PANCA SRADA
Panca
Srada terdiri dari lima
pokok, yaitu: Brahman, Atman, Karman, Samsara dan Purnabawa, Moksa. Kelima
pokok ini diyakini merupakan jalan keselamatan dan kebahagiaan.
1. Brahman, merupakan daya atau kuasa yang ada di
dalam kata-kata atau kalimat syair dan mantera dari kitab weda. Brahman adalah
penyebab dari segala yang ada di dunia. Perkembangan agama Hindu menyebutkan
bahwa Brahman adalah Sang Hyang Widhiwasa atau Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam
perannya sebagai pencipta disebut Brahma
(disebut Utpatti yang disimbolkan dengan A),
dalam perannya sebagai pemelihara dan pelindung disebut Wisnu (disebut Shatiti yang disimbolkan dengan U), sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi alam kepada sumber
asalnya disebut dengan Siwa Rudra
(disebut dengan Paralina, disimbolkan dengan M).
2.
Atman, bersifat kekal dan sempurna
tetapi tubuh manusia adalah fana. Tubuh bisa hancur atau binasa sedangkan Atman
hidup untuk selama-lamanya. Badan akan berpisah dari Atman pada waktu makhluk
hidup mengalami kematian. Atman akan pergi ke surga/neraka sesuai dengan
perbuatannya selama masih hidup. Dari sana
ia akan punarbawa (lahir kembali) mengambil bentuk yang baru sesuai dengan
karmapala (perbuatan) nya. Hal ini akan terus terjadi secara berulangkali
hingga Atman bersatu dengan Brahmana.
3.
Karman, berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti berbuat atau bertingkah laku. Dengan demikian karma
adalah perbuatan manusia yang bersifat jasmani maupun rohani. Karma merupakan
hukum sebab-akibat yang disebut dengan Karmaphala. Segala gerak dan aktivitas
yang dilakukan oleh manusia sengaja atau tidak, disadari atau tidak disebut
dengan Karma.
Berdasarkan
hukum, Karmaphala ada tiga bentuk, yaitu:
a.
Sancita Karmaphala, merupakan pahala dari perbuatan
yang terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih untuk
menentukan kehidupan sekarang.
b.
Prarabda Karmaphala, merupakan karma ynag dilakukan
pada saat hidup sekarang dan hasilnya juga dinikmati pada saat ini.
c.
Kriyamana Karmaphala, merupakan perbuatan yang hasilnya
belum sempat dinikmati dan akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang.
4.
Samsara dan Purnabawa, Samsara
berarti laut atau gelombang pasang-surut laut. Kehidupan di dunia juga bagaikan
gelombang laut yang terus silih berganti, tidak pernah tenang, penuh dengan
penderitaan dan kesengsaraan. Manusia dalam kehidupannya juga akan silih
berganti mengalami lahir, hidup, dan mati yang akan terjadi secara
terus-menerus hingga akhirnya sulit untuk ditentukan.
Setelah
selesai batas waktu untuk mengalami surga/neraka, maka Atman akan lahir kembali
dalam bentuk dan kehidupan baru yang disebut dengan Purnabawa (Reinkarnasi).
Menurut agama Hindu, bukti adanya Purnabawa dapat dilihat dari kehidupan
manusia. Ada
yang lahir di tempat yang mewah, bertata susila, sehat jasmani dan memiliki
bakat di bidang tertentu. Sementara ada yang lahir dalam kemiskinan dan
penderitaan, tidak memiliki bakat dan cacat tubuh. Segala makhluk hidup akan
mengalami Purnabawa. Karma yang baik akan mengakibatkan Atman mencapai surga.
Jika menjelma kembali dia akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih tinggi
dan lebih sempurna. Kebahagiaan disebut dengan Swarga Cyuta, sedangkan Atman
yang menjelma dari neraka akan mengalami penderitaan dan dihina yang disebut
dengan Neraka Cyuta.
5.
Moksa, merupakan tujuan hidup yang
tertinggi dalam agama Hindu adalah Moksa, yaitu kebahagiaan yang dialami ketika
Atman bersatu dengan Brahman. Dalam istilah lain, Moksa disebut juga dengan
Mukti atau Nirwana. Dalam Moksa, aturan terbebas dari hukum Karmaphala, Samsara
dan Purnabawa sehingga mencapai kebenaran yang tertinggi, ketenteraman, dan
kebahagiaan yang kekal (Sat Cit Ananda) yang artinya : kebenaran, kesadaran,
kebahagiaan.
CATUR WARNA DHARMA
Dalam
agama Hindu, kita sering mendengar adanya perbedaan sistem sosial yang
didasarkan atas sistem kasta. Empat Catur warna dharma yaitu : Brahmana,
Ksatria, Waisa dan Sudra.
Masing-masing
warna itu memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan sifat dan
fungsinya serta karmanya. Pada mulanya sistem warna bukanlah suatu pembagian
kelompok masyarakat berdasarkan faktor keturunan atau penting tidak pentingnya
masyarakat tersebut namun berdasarkan pembagian kerja dan tugas dalam melakukan
tanggung jawabnya. Dapat dilihat bahwa pembagian warna pada masyarakat Hindu
berasal dari diri Purusa. Hal itu menyebabkan masing-masing orang Hindu tidak
mungkin menghindari warna yang diterimanya.
Ø
Dalam
kitab Bhagavad Gita XVIII : 41-44, dituliskan masing-masing tugas dan
tanggungjawab Catur Warna Dharma, yaitu :
o
Brahmana, merupakan kelompok kasta
yang tenteram dan menguasai bumi, suci lahir/batin, suka melakukan ajaran
agama, menolak pantangan agama, suka mengampuni, lurus hati, bijaksana,
berilmu, yakin kepada ajaran Weda, merupakan karma Brahmana menurut
Bhagavadnya.
o
Ksatria, merupakan kelompok kasta
yang berani, perkasa, teguh hati, cekatan, tidak mundur dalam peperangan,
dermawan, berwibawa dalam memimpin, merupakan karma seorang Ksatria menurut
Bhagavadnya.
o
Waisa, merupakan kelompok kasta yang
hidup secara bertani, beternak dan berekonomi, merupakan karma seorang Waisa
menurut Bhagavadnya.
o
Sudra, merupakan kelompok kasta yang
berkegiatan kerja sebagai pelayan dan buruh, merupakan seorang Sudra menurut
Bhagavadnya.
Ø
Berdasarkan
Kitab Upanisad
Catur
warna dharma diuraikan sebagai berikut :
o
Brahmana adalah golongan karya yang setiap
orangnya memiliki ilmu pengetahuan suci dan tetap memiliki bakat lahir untuk
mensejahterakan masyarakat, negara dan manusia. Golongan ini memimpin upacara
keagamaan.
o
Ksatria adalah golongan karya yang
setiap orangnya memiliki kewibawaan, cinta tanah air, berbakat memimpin dan
mempertahankan kesejahteraan masyarakat dan manusia.
o
Waisa adalah golongan karya yang setiap orangnya
memiliki watak yang tekun, terampil, hemat, cermat, dan memiliki keahlian serta
bakat lahir untuk menyelenggarakan kemakmuran masyarakat, negara dan manusia.
o
Sudra adalah golongan karya yang setiap
orangnya memiliki kekuatan jasmani, ketaatan dan bakat yang dibawa sejak lahir
yang memiliki tugas memakmurkan masyarakat, negara dan manusia.
Sering
dimengerti apabila telah ditetapkan dalam warna (kasta) akan berlaku secara
otomatis kepada keturunannya tanpa dapat dirubah kembali. Begitu banyak bukti
dari kitab suci bahwa pandangan tersebut tidaklah benar. Warna bukanlah
pembagian kelompok atas dasar geneologis (keturunan), akan tetapi berdasarkan
bakat, kwalitas, dan watak seseorang.
Dalam
kitab Manu Smerti disebutkan dengan “Bagaikan gajah terbuat dari kayu, bagaikan
rusa terbuat dari kulit, demikianlah seorang Brahmana yang tidak terpelajar,
ketiga-tiganya hanya membawa nama saja. Seorang Brahmana – Sudra atau seorang
Sudra – Brahmana adalah sama halnya dengan keturunan Ksatria – Waisa”.
Ø
Berdasarkan
Mahabrata
“Pada
siapa jujur, dermawan, suka mengampuni, bersifat baik, sopan, suka melakukan
ajaran agama, menjauhi pantangan dan pemurah, maka dia adalah dipandang sebagai
Brahmana.” Jika sifat ini terdapat pada Sudra bukan pada Brahmana, maka Sudra
itu bukanlah Sudra dan Brahmana itu bukanlah Brahmana
Ø
Berdasarkan
Sarasamusyaca
“Meskipun
keturunan Brahmana yang berusia lanjut, jika perilakunya tidak susila maka dia
tidaklah patut disegani. Walaupun keturunan Sudra, jika perilakunya berpegang
pada dharma dan kesusilaan, maka patutlah ia dihormati dan disegani.”
Demikianlah kata kitab suci.”
Akhirnya
dapat dikatakan bahwa pembagian atas Catur warna dharma merupakan kewajiban
dalam hal berkarya di tengah kehidupan masyarakat sesuai dengan sifat, bakat,
dan watak yang dimiliki.
Comments
Post a Comment