruh Indonesia (GUBSI) yang di bentuk pada 29 September
1976 dan Musyawarah Kekeluargaan Budhis Indonesia (MKBI). Untuk kelancaran
pengurusan keagamaan umat Budha, maka 11 Oktober 1976 dibentuklah Majelis Agung
Budha Indonesia (MABI) dan pada akhir tahun 1978 dilebur kedalam Perwalian Umat
Budha Indonesia (WALUBI).
Comments
Post a Comment