MENGENAL PDT.
PARLINDUNGAN WILFRITZ TOGAR SIMANJUNTAK
DAN PEMIKIRAN
TEOLOGISNYA
1.
Biografi Penulis
Pdt. Parlindungan W.T. Simanjuntak lahir pada tanggal 16 Juli 1935 di
Sidikalang. Ia memperoleh gelar Sarjana Theologia dari Universitas HKBP
Nommensen pada tahun 1961. Tahun 1961-1965, dia menjadi Pendeta diperbantukan
di HKBP Res. Jakarta. Menikah dengan Mutiara Flora Napitupulu pada 16 Juli
1964, dan mereka dikaruniai dua orang anak. Pada tahun 1981-1983, dia pernah
menjadi Missionwerk der Evangelisch–Lutherischen Kirche in Bayern di Jerman
Barat. Dia menyelesaikan studi S3 di Universitas Negara Ruprecht Karls
Heidelberg, Jerman Barat tahun 1990 dan menjadi dosen tetap di STT-HKBP
Pematangsiantar.
Dalam negara, ia menjadi salah satu anggota DPRGR/MPRS RI di Jakarta tahun
1967-1971. Dan tahun 1979-1981 bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) di Jakarta. Pdt. Parlindungan W.T. Simanjuntak tidak banyak
membuat karya tulis. Adapun karya tulisnya adalah “Dia Predigt in der
Batakkirche (Diss)” dan artikel yang berjudul “Sahat Ula Tohonanmi”.[1]
2.
Pemikiran-pemikiran Teologisnya
2.1.
Pelayanan
Firman Tuhan yang menyatakan Aku datang bukan untuk
dilayani tetapi untuk melayani. Maka dalam melaksanakan tugas-tugas kita dan
dalam menjalin komunikasi yang sehat, hendaknya firman Tuhan pegangan dan
pedoman yang menjadi dasar dan pemberi arah. Kata kerja “melayani” membebaskan
kita dari hubungan struktural yang kaku, serta memungkinkan kita bergerak lebih
dinamis, kreatif dan innovatif. “Melayani” membebaskan kita dari relasi-relasi
yang bersifat instruktif sehingga terbina relasi yang spontan, hidup dan
manusiawi.[2]
2.2.
Tohonan/ Tugas Pelayanan
Jika kita menganalisis kata tugas pelayanan/ tohonan maka akan mempunyai berbagai macam
pengertian yang dapat mengakibatkan pergeseran dari makna atau pengertian yang
sebenarnya. Oleh karena itu, Gereja HKBP dituntut untuk menentukan pengertian
bersama akan hakekat dari “tohonan” tersebut berdasarkan firman Tuhan yang
terdapat dalam Alkitab. Surat Paulus yang dikirim kepada Timotius yang berbunyi
“Tunaikanlah tugas pelayananmu (sahat ula tohonanmi)”, amanat tersebut tidak
saja semata-mata ditujukan kepada Timotius atau kepada para pendeta, melainkan
ditujukan juga kepada setiap orang percaya. Namun pada masa penulisan surat
kiriman Paulus ini belum dikenal perbedaan antara “partohonan” yang satu dengan
“partohonan” yang lainnya.[3]
Masalah ini menuntut penanganan yang serius dari kita,
bagaimana kita dapat memberikan peranan akan tugas dan tanggung jawab para
“partohonan” gereja dalam menyongsong masa kini. Demikian juga dengan penantian
kita akan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Perlu juga diketahui bahwa
setiap zaman/era yang ada merupakan klasifikasi yang dibuat oleh manusia, akan
tetapi hendaknya kita harus memahami semuanya itu di dalam pemahaman bersama
akan era Kristus yang telah dan akan datang itu. Oleh karena itu, amanat Paulus
tepat dimengerti di dalam era Kristus tersebut. Dalam pemikiran-pemikiran
teologinya, Parlindungan W.T.Simanjuntak memfokuskan pada tohonan pendeta
seperti yang dinyatakan dalam konfessi, Agenda, Aturan dan Peraturan HKBP.[4]
2.2.1. Pengertian Tohonan
dalam Perspektif Orang Batak[5]
Di bawah ini kita dapat melihat beberapa pengertian
“Tohonan” yang dimengerti oleh orang Batak sebelum masuknya kekristenan, yaitu:


Namun pengertian mengenai “tohonan” ini mengalami pergeseran makna setelah
masuknya kekristenan di Tanah Batak. Pemahaman mereka orang Batak terhadap
beberapa segi “tohonan” itu mulai berkurang dan bahkan tidak diterima sama
sekali, misalnya “tohonan hadatuon” (dukun). Akan tetapi yang tetap ada terus
hingga sekarang ini yaitu “tohonan” yang berkaitan dengan pertalian darah
(kakak-adik) atau tali keturunan untuk menentukan pembagian akan “parjambaran”
(yang menjadi bagiannya), serta menentukan siapa yang dapat menjadi pembicara
dalam upacara Adat atau kumpulan yang bersifat adat. Artinya, bahwa terdapat suatu
keunikan cara berfikir orang Batak dalam memahami istilah “tohonan” itu,
sebelum dan sesudah masuknya Kekristenan. Pengertiannya tidak dapat disamakan
dengan kata “ulaon” ataupun “jabatan”, tetapi masih lebih luas dan lebih dalam
lagi dari itu. Dengan kata lain, ada perbedaan antara “partohonan” (yang
mempunyai tohonan) dengan pekerja-pekerja yang lain.
Pengaruh dari pemahaman orang Batak itulah yang mungkin kemudian nampak di
tengah-tengah orang Batak Kristen, ditambah lagi dengan pengaruh pemahaman yang
lain, sehingga menyebabkan timbulnya pemahaman di gereja Batak yang nyata
membedakan kelompok “partohonan” dengan yang tidak “partohonan”. Demikian juga
halnya di kalangan “partohonan” itu sendiri, yakni Pendeta dan non Pendeta.
2.2.2. Pemahaman Orang
Kristen Batak terhadap “Tohonan Haparhaladoon” Jabatan Pelayanan di Gereja
Dari seluruh jenis “tohonan” yang ada di Gereja HKBP (berdasarkan Aturan
Peraturan, Agenda serta Konfessi), “tohonan sintua” (penatua)lah yang pertama
sekali ada. Itu terjadi pada tahun 1867. Barulah tahun 1873 diambil keputusan
untuk memunculkan tohonan Guru, dan kemudian tahun 1885 dimunculkan tohonan
pendeta, maka selanjutnya ada tohonan-tohonan yang lain. Jadi hanya sekitar 6
tahun setelah baptisan yang pertama di Tanah Batak, I.L Nommensen telah
memikirkan untuk mengangkat orang Batak itu sendiri sebagai temannya melayani
di jemaat. Itu artinya bila kita masing-masing mengingat hari kelahiran HKBP
(Hari Ulang Tahun HKBP), pada dasarnya kita juga harus mengingat kembali hari
kelahiran “tohonan” itu di gereja kita, karena keduanya hanya mempunyai selisih
enam tahun. Barangkali merupakan suatu kesepakatan yang sangat berarti apabila
kita menentukan suatu hari yang menjadi hari peringatan kelahiran “tohonan” itu
bagi gerakan kita, yang telah
terbukti menjadi berkat yang sangat besar bagi perkembangan Gereja Batak.
Inilah salah satu kekhususan yang membuat Gereja Batak itu menjadi berbeda
dengan Gereja-gereja “muda” lainnya, dimana jabatan pelayanan (tohonan
parhaladoon) itu tidak segera diberikan kepada orang pribumi.
Apabila kita melihat kepada sejarah pekabaran Injil di Tanah Batak, maka
kita akan mengetahui bahwa di sana pekabaran Injil berjalan dengan sangat pesat
sekali, semakin banyak orang Batak yang memberikan dirinya untuk dibaptis ke
dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Oleh karena itu sangat diperlukan
tenaga yang dapat membantu para missioner untuk melaksanakan tugas pekabaran
Injil tersebut. Dengan melihat kepada sejarah, maka orang Batak itu sendiri
yang menjadi penolong dalam melaksanakan tugas tersebut, dan selanjutnya orang
Batak sendirilah yang melanjutkan tugas pekabaran Injil itu. Orang-orang Batak
yang telah ditahbiskan untuk membantu para missioner dalam menyebarkan Injil
tersebut biasanya dianggap dan diperlakukan sebagai “pangurupi” (pembantu)
terhadap “Tuan Pandita” istilah yang sangat populer pada masa itu sebelum
Gereja Batak mandiri, untuk membedakan antara Pendeta Pribumi dengan Pendeta
yang berasal dari Eropa, sebagai orang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya.
Karena itu, tohonan orang-orang Kristen Batak itu hanya dianggap sebagai “tohonan pangurupi”. Setelah Gereja Batak
mandiri, maka fungsi dari “Tuan Pandita” itu bergeser kepada “Pendeta Batak”. Artinya
bahwa “hatuanon” (kedudukan
sebagai tuan) dari “Pendeta Batak” kelihatan semakin jelas dibandingkan dengan
tohonan lainnya. Namun sebelumnya telah ada beberapa orang dari “Pendeta Batak”
itu yang memperlakukan diri sebagai tuan terhadap “partohonan” yang lain
(seperti Sintua, Guru-guru, dsb) bahkan mereka meniru-niru “suara dari seorang
tuan”. Dari itu adanya tingkatan-tingkatan tohonan sudah nampak sejak awalnya
dan selanjutnya semakin jelas nampak dalam tata Gereja Batak sejak adanya tata
Gereja itu sampai sekarang ini. Tetapi walaupun adanya berbagai jenis tohonan
tersebut, namun tujuannya tidak lain dari memberitakan Injil itu, mengajarkan,
bersaksi, menggembalakan serta memimpin. Salah satu tugas yang membedakannya
nampak dalam pelayanan Sakramen dan “Semi Sakramen” (perkawinan). Karena dia
dalam prakteknya nampaknya ada “dua setengah” yang dinamakan Sakramen, walaupun
secara teoritis hanya ada dua yang diakui. Demikian juga dengan hal meletakkan
tangan dan pada saat mengucapkan berkat terhadap warga jemaat.
Sehubungan dengan rencana Gereja HKBP untuk memberi tugas pelayanan yang
lebih besar dan lebih luas kepada awam, sesuai dengan Konsep Tata Gereja yang
baru, maka perlu terlebih dahulu dibicarakan dengan jelas, susunan dan
pembagian kerja dari “partohonan” itu sendiri. Supaya nanti tidak ada
anggapan-anggapan adanya “partohonan” kelas 1, 2, 3 dan seterusnya. Ataupun
dengan apa yang dinamakan “tohonan pangurupi” (pembantu) dan “tohonan tuan”.
Maksudnya, janganlah kita membawa Gereja kita kembali kepada masa sebelum
Reformasi. Barangkali ini menjadi satu tantangan yang baru dilenyapkan bagi
Gereja Evangelis pada saat itu. Sebab Hierarchi Gereja di Gereja Evangelis
sepertinya kembali lagi ke abad-abad sebelum Reformasi, dan bahkan meniru-niru
susunan organisasi non-Gereja, yang lebih banyak menampakkan kekuasaan yang
berbeda-beda tinggi dan besarnya secara organisator daripada berdasarkan
Kristus yang empunya Gereja itu sendiri.
E Sifatnya[8]
Secara moral, orang Kristen Batak sangat menghargai, menjunjung dan
memuliakan “partohonan” di Gereja. Oleh karena itulah, maka setiap pembicaraan,
cara tertawa, cara berpakaian, model pangkas rambut, cara berjalan, sikap dan
kebiasaan hidup “partohonan”, terlebih-lebih para Pendeta senantiasa
diperhatikan dan dapat menjadi contoh bagi jemaat dan masyarakat luas. Dahulu
pernah ada ungkapan “pangkas Pendeta” dan “cara jalan Pendeta” (yang tidak
boleh lari meskipun turun hujan). Tidak hanya warga jemaat gereja saja yang
menilai namun ikut juga masyarakat luas yang menilai seorang Pendeta itu, dan
lebih dari itu, ia dianggap sebagai pemimpin informal di tengah-tengah
masyarakat. Demikianlah tingginya kedudukan Pendeta dianggap orang, sehingga
jemaat memahami “tohonan” yang lain lebih rendah dari “tohonan Pendeta”. Bahkan
ada muncul anggapan yang berlebihan mengenai Pendeta. Pendeta dianggap sebagai
“superman” atau “Malaikat” yang tidak memiliki “perut” , tidak perlu
“berkeluarga” dan “bersanak-saudara” dan “tidak perlu beristirahat”, ataupun
juga “berlibur”. Masih banyak warga yang beranggapan bahwa Pendeta harus
bekerja 24 jam sehari sepanjang tahun. Di negara maju, para Pendeta memiliki
jam kerja, akan tetapi meskipun demikian para jemaat berharap agar para Pendeta
bekerja lebih dari jam kerjanya. Misalnya, menurut Undang-Undang yang ada, jam
kerja setiap pekerja cukuplah 36 jam per minggu, tetapi Pendeta masih dituntut
bekerja 40 jam seminggu.
Warga jemaat mengharapkan dari partohonan perbuatan dan perangai yang
melebihi norma-norma yang berlaku bagi warga jemaat dan masyarakat umum. Hal
ini nampak dari pembicaraan seorang warga jemaat mengenai harapannya terhadap
Pendetanya. Pada sebuah artikel, seorang ibu mengemukakan pendapatnya mengenai
tohonan Pendeta: tidak kurang dari 40 macam tuntutan yang dikemukakan yang
harus diperbuat oleh Pendeta. Jumlah sedemikian masih menurut pendapat ibu
tersebut, itu berarti apabila kita mengadakan satu angket mengenai tohonan
Pendeta, maka kemungkinan besar kita menemukan lebih banyak lagi tuntutan
terhadap Pendeta dari warga jemaat. Padahal untuk melakukan satu tuntutan saja
seorang Pendeta sudah kewalahan. Perlu kita ketahui bahwa tuntutan-tuntutan
yang diberikan warga Gereja tidak hanya harus dilakukan oleh Pendeta saja, tapi
ikut juga keluaganya: istrinya, anak-anaknya, setiap orang yang tinggal di
rumahnya.
Sehubungan dengan berbagai macam tuntutan dari warga jemaat maka seorang
ahli theologia bidang praktika pernah mengatakan bahwa tohonan kependetaan itu
adalah merupakan suatu “sekolah” yang harus memperlajari ketabahan/kesabaran
(eine schule des Geduldigwerdens). Barangkali tuntutan-tuntutan yang diajukan
oleh warga Gereja kepada para Pendeta berangkat dari kondisi dan situasi warga
Gereja itu sendiri. Misalnya yang ada kaitannya dengan struktur sosialnya,
kemerosotan ekonomi, gejolak politik, dan sebagainya. Demikian juga bila kita
membaca dari buku-buku bagaimana keadaan para Pendeta sekitar 100-200 tahun
yang lampau di Jerman, sangat mirip dengan apa yang dialami oleh para Pendeta
kita sekarang ini. Dengan kata lain, walaupun warga jemaat mengharapkan pendidikan,
pengetahuan, keterampilan serta kemampuan yang sangat berbobot sekali dari
setiap Pendeta, namun mereka juga mengharapkan lebih banyak lagi akan tingkah
laku yang lebih baik dari Pendeta sehingga menjadi teladan bagi setiap warga
jemaat dan masyarakat luas.
Warga jemaat menganggap bahwa Pendeta itu seperti imam Allah, harus tahan
menderita, bersikap baik dalam berbicara dan cara berpakaian harus rapi, bersih
dan cukup berwibawa. Karena kekudusan tohonan kependetaan di hati warga Gereja.
2.2.3. Pengertian Gereja
HKBP Mengenai Tohonan Parhaladoon berdasarkan Konfessi dan Tata-Gereja
Berdasarkan Firman Allah yang tertulis di dalam I Kor
12:28. Efesus 4:11 dan Kis 6, HKBP mengakui betapa pentingnya “tohonan
parhalado” (jabatan pelayanan) untuk mensukseskan segala tugas pelayanan di
Gereja. Yang termasuk dalam jabatan pelayanan itu adalah para Pendeta, Guru
Jemaat, Penatua, Evangelis, Pengkhotbah Wanita dan Diakones.[9]
Ada dua tahap yang harus ditempuh seseorang sebelum
menerima tohonan/jabatan dalam Gereja, yaitu setelah melalui pendidikan
theologia seperti Penatua. Walaupun sebenarnya dalam Agenda HKBP para Penatua
tidak disebut sebagai partohonan, hanya Pendeta dan Guru Huria saja. Dan Agenda
HKBP yang lama juga tidak mencantumkan acara penahbisan bagi pelayan-pelayan
lainnya. Ada dua macam “tohonan haparhaladoon” berdasarkan Tata Gereja, yaitu:
Ø Kelompok yang bertugas menekuni dan melayani khotbah,
sakramen dan seluruh pelayanan di Gereja (para Pendeta).
Ø Kelompok yang bertugas hanya menekuni dan melayani khotbah dan seluruh pelayanan di
Gereja tanpa ikut melayani sakramen dan “semi sakramen” (Guru Huria, Evangelis,
Pengkhotbah wanita, serta Diakones) kecuali dalam keadaan darurat.[10]
Di dalam Konfessi HKBP tidak ditemukan adanya pengertian yang memungkinkan
adanya pengelompokan antara pelayan yang bisa dan yang tidak bisa melayani
sakramen. Demikian juga hal yang memungkinkan adanya pelayan yang
bertingkat-tingkat. Di sana hanya dikatakan “tohonan parhaladoon” (jabatan
pelayanan), yang terdiri dari lima point (Konfessi HKBP, fasal 9). Di situ
tidak ada terbuka kemungkinan yang memberi pemahaman dualisme dalam pelayanan
itu. Padahal di dalam prakteknya sesuai dengan Tata Gereja dan buku Agenda
HKBP, penggolongan itu menjadi ada. Yang paling menyolok dan sungguh janggal kelihatannya
adalah pada waktu Perjamuan Kudus. Di situ para pelayan yang non Pendeta hanya
melayani di pinggir atau di belakang altar untuk mempersiapkan roti ke dalam
piring, mengisi cawan dengan anggur serta membersihkannya. Demikian juga
pelayanan yang lainnya, yang hanya dilakukan oleh Pendeta. Barangkali sudah
waktunya mendiskusikan keadaan itu secara teologis. Apalagi bila nantinya
diberlakukan adanya unsur pelayan yang ditahbiskan (parhalado na martohonan)
dan yang tidak ditahbiskan (na so martohonan). Bagaimana hal itu nantinya?[11]
Menurut pemahaman HKBP, “Parhalado na martohonan” ialah pelayan gereja yang
telah menerima pekerjaan (tohonan parhaladoon) itu dari Allah melalui gereja,
yang disampaikan oleh pimpinan gereja setelah melalui proses pemanggilan kepada
pelayan yang bersangkutan. Pemberhentiannya dari “tohonan parhaladoon” itu pun
juga melalui gereja setelah mengikuti proses pemberhentian itu. Dengan kata
lain “partohonan” akan bisa kembali lagi sebagai warga jemaat yang biasa
apabila dia telah diberhentikan atau telah meminta berhenti. Maksudnya disini
adalah bahwa “tohonan parhaladoon” adalah sesuatu yang bisa dicabut
(Tata-Gereja HKBP). Tetapi mungkin suatu hal yang masih perlu diperjelas adalah
cara mencabut “tohonan” yang diberikan oleh gereja itu dan cara
mengembalikannya kemudian setelah seseorang ingin kembali lagi kepada
“tohonannya” itu. Karena “tohonan” itu disampaikan dalam satu kebaktian, maka
sebaiknya pencabutannya juga kiranya dilakukan dalam kebaktian, demikian juga
dengan pengembaliannya. Sehubungan dengan proses pencabutan itu perlu diatur
dengan baik, supaya keputusan janganlah diperbuat dengan cara “voting”, tetapi
sebaiknya didasarkan atas kasih Kristus yang memanggil hambaNya menjadi pelayan
di Gereja-Nya itu. Demikian sebelum menjatuhkan vonis perlu memperhatikan azas
peradilan. Supaya di dalamnya jangan
bertindak sebagai Hakim sekaligus sebagai Penuntut dan Pembela. Karena
bagaimanapun juga, apabila dikatakan mempertimbangkan
di dalamnya sudah terjadi proses peradilan, walaupun sesungguhnya hal itu tidak
bisa disamakan dengan proses peradilan yang biasa di pemerintahan.
Menurut kitab suci, tidak disebutkan bahwa seseorang yang telah terpanggil
sebagai Pelayan gereja, tidak bisa lagi kembali sebagai anggota biasa kalau dia
sudah berhenti atau diberhentikan dari fungsi itu. Berdasarkan pemahaman itulah
maka reformator Marthin Luther dan Calvin dengan tegas mengkritik dan melawan
“character indelebilis” yang dianut oleh gereja Roma Katolik yang mengatakan:
“penahbisan yang diberikan pimpinan dengan cara menumpangkan tangan kepada
pelayan gereja pada waktu menerima tohonan
itu, otomatis menjadi milik dari yang bersangkutan selama hidupnya, yang tidak
bisa dicabut kembali”. Umumnya semua gereja reformasi menolak paham yang
menganut karakter Indelebilis itu. Termasuk juga HKBP, sehingga di dalam
sejarahnya, seseorang pelayan gereja bisa diberhentikan dari “tohonannya”.
Barangkali yang belum pernah terjadi ialah berhenti dari “tohonan”nya karena
permintaan atau keinginannya sendiri. Tetapi walaupun HKBP tidak mengakui karakter
Indelebilis itu, di dalam buku Liturgi (Agenda) nya jelas nampak bahwa Tuhan
Yesuslah yang memberikan “tohonan” kependetaan itu. Tentu ini bukan hanya
berlaku bagi jabatan pendeta saja, namun juga berlaku bagi jabatan Sintua, Guru
Jemaat, dan lainnya. Walaupun tidak dituliskan demikian.[12]
Untuk yang akan merevisi buku
Liturgi tersebut, baiklah ia memperhatikannya supaya jangan ada kesan bahwa
hanya jabatan kependetaan sajalah yang ditetapkan oleh Kristus. Demikian juga,
janganlah kiranya seolah-olah ada pertentangan dari apa yang disebutkan
Liturgi, Tata Gereja dan Konfessi mengenai “tohonan haparhaladoon” di HKBP,
sampai kepada tugas masing-masing.
2.2.4. Pengertian “tohonan
haparhaladoon” menurut surat Rasul Paulus kepada Timotius[13]
Pengertian “tohonan” yang diberikan kepada Timotius ialah
melayani. Jadi apapun istilah yang dipergunakan dalam berbagai terjemahan,
pengertiannya adalah sama yakni pelayanan. Mulai pasal pertama hingga pasal
terakhir dari surat Timotius tersebut, intinya adalah pelayanan. Itulah yang
dinasihatkan Paulus kepada Timotius sebagai anaknya yang kekasih, yakni supaya
dia meneruskan tugas pelayanan itu, sesuai dengan apa yang diajarkan kepadanya.
Paulus berkata: “tugas ini kuberikan kepadamu, Timotius anakku, sesuai dengan
apa yang dinubuatkan tentang dirimu...(I Timotius 1:18)”. Timotius sendiri menyebut dirinya sebagai
pelayan atau hamba Kristus (Fil1:1) dan Paulus juga demikian (Roma 1:1). Bahkan
di semua kitab Perjanjian Baru, maksud dan tujuan dari “tohonan parhaladoon”
adalah pelayanan, jabatan manapun, yang didasarkan atas pekerjaan Kristus yang
datang ke dunia ini bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani (Mark 10:45).
Karena itu “tohonan haparhaladoon” di gereja sungguh berbeda dari segala “tohonan”
pekerjaan, jabatan, dan kepemimpinan yang dikenal orang di dunia ini, yang
menggambarkan adanya kesan yang bersifat magis, dan yang menonjolkan kemampuan,
hak, kuasa dan kesewenang-wenangan saja. Karena dasarnya hanya anugerah Kristus
saja: “karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang
ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” (II Tim 1:6). Sumber kekuatan
kemampuan dan kelayakan untuk menjadi pelayan hanyalah kasih karunia Kristus
saja (II Tim 2:1). Karena itu apapun tidak bisa yang dapat diandalkan. Dan yang
ditakutkan pun tidak ada karena Kristuslah yang memampukan (II Tim 1:6 –
2:6-18) orang-orang percaya dan yang akan melayani, sebagaimana nampak dalam
kehidupan Paulus sendiri yang bisa menjadi teladan yang baik.
Dalam suratnya yang kedua kepada Timotius, pasal 4,
Paulus mengulang kembali tugas-tugas pelayanan itu, yakni: memberitakan firman
pada setiap waktu, menegor, menasihati, dan mengajar dengan segala kesabaran
(II Tim 4:1-5), seperti yang disebutkan pada awalnya. Dengan kata lain “tohonan
parhaladoon” menurut surat Paulus kepada Timotius berarti pelayanan di dalam
jemaat dan sekitarnya yang berdasarkan pelayanan yang telah dikerjakan Yesus
yang mengutus Paulus, Timotius dan semua orang yang bersedia untuk diutus,
bukanlah jabatan “tuan” atau “pemerintahan” seperti yang dikenal oleh dunia
ini.
Dasarnya adalah karunia Kristus yang memberi kemampuan
itu, bukan kemampuan pelayan itu sendiri. Dan yang dikerjakan ialah pesan dari
Kristus yang mengutus itu, yakni: berkhotbah, menasihati, mengajar, dan menegor
dengan kesabaran, bukanlah pesan manusia atau pikiran dari pelayan itu yang
disampaikan. Berdasarkan surat Timotius ini bahkan berdasarkan semua kitab
perjanjian baru, kata pelayan sebenarnya jauh lebih tepat dikenakan kepada
semua “partohonan” karena inti dari semua “tohonan parhaladoon” itu adalah
melayani. Kalaupun sebutan-sebutan yang biasa itu masih dipergunakan, tujuan
dan pengertian dari semuanya itu adalah melayani.
2.2.5. Cara Memahami Thema
Rapat Pendeta pada Zaman Sekarang dan Masa Mendatang[14]
Ada beberapa cara memahami thema rapat Pendeta pada zaman sekarang dan masa
mendatang, yaitu:
1)
Mengakui bahwa
“tohonan” kita itu kita terima dari Allah, baik itu melalui vocatio immediata
ataupun vocatio mediata seperti yang disebutkan oleh Marthin Luther. Di dalam
liturgi “penahbisan Pendeta” itupun jelas disebutkan bahwa “tohonan” itu adalah
kita terima dari Tuhan Yesus. Karena itu janganlah dilupakan, bahwa “tohonan”
itu bukan datang dari manusia, walaupun penyampaiannya melalui manusia. Artinya
bahwa pertanggungjawaban terakhir adalah kepada yang memberikannya. Jadi di
sinilah letaknya perbedaan dari “tohonan” kita itu dari “tohonan” atau jabatan
yang lain, karena kita menerimanya dari Allah. Inilah mungkin yang dilihat oleh jemaat atau orang banyak,
maka penilaian, sikap dan harapannya kepada “partohonan” khususnya pada Pendeta
lain sekali.
2)
Kita jangan melecehkan
atau memandang rendah terhadap kekhususan dari “tohonan” kita itu. Walaupun
kita tidak perlu lagi mempunyai “pangkas”, cara berpakaian, cara berjalan dan
lainnya, yang khas sebagaimana dulu dituntut oleh warga jemaat dulu dari
seorang Pendeta, namun perangai yang baik (hidup teratur, disiplin,
sopan-santun di dalam pergaulan, kerajinan, kejujuran, ketabahan dan
kelemah-lembutan) benar-benar dituntut
dari seorang Pendeta, dan bahkan dia harus senantiasa menjadi pola anutan.
Demikian juga dalam hal menghayati lebih dulu apa yang dikhotbahkannya dan yang
diucapkan, supaya ucapan jangan berbeda dari perbuatan terutama yang
berhubungan dengan iman dan kasih. Hal itu bukan hanya menyangkut diri pelayan
itu sendiri, tetapi juga menyangkut keluarga.
3)
Jangan melecehkan
atau memandang rendah terhadap “tohonan” yang kita terima dari Allah. Karena
“tohonan ” itu harus kita tunaikan, bukan saja di dalam gereja, tetapi juga di
tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun dan yang sedang menyongsong era
baru.
4)
Perlu adanya
diskusi secara terbuka dan di dalam kasih persaudaraan sebagai orang-orang yang
satu pelayanan dalam usaha untuk mempersiapkan masa depan gereja kita yang
lebih baik, yakni diskusi mengenai “pejabat-pejabat gereja” yang sangat
menentukan. Dan ini tentunya dengan bimbingan dan pimpinan Roh Kudus. Hasil
diskusi itu kiranya akan muncul dalam Rapat Pendeta, untuk diikuti setiap
Pendeta sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan tohonan kependetaan. Paling
sedikit hal tersebut diharapkan akan dapat mengurangi ketegangan-ketegangan
antar sesama pendeta. Perkataan yang sering terdengar dari anggota jemaat yang
menyatakan “kamu para pendetalah yang terlebih dahulu memperbaiki diri, saling
merendahkan hati dan berdamai, janganlah damai itu hanya ucapan saja kepada
kami warga jemaat ini, kamu sendirilah dulu yang berdamai, karena kamulah yang
saling bertikai”. Ini perlu kita koreksi terhadap diri kita sambil berusaha
supaya citra kependetaan itu jangan semakin merosot pada waktu yang akan
datang. Mungkin apa yang mereka katakan itu tidak semuanya benar berdasarkan
fakta. Namun sehubungan dengan itu, di gereja kita sudah saatnya diperlukan
semacam “aturan permainan” mengenai cara-cara kampanye dan pemilihan apabila
seseorang mencalonkan diri atau jika ada orang lain yang dicalonkan. Jika
pedoman seperti itu ada, diharapkan akan dapat mengurangi sikap yang saling
menjatuhkan, saling mencurigai dan lainnya. Tentu juga tidak terjadi sikap yang
saling menuduh telah melakukan “rapat-rapat gelap” dan sikap yang “saling
memburuk-burukkan”. Di dalam cara-cara pemilihan yang bersifat sekuler saja
misalnya, tidak dijumpai lagi adanya sikap yang saling memburuk-burukkan itu, sikap seperti itu benar-benar
dilarang adanya bila terjadi masa kampanye. Yang dikemukakan ialah programnya,
bukan rivalnya itu yang diburuk-burukkan. Jika pedoman seperti itu ada sebagai
hasil pembicaraan secara terbuka, kemungkinan kekurangan-kekurangan yang
terjadi selama ini akan berkurang. Ternyata sikap yang saling memburukkan itu
telah banyak merusak hubungan dan kesatuan para pendeta. Barangkali masalah
seperti ini harus juga kita pahami sebagai bagian dari pelayanan kita.
3.
Tanggapan Teologis
Makna Tohonan yang dipaparkan oleh Pdt. P.W.T.Simanjuntak sudah cukup luas
dan jelas. Ia memaparkan bahwa tidak
hanya pendeta itu sendiri, tetapi juga istri dan anak-anaknya turut dalam
memenuhi tuntutan-tuntutan jemaat. Akan
tetapi beliau hanya terfokus pada tohonan para pendeta. Jika dibandingkan
dengan pendapat dari Pdt. Andar Lumbantobing yang membahas makna jabatan dalam
gereja. Dan adanya masih banyak tohonan lainnya yang ada dalam pelayanan gereja
yang tidak dibahas oleh Pdt. P.W.T.Simanjuntak, seperti Penatua (sintua),
penginjil (Evangelis), Bibelvrouw (penginjil wanita), Diaken (syamas) dan
porhanger (Voorganger) yang disebut dengan guru huria sekarang. Yang mempunyai
tugas masing-masing untuk mencapai pelayanan yang sesuai dengan kehendak
Kristus dan memperhatikan pertumbuhan dari jemaat tersebut.[15]
Sedangkan Pdt. B.M. Siagian, S.Th. memberikan pendapat yang lebih jelas
mengenai sumber atau pemberi “tohonan” kepada seorang partohonan itu yang
kurang jelas dipaparkan oleh P.W.T. Simanjuntak dalam tulisannya. Berikut menurut
Siagian,[16] Allah
memanggil dan menetapkan manusia menerima mandat Ilahi dalam menguasai dan
memelihara bumi dan Alkitab diakhiri dengan pandangan eskhatologi kitab Wahyu
tentang kehidupan kekal orang percaya panggilan dan pemilihan Allah dari
genesis ke eskhatologi. Pemanggilan dan pemilihan telah dimulai dari kisah
penciptaan dan akan terus berlangsung hingga penentuan akhir (parusia) dimana
Allah memilih dan menetapkan umat tebusanNya masuk dalam kehidupan yang kekal.
Allah telah memanggil dan menetapkan manusia menjadi wakil (duta) di dunia ini
untuk menunaikan Missio Dei. Dalam hal ini, dasar pemikiran teologis tentang
pemilihan Allah bahwa pemilihan pelayan yang mengemban missi Allah merupakan
hak absolut Allah. Memang, Allah memakai kita masing-masing untuk melakukan
pekerjaanNya. Hal inilah yang disebutkan Dietrich Bonhoeffer sebagai mandat
(Mandate Divine, Dietrich Bonhoeffer, Ethics, 1956/286-287). Dengan demikian
masing-masing pelayan harus menyadari sepenuhnya bahwa:
1.
Pelayan harus
menyadari bahwa menjadi pelayan berarti menunaikan mandat Ilahi.
2.
Mandat Ilahi
yang ada pada diri kita masing-masing adalah sebagai anugerah Allah.
3.
Mandat Ilahi
harus benar-benar dijalakan sesuai dengan kehendak Allah.
P.W.T. Simanjuntak memang telah menyinggung banyak mengenai integritas
pelayanan seorang “partohonan” dalam kehidupan kesehariannya yang selalu
menjadi sorotan masyarakat atau jemaat. Namun, penulis kurang membahas tentang
bagaimana seharusnya sikap yang harus ada dan muncul dalam diri “partohonan”
tersebut dalam menghadapi tuntutan jemaat (namun bukan berarti untuk pembelaan
diri bagi “partohonan”) seperti yang akan dipaparkan oleh Warren W. Wiersbe,
yang melihat bahwa pelayanan seorang
hamba Tuhan yang melayani sepenuh waktu itu sangat sulit dan banyak
tuntutannya. Mustahil seseorang mengerjakan pelayanan itu tanpa kepastian
tentang panggilan Ilahi. Orang yang menjadi pendeta, lalu keluar lagi dari
pelayanan itu, biasanya kurang merasakan adanya beban yang diberikan oleh
Tuhan. Hanya seseorang yang mantap tentang panggilan Tuhan itulah yang boleh
mengharapkan pelayanan yang berhasil baik. Seharusnya ada suatu pertimbangan
tentang sifat-sifat yang diharapkan dan syarat-syarat yang dituntut Tuhan dari
hamba-Nya. Hendaknya calon pendeta mencamkan dalam suasana doa penjelasan Rasul
Paulus pada 1 Timoteus 3:1-7 dan Titus 1:5-9. Tentu saja belum pernah ada
seorang pendeta yang merasa bahwa ia sudah menemukan semua persyaratan. Bahkan
rasul Paulus sendiri berseru, “siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian?”
(2 Korintus 2:16). Namun orang yang dipanggil Tuhan itu akan merasa bahwa Tuhan
telah memberikan karunia rohaniah dan bakat alamiah, yang kesemuanya harus
diserahkan kepada Tuhan serta diperkembangkan dan digunakan demi kemuliaan-Nya.[17]
4.
Kesimpulan dan
Saran
a.
Kesimpulan
Sebagai
kesimpulan yang dapat diambil oleh kelompok adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian bersama (antara pemahaman adat Batak dengan pemahaman Gereja) akan hakekat dari “tohonan” tersebut berdasarkan firman
Tuhan yang terdapat dalam Alkitab.
2.
Peranan akan tugas
dan tanggung jawab para “partohonan” gereja dalam menghadapi masa sekarang dan menyongsong masa yang akan datang.
3.
Pemahaman HKBP mengenai “Parhalado na
martohonan” ialah pelayan gereja yang telah menerima pekerjaan (tohonan
parhaladoon) itu dari Allah melalui gereja, yang disampaikan oleh pimpinan
gereja setelah melalui proses pemanggilan kepada pelayan yang bersangkutan, yang bisa diberhentikan atau dicabut.
4.
Di semua kitab Perjanjian
Baru, menurut Rasul
Paulus maksud dan tujuan dari “tohonan haparhaladoon” adalah pelayanan, jabatan manapun, yang
didasarkan atas pekerjaan Kristus yang datang ke dunia ini bukan untuk dilayani
tetapi untuk melayani (Mark 10:45). Karena itu “tohonan haparhaladoon” di
gereja sungguh berbeda dari segala “tohonan” pekerjaan, jabatan, dan
kepemimpinan yang dikenal orang di dunia ini, yang menggambarkan adanya kesan
yang bersifat magis, dan yang menonjolkan kemampuan, hak, kuasa dan
kesewenang-wenangan saja. Tetapi dasarnya hanya pada anugerah Kristus saja.
b.
Saran
Kelompok dapat memahami apa yang disampaikan oleh P.W.T. Simanjuntak
bahwa ia ingin menghimbau setiap partohonan agar memahami “tohonan” yang
diembankan kepadanya untuk dipertanggungjawabkan sesuai dengan dasar yang
sesungguhnya yaitu pelayanan yang berdasar pada kasih karunia Tuhan, bukan
pelayanan karena pribadinya sendiri atau kesanggupannya sendiri. Apa yang
dipaparkan dalam penulisan ini sangat bagus dibaca, baik jemaat dan pelayan “partohonan”,
apalagi pada masa sekarang ini, kita melihat banyaknya pelayan “partohonan”
secara khusus HKBP, yang tampaknya kurang menyadari (atau barangkali tidak mengetahui
lagi) apa arti sesungguhnya “tohonan” yang diembankan kepadanya itu.
[1]
Tim Penyusun, Buku Panduan STT-HKBP, STT-HKBP, Pematangsiantar, 1991, hlm 87
[2] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, “Sahat Ula Tohonanmi” dalam Vocatio Dei Edisi XXXIX, STT-HKBP, Pematangsiantar,1995, hlm
117-118
[3] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, “Tohonan” dalam Vocatio Dei Edisi
XXXIII-XXXIV, STT-HKBP,
Pematangsiantar,1995, hlm 7
[4] Ibid, hlm 8
[5] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 8-9
[6] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 9
[7] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 10
[8] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 10-11
[9] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 12
[10] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 13
[11] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 12
[12] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 13
[13] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 17-18
[14] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 19-20
[15] Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak,
BPK-GM,1996, Jakarta: hlm 114-130
[16]
Pahala J.Simanjuntak, dkk
(Edit.), Integritas Seorang Hamba,
Kantor Pusat HKBP, 2008, Tarutung: hlm 28-31
[17]
Warren W. Wiersbe, Memimpin Gereja Secara Mantap, Lembaga
Literatur Baptis, 2003, Bandung: hlm13-14
Comments
Post a Comment