Skip to main content

(LXXVIII. MENGENAL PDT. PARLINDUNGAN WILFRITZ TOGAR SIMANJUNTAK DAN PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)


MENGENAL PDT. PARLINDUNGAN WILFRITZ TOGAR SIMANJUNTAK
DAN PEMIKIRAN TEOLOGISNYA

1.      Biografi Penulis

Pdt. Parlindungan W.T. Simanjuntak lahir pada tanggal 16 Juli 1935 di Sidikalang. Ia memperoleh gelar Sarjana Theologia dari Universitas HKBP Nommensen pada tahun 1961. Tahun 1961-1965, dia menjadi Pendeta diperbantukan di HKBP Res. Jakarta. Menikah dengan Mutiara Flora Napitupulu pada 16 Juli 1964, dan mereka dikaruniai dua orang anak. Pada tahun 1981-1983, dia pernah menjadi Missionwerk der Evangelisch–Lutherischen Kirche in Bayern di Jerman Barat. Dia menyelesaikan studi S3 di Universitas Negara Ruprecht Karls Heidelberg, Jerman Barat tahun 1990 dan menjadi dosen tetap di STT-HKBP Pematangsiantar.
Dalam negara, ia menjadi salah satu anggota DPRGR/MPRS RI di Jakarta tahun 1967-1971. Dan tahun 1979-1981 bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta. Pdt. Parlindungan W.T. Simanjuntak tidak banyak membuat karya tulis. Adapun karya tulisnya adalah “Dia Predigt in der Batakkirche (Diss)” dan artikel yang berjudul “Sahat Ula Tohonanmi”.[1]

2.      Pemikiran-pemikiran Teologisnya

2.1.   Pelayanan

Firman Tuhan yang menyatakan Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani. Maka dalam melaksanakan tugas-tugas kita dan dalam menjalin komunikasi yang sehat, hendaknya firman Tuhan pegangan dan pedoman yang menjadi dasar dan pemberi arah. Kata kerja “melayani” membebaskan kita dari hubungan struktural yang kaku, serta memungkinkan kita bergerak lebih dinamis, kreatif dan innovatif. “Melayani” membebaskan kita dari relasi-relasi yang bersifat instruktif sehingga terbina relasi yang spontan, hidup dan manusiawi.[2]

2.2.   Tohonan/ Tugas Pelayanan

Jika kita menganalisis kata tugas pelayanan/ tohonan maka akan mempunyai berbagai macam pengertian yang dapat mengakibatkan pergeseran dari makna atau pengertian yang sebenarnya. Oleh karena itu, Gereja HKBP dituntut untuk menentukan pengertian bersama akan hakekat dari “tohonan” tersebut berdasarkan firman Tuhan yang terdapat dalam Alkitab. Surat Paulus yang dikirim kepada Timotius yang berbunyi “Tunaikanlah tugas pelayananmu (sahat ula tohonanmi)”, amanat tersebut tidak saja semata-mata ditujukan kepada Timotius atau kepada para pendeta, melainkan ditujukan juga kepada setiap orang percaya. Namun pada masa penulisan surat kiriman Paulus ini belum dikenal perbedaan antara “partohonan” yang satu dengan “partohonan” yang lainnya.[3]

Masalah ini menuntut penanganan yang serius dari kita, bagaimana kita dapat memberikan peranan akan tugas dan tanggung jawab para “partohonan” gereja dalam menyongsong masa kini. Demikian juga dengan penantian kita akan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Perlu juga diketahui bahwa setiap zaman/era yang ada merupakan klasifikasi yang dibuat oleh manusia, akan tetapi hendaknya kita harus memahami semuanya itu di dalam pemahaman bersama akan era Kristus yang telah dan akan datang itu. Oleh karena itu, amanat Paulus tepat dimengerti di dalam era Kristus tersebut. Dalam pemikiran-pemikiran teologinya, Parlindungan W.T.Simanjuntak memfokuskan pada tohonan pendeta seperti yang dinyatakan dalam konfessi, Agenda, Aturan dan Peraturan HKBP.[4]

2.2.1.      Pengertian Tohonan dalam Perspektif Orang Batak[5]
Di bawah ini kita dapat melihat beberapa pengertian “Tohonan” yang dimengerti oleh orang Batak sebelum masuknya kekristenan, yaitu:
*   Istilah tohonan berasal dari dua kata yaitu toho (tepat) dan an(itu), maksudnya adalah lebih tepat si Anu itu melakukannya ataupun membicarakannya dari pada si Anu ini. Tohonan/ondolan maksudnya adalah suatu pekerjaan khusus yang sangat penting yang tidak dapat dilaksanakan/dilakukan oleh orang lain. Biasanya gelar tohonan disandang oleh seseorang dikarenakan oleh pekerjaannya, contohnya seperti Raja, Datu, Anak sulung dalam keluarga. Dengan kata lain dikatakan bahwa seseorang yang menyandang gelar tohonan adalah dia yang mempunyai status pekerjaan yang jelas dan yang memberikan penjelasan terhadap posisi/ kedudukan seseorang. Misalnya tohonan sebagai anak sulung.

*   Orang Batak lebih cenderung memahami “Tohonan” dari segi mistik karena haruslah orang-orang tertentu dan orang-orang yang berwibawa yang dapat melakukan/melaksanakannya, yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain serta tidak dapat dicabut. Jelaslah bahwa tidak sembarang orang dapat melakukan serta membicarakannya selain dari pada “partohonan” itu sendiri.

Namun pengertian mengenai “tohonan” ini mengalami pergeseran makna setelah masuknya kekristenan di Tanah Batak. Pemahaman mereka orang Batak terhadap beberapa segi “tohonan” itu mulai berkurang dan bahkan tidak diterima sama sekali, misalnya “tohonan hadatuon” (dukun). Akan tetapi yang tetap ada terus hingga sekarang ini yaitu “tohonan” yang berkaitan dengan pertalian darah (kakak-adik) atau tali keturunan untuk menentukan pembagian akan “parjambaran” (yang menjadi bagiannya), serta menentukan siapa yang dapat menjadi pembicara dalam upacara Adat atau kumpulan yang bersifat adat. Artinya, bahwa terdapat suatu keunikan cara berfikir orang Batak dalam memahami istilah “tohonan” itu, sebelum dan sesudah masuknya Kekristenan. Pengertiannya tidak dapat disamakan dengan kata “ulaon” ataupun “jabatan”, tetapi masih lebih luas dan lebih dalam lagi dari itu. Dengan kata lain, ada perbedaan antara “partohonan” (yang mempunyai tohonan) dengan pekerja-pekerja yang lain.

Pengaruh dari pemahaman orang Batak itulah yang mungkin kemudian nampak di tengah-tengah orang Batak Kristen, ditambah lagi dengan pengaruh pemahaman yang lain, sehingga menyebabkan timbulnya pemahaman di gereja Batak yang nyata membedakan kelompok “partohonan” dengan yang tidak “partohonan”. Demikian juga halnya di kalangan “partohonan” itu sendiri, yakni Pendeta dan non Pendeta.

2.2.2.      Pemahaman Orang Kristen Batak terhadap “Tohonan Haparhaladoon” Jabatan Pelayanan di Gereja

E Sejarahnya[6]

Dari seluruh jenis “tohonan” yang ada di Gereja HKBP (berdasarkan Aturan Peraturan, Agenda serta Konfessi), “tohonan sintua” (penatua)lah yang pertama sekali ada. Itu terjadi pada tahun 1867. Barulah tahun 1873 diambil keputusan untuk memunculkan tohonan Guru, dan kemudian tahun 1885 dimunculkan tohonan pendeta, maka selanjutnya ada tohonan-tohonan yang lain. Jadi hanya sekitar 6 tahun setelah baptisan yang pertama di Tanah Batak, I.L Nommensen telah memikirkan untuk mengangkat orang Batak itu sendiri sebagai temannya melayani di jemaat. Itu artinya bila kita masing-masing mengingat hari kelahiran HKBP (Hari Ulang Tahun HKBP), pada dasarnya kita juga harus mengingat kembali hari kelahiran “tohonan” itu di gereja kita, karena keduanya hanya mempunyai selisih enam tahun. Barangkali merupakan suatu kesepakatan yang sangat berarti apabila kita menentukan suatu hari yang menjadi hari peringatan kelahiran “tohonan” itu bagi gerakan kita, yang telah terbukti menjadi berkat yang sangat besar bagi perkembangan Gereja Batak. Inilah salah satu kekhususan yang membuat Gereja Batak itu menjadi berbeda dengan Gereja-gereja “muda” lainnya, dimana jabatan pelayanan (tohonan parhaladoon) itu tidak segera diberikan kepada orang pribumi.

E Tujuannya[7]

Apabila kita melihat kepada sejarah pekabaran Injil di Tanah Batak, maka kita akan mengetahui bahwa di sana pekabaran Injil berjalan dengan sangat pesat sekali, semakin banyak orang Batak yang memberikan dirinya untuk dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Oleh karena itu sangat diperlukan tenaga yang dapat membantu para missioner untuk melaksanakan tugas pekabaran Injil tersebut. Dengan melihat kepada sejarah, maka orang Batak itu sendiri yang menjadi penolong dalam melaksanakan tugas tersebut, dan selanjutnya orang Batak sendirilah yang melanjutkan tugas pekabaran Injil itu. Orang-orang Batak yang telah ditahbiskan untuk membantu para missioner dalam menyebarkan Injil tersebut biasanya dianggap dan diperlakukan sebagai “pangurupi” (pembantu) terhadap “Tuan Pandita” istilah yang sangat populer pada masa itu sebelum Gereja Batak mandiri, untuk membedakan antara Pendeta Pribumi dengan Pendeta yang berasal dari Eropa, sebagai orang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya. Karena itu, tohonan orang-orang Kristen Batak itu hanya dianggap sebagai  “tohonan pangurupi”. Setelah Gereja Batak mandiri, maka fungsi dari “Tuan Pandita” itu bergeser kepada “Pendeta Batak”. Artinya bahwa “hatuanon” (kedudukan sebagai tuan) dari “Pendeta Batak” kelihatan semakin jelas dibandingkan dengan tohonan lainnya. Namun sebelumnya telah ada beberapa orang dari “Pendeta Batak” itu yang memperlakukan diri sebagai tuan terhadap “partohonan” yang lain (seperti Sintua, Guru-guru, dsb) bahkan mereka meniru-niru “suara dari seorang tuan”. Dari itu adanya tingkatan-tingkatan tohonan sudah nampak sejak awalnya dan selanjutnya semakin jelas nampak dalam tata Gereja Batak sejak adanya tata Gereja itu sampai sekarang ini. Tetapi walaupun adanya berbagai jenis tohonan tersebut, namun tujuannya tidak lain dari memberitakan Injil itu, mengajarkan, bersaksi, menggembalakan serta memimpin. Salah satu tugas yang membedakannya nampak dalam pelayanan Sakramen dan “Semi Sakramen” (perkawinan). Karena dia dalam prakteknya nampaknya ada “dua setengah” yang dinamakan Sakramen, walaupun secara teoritis hanya ada dua yang diakui. Demikian juga dengan hal meletakkan tangan dan pada saat mengucapkan berkat terhadap warga jemaat.

Sehubungan dengan rencana Gereja HKBP untuk memberi tugas pelayanan yang lebih besar dan lebih luas kepada awam, sesuai dengan Konsep Tata Gereja yang baru, maka perlu terlebih dahulu dibicarakan dengan jelas, susunan dan pembagian kerja dari “partohonan” itu sendiri. Supaya nanti tidak ada anggapan-anggapan adanya “partohonan” kelas 1, 2, 3 dan seterusnya. Ataupun dengan apa yang dinamakan “tohonan pangurupi” (pembantu) dan “tohonan tuan”. Maksudnya, janganlah kita membawa Gereja kita kembali kepada masa sebelum Reformasi. Barangkali ini menjadi satu tantangan yang baru dilenyapkan bagi Gereja Evangelis pada saat itu. Sebab Hierarchi Gereja di Gereja Evangelis sepertinya kembali lagi ke abad-abad sebelum Reformasi, dan bahkan meniru-niru susunan organisasi non-Gereja, yang lebih banyak menampakkan kekuasaan yang berbeda-beda tinggi dan besarnya secara organisator daripada berdasarkan Kristus yang empunya Gereja itu sendiri.

E Sifatnya[8]

Secara moral, orang Kristen Batak sangat menghargai, menjunjung dan memuliakan “partohonan” di Gereja. Oleh karena itulah, maka setiap pembicaraan, cara tertawa, cara berpakaian, model pangkas rambut, cara berjalan, sikap dan kebiasaan hidup “partohonan”, terlebih-lebih para Pendeta senantiasa diperhatikan dan dapat menjadi contoh bagi jemaat dan masyarakat luas. Dahulu pernah ada ungkapan “pangkas Pendeta” dan “cara jalan Pendeta” (yang tidak boleh lari meskipun turun hujan). Tidak hanya warga jemaat gereja saja yang menilai namun ikut juga masyarakat luas yang menilai seorang Pendeta itu, dan lebih dari itu, ia dianggap sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat. Demikianlah tingginya kedudukan Pendeta dianggap orang, sehingga jemaat memahami “tohonan” yang lain lebih rendah dari “tohonan Pendeta”. Bahkan ada muncul anggapan yang berlebihan mengenai Pendeta. Pendeta dianggap sebagai “superman” atau “Malaikat” yang tidak memiliki “perut” , tidak perlu “berkeluarga” dan “bersanak-saudara” dan “tidak perlu beristirahat”, ataupun juga “berlibur”. Masih banyak warga yang beranggapan bahwa Pendeta harus bekerja 24 jam sehari sepanjang tahun. Di negara maju, para Pendeta memiliki jam kerja, akan tetapi meskipun demikian para jemaat berharap agar para Pendeta bekerja lebih dari jam kerjanya. Misalnya, menurut Undang-Undang yang ada, jam kerja setiap pekerja cukuplah 36 jam per minggu, tetapi Pendeta masih dituntut bekerja 40 jam seminggu.

Warga jemaat mengharapkan dari partohonan perbuatan dan perangai yang melebihi norma-norma yang berlaku bagi warga jemaat dan masyarakat umum. Hal ini nampak dari pembicaraan seorang warga jemaat mengenai harapannya terhadap Pendetanya. Pada sebuah artikel, seorang ibu mengemukakan pendapatnya mengenai tohonan Pendeta: tidak kurang dari 40 macam tuntutan yang dikemukakan yang harus diperbuat oleh Pendeta. Jumlah sedemikian masih menurut pendapat ibu tersebut, itu berarti apabila kita mengadakan satu angket mengenai tohonan Pendeta, maka kemungkinan besar kita menemukan lebih banyak lagi tuntutan terhadap Pendeta dari warga jemaat. Padahal untuk melakukan satu tuntutan saja seorang Pendeta sudah kewalahan. Perlu kita ketahui bahwa tuntutan-tuntutan yang diberikan warga Gereja tidak hanya harus dilakukan oleh Pendeta saja, tapi ikut juga keluaganya: istrinya, anak-anaknya, setiap orang yang tinggal di rumahnya.

Sehubungan dengan berbagai macam tuntutan dari warga jemaat maka seorang ahli theologia bidang praktika pernah mengatakan bahwa tohonan kependetaan itu adalah merupakan suatu “sekolah” yang harus memperlajari ketabahan/kesabaran (eine schule des Geduldigwerdens). Barangkali tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh warga Gereja kepada para Pendeta berangkat dari kondisi dan situasi warga Gereja itu sendiri. Misalnya yang ada kaitannya dengan struktur sosialnya, kemerosotan ekonomi, gejolak politik, dan sebagainya. Demikian juga bila kita membaca dari buku-buku bagaimana keadaan para Pendeta sekitar 100-200 tahun yang lampau di Jerman, sangat mirip dengan apa yang dialami oleh para Pendeta kita sekarang ini. Dengan kata lain, walaupun warga jemaat mengharapkan pendidikan, pengetahuan, keterampilan serta kemampuan yang sangat berbobot sekali dari setiap Pendeta, namun mereka juga mengharapkan lebih banyak lagi akan tingkah laku yang lebih baik dari Pendeta sehingga menjadi teladan bagi setiap warga jemaat dan masyarakat luas.

Warga jemaat menganggap bahwa Pendeta itu seperti imam Allah, harus tahan menderita, bersikap baik dalam berbicara dan cara berpakaian harus rapi, bersih dan cukup berwibawa. Karena kekudusan tohonan kependetaan di hati warga Gereja.

2.2.3.      Pengertian Gereja HKBP Mengenai Tohonan Parhaladoon berdasarkan Konfessi dan Tata-Gereja
Berdasarkan Firman Allah yang tertulis di dalam I Kor 12:28. Efesus 4:11 dan Kis 6, HKBP mengakui betapa pentingnya “tohonan parhalado” (jabatan pelayanan) untuk mensukseskan segala tugas pelayanan di Gereja. Yang termasuk dalam jabatan pelayanan itu adalah para Pendeta, Guru Jemaat, Penatua, Evangelis, Pengkhotbah Wanita dan Diakones.[9]

Ada dua tahap yang harus ditempuh seseorang sebelum menerima tohonan/jabatan dalam Gereja, yaitu setelah melalui pendidikan theologia seperti Penatua. Walaupun sebenarnya dalam Agenda HKBP para Penatua tidak disebut sebagai partohonan, hanya Pendeta dan Guru Huria saja. Dan Agenda HKBP yang lama juga tidak mencantumkan acara penahbisan bagi pelayan-pelayan lainnya. Ada dua macam “tohonan haparhaladoon” berdasarkan Tata Gereja, yaitu:
Ø Kelompok yang bertugas menekuni dan melayani khotbah, sakramen dan seluruh pelayanan di Gereja (para Pendeta).

Ø Kelompok yang bertugas hanya menekuni dan melayani khotbah dan seluruh pelayanan di Gereja tanpa ikut melayani sakramen dan “semi sakramen” (Guru Huria, Evangelis, Pengkhotbah wanita, serta Diakones) kecuali dalam keadaan darurat.[10]

Di dalam Konfessi HKBP tidak ditemukan adanya pengertian yang memungkinkan adanya pengelompokan antara pelayan yang bisa dan yang tidak bisa melayani sakramen. Demikian juga hal yang memungkinkan adanya pelayan yang bertingkat-tingkat. Di sana hanya dikatakan “tohonan parhaladoon” (jabatan pelayanan), yang terdiri dari lima point (Konfessi HKBP, fasal 9). Di situ tidak ada terbuka kemungkinan yang memberi pemahaman dualisme dalam pelayanan itu. Padahal di dalam prakteknya sesuai dengan Tata Gereja dan buku Agenda HKBP, penggolongan itu menjadi ada. Yang paling menyolok dan sungguh janggal kelihatannya adalah pada waktu Perjamuan Kudus. Di situ para pelayan yang non Pendeta hanya melayani di pinggir atau di belakang altar untuk mempersiapkan roti ke dalam piring, mengisi cawan dengan anggur serta membersihkannya. Demikian juga pelayanan yang lainnya, yang hanya dilakukan oleh Pendeta. Barangkali sudah waktunya mendiskusikan keadaan itu secara teologis. Apalagi bila nantinya diberlakukan adanya unsur pelayan yang ditahbiskan (parhalado na martohonan) dan yang tidak ditahbiskan (na so martohonan). Bagaimana hal itu nantinya?[11]

Menurut pemahaman HKBP, “Parhalado na martohonan” ialah pelayan gereja yang telah menerima pekerjaan (tohonan parhaladoon) itu dari Allah melalui gereja, yang disampaikan oleh pimpinan gereja setelah melalui proses pemanggilan kepada pelayan yang bersangkutan. Pemberhentiannya dari “tohonan parhaladoon” itu pun juga melalui gereja setelah mengikuti proses pemberhentian itu. Dengan kata lain “partohonan” akan bisa kembali lagi sebagai warga jemaat yang biasa apabila dia telah diberhentikan atau telah meminta berhenti. Maksudnya disini adalah bahwa “tohonan parhaladoon” adalah sesuatu yang bisa dicabut (Tata-Gereja HKBP). Tetapi mungkin suatu hal yang masih perlu diperjelas adalah cara mencabut “tohonan” yang diberikan oleh gereja itu dan cara mengembalikannya kemudian setelah seseorang ingin kembali lagi kepada “tohonannya” itu. Karena “tohonan” itu disampaikan dalam satu kebaktian, maka sebaiknya pencabutannya juga kiranya dilakukan dalam kebaktian, demikian juga dengan pengembaliannya. Sehubungan dengan proses pencabutan itu perlu diatur dengan baik, supaya keputusan janganlah diperbuat dengan cara “voting”, tetapi sebaiknya didasarkan atas kasih Kristus yang memanggil hambaNya menjadi pelayan di Gereja-Nya itu. Demikian sebelum menjatuhkan vonis perlu memperhatikan azas peradilan. Supaya di dalamnya jangan  bertindak sebagai Hakim sekaligus sebagai Penuntut dan Pembela. Karena bagaimanapun juga, apabila dikatakan mempertimbangkan di dalamnya sudah terjadi proses peradilan, walaupun sesungguhnya hal itu tidak bisa disamakan dengan proses peradilan yang biasa di pemerintahan.

Menurut kitab suci, tidak disebutkan bahwa seseorang yang telah terpanggil sebagai Pelayan gereja, tidak bisa lagi kembali sebagai anggota biasa kalau dia sudah berhenti atau diberhentikan dari fungsi itu. Berdasarkan pemahaman itulah maka reformator Marthin Luther dan Calvin dengan tegas mengkritik dan melawan “character indelebilis” yang dianut oleh gereja Roma Katolik yang mengatakan: “penahbisan yang diberikan pimpinan dengan cara menumpangkan tangan kepada pelayan gereja pada waktu menerima tohonan itu, otomatis menjadi milik dari yang bersangkutan selama hidupnya, yang tidak bisa dicabut kembali”. Umumnya semua gereja reformasi menolak paham yang menganut karakter Indelebilis itu. Termasuk juga HKBP, sehingga di dalam sejarahnya, seseorang pelayan gereja bisa diberhentikan dari “tohonannya”. Barangkali yang belum pernah terjadi ialah berhenti dari “tohonan”nya karena permintaan atau keinginannya sendiri. Tetapi walaupun HKBP tidak mengakui karakter Indelebilis itu, di dalam buku Liturgi (Agenda) nya jelas nampak bahwa Tuhan Yesuslah yang memberikan “tohonan” kependetaan itu. Tentu ini bukan hanya berlaku bagi jabatan pendeta saja, namun juga berlaku bagi jabatan Sintua, Guru Jemaat, dan lainnya. Walaupun tidak dituliskan demikian.[12]

Untuk  yang akan merevisi buku Liturgi tersebut, baiklah ia memperhatikannya supaya jangan ada kesan bahwa hanya jabatan kependetaan sajalah yang ditetapkan oleh Kristus. Demikian juga, janganlah kiranya seolah-olah ada pertentangan dari apa yang disebutkan Liturgi, Tata Gereja dan Konfessi mengenai “tohonan haparhaladoon” di HKBP, sampai kepada tugas masing-masing.

2.2.4.      Pengertian “tohonan haparhaladoon” menurut surat Rasul Paulus kepada Timotius[13]
Pengertian “tohonan” yang diberikan kepada Timotius ialah melayani. Jadi apapun istilah yang dipergunakan dalam berbagai terjemahan, pengertiannya adalah sama yakni pelayanan. Mulai pasal pertama hingga pasal terakhir dari surat Timotius tersebut, intinya adalah pelayanan. Itulah yang dinasihatkan Paulus kepada Timotius sebagai anaknya yang kekasih, yakni supaya dia meneruskan tugas pelayanan itu, sesuai dengan apa yang diajarkan kepadanya. Paulus berkata: “tugas ini kuberikan kepadamu, Timotius anakku, sesuai dengan apa yang dinubuatkan tentang dirimu...(I Timotius 1:18)”. Timotius sendiri menyebut dirinya sebagai pelayan atau hamba Kristus (Fil1:1) dan Paulus juga demikian (Roma 1:1). Bahkan di semua kitab Perjanjian Baru, maksud dan tujuan dari “tohonan parhaladoon” adalah pelayanan, jabatan manapun, yang didasarkan atas pekerjaan Kristus yang datang ke dunia ini bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani (Mark 10:45). Karena itu “tohonan haparhaladoon” di gereja sungguh berbeda dari segala “tohonan” pekerjaan, jabatan, dan kepemimpinan yang dikenal orang di dunia ini, yang menggambarkan adanya kesan yang bersifat magis, dan yang menonjolkan kemampuan, hak, kuasa dan kesewenang-wenangan saja. Karena dasarnya hanya anugerah Kristus saja: “karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” (II Tim 1:6). Sumber kekuatan kemampuan dan kelayakan untuk menjadi pelayan hanyalah kasih karunia Kristus saja (II Tim 2:1). Karena itu apapun tidak bisa yang dapat diandalkan. Dan yang ditakutkan pun tidak ada karena Kristuslah yang memampukan (II Tim 1:6 – 2:6-18) orang-orang percaya dan yang akan melayani, sebagaimana nampak dalam kehidupan Paulus sendiri yang bisa menjadi teladan yang baik.
Dalam suratnya yang kedua kepada Timotius, pasal 4, Paulus mengulang kembali tugas-tugas pelayanan itu, yakni: memberitakan firman pada setiap waktu, menegor, menasihati, dan mengajar dengan segala kesabaran (II Tim 4:1-5), seperti yang disebutkan pada awalnya. Dengan kata lain “tohonan parhaladoon” menurut surat Paulus kepada Timotius berarti pelayanan di dalam jemaat dan sekitarnya yang berdasarkan pelayanan yang telah dikerjakan Yesus yang mengutus Paulus, Timotius dan semua orang yang bersedia untuk diutus, bukanlah jabatan “tuan” atau “pemerintahan” seperti yang dikenal oleh dunia ini.
Dasarnya adalah karunia Kristus yang memberi kemampuan itu, bukan kemampuan pelayan itu sendiri. Dan yang dikerjakan ialah pesan dari Kristus yang mengutus itu, yakni: berkhotbah, menasihati, mengajar, dan menegor dengan kesabaran, bukanlah pesan manusia atau pikiran dari pelayan itu yang disampaikan. Berdasarkan surat Timotius ini bahkan berdasarkan semua kitab perjanjian baru, kata pelayan sebenarnya jauh lebih tepat dikenakan kepada semua “partohonan” karena inti dari semua “tohonan parhaladoon” itu adalah melayani. Kalaupun sebutan-sebutan yang biasa itu masih dipergunakan, tujuan dan pengertian dari semuanya itu adalah melayani.
2.2.5.      Cara Memahami Thema Rapat Pendeta pada Zaman Sekarang dan Masa Mendatang[14]

Ada beberapa cara memahami thema rapat Pendeta pada zaman sekarang dan masa mendatang, yaitu:

1)   Mengakui bahwa “tohonan” kita itu kita terima dari Allah, baik itu melalui vocatio immediata ataupun vocatio mediata seperti yang disebutkan oleh Marthin Luther. Di dalam liturgi “penahbisan Pendeta” itupun jelas disebutkan bahwa “tohonan” itu adalah kita terima dari Tuhan Yesus. Karena itu janganlah dilupakan, bahwa “tohonan” itu bukan datang dari manusia, walaupun penyampaiannya melalui manusia. Artinya bahwa pertanggungjawaban terakhir adalah kepada yang memberikannya. Jadi di sinilah letaknya perbedaan dari “tohonan” kita itu dari “tohonan” atau jabatan yang lain, karena kita menerimanya dari Allah. Inilah mungkin  yang dilihat oleh jemaat atau orang banyak, maka penilaian, sikap dan harapannya kepada “partohonan” khususnya pada Pendeta lain sekali.

2)   Kita jangan melecehkan atau memandang rendah terhadap kekhususan dari “tohonan” kita itu. Walaupun kita tidak perlu lagi mempunyai “pangkas”, cara berpakaian, cara berjalan dan lainnya, yang khas sebagaimana dulu dituntut oleh warga jemaat dulu dari seorang Pendeta, namun perangai yang baik (hidup teratur, disiplin, sopan-santun di dalam pergaulan, kerajinan, kejujuran, ketabahan dan kelemah-lembutan)  benar-benar dituntut dari seorang Pendeta, dan bahkan dia harus senantiasa menjadi pola anutan. Demikian juga dalam hal menghayati lebih dulu apa yang dikhotbahkannya dan yang diucapkan, supaya ucapan jangan berbeda dari perbuatan terutama yang berhubungan dengan iman dan kasih. Hal itu bukan hanya menyangkut diri pelayan itu sendiri, tetapi juga menyangkut keluarga.

3)   Jangan melecehkan atau memandang rendah terhadap “tohonan” yang kita terima dari Allah. Karena “tohonan ” itu harus kita tunaikan, bukan saja di dalam gereja, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun dan yang sedang menyongsong era baru.

4)   Perlu adanya diskusi secara terbuka dan di dalam kasih persaudaraan sebagai orang-orang yang satu pelayanan dalam usaha untuk mempersiapkan masa depan gereja kita yang lebih baik, yakni diskusi mengenai “pejabat-pejabat gereja” yang sangat menentukan. Dan ini tentunya dengan bimbingan dan pimpinan Roh Kudus. Hasil diskusi itu kiranya akan muncul dalam Rapat Pendeta, untuk diikuti setiap Pendeta sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan tohonan kependetaan. Paling sedikit hal tersebut diharapkan akan dapat mengurangi ketegangan-ketegangan antar sesama pendeta. Perkataan yang sering terdengar dari anggota jemaat yang menyatakan “kamu para pendetalah yang terlebih dahulu memperbaiki diri, saling merendahkan hati dan berdamai, janganlah damai itu hanya ucapan saja kepada kami warga jemaat ini, kamu sendirilah dulu yang berdamai, karena kamulah yang saling bertikai”. Ini perlu kita koreksi terhadap diri kita sambil berusaha supaya citra kependetaan itu jangan semakin merosot pada waktu yang akan datang. Mungkin apa yang mereka katakan itu tidak semuanya benar berdasarkan fakta. Namun sehubungan dengan itu, di gereja kita sudah saatnya diperlukan semacam “aturan permainan” mengenai cara-cara kampanye dan pemilihan apabila seseorang mencalonkan diri atau jika ada orang lain yang dicalonkan. Jika pedoman seperti itu ada, diharapkan akan dapat mengurangi sikap yang saling menjatuhkan, saling mencurigai dan lainnya. Tentu juga tidak terjadi sikap yang saling menuduh telah melakukan “rapat-rapat gelap” dan sikap yang “saling memburuk-burukkan”. Di dalam cara-cara pemilihan yang bersifat sekuler saja misalnya, tidak dijumpai lagi adanya sikap yang saling memburuk-burukkan itu, sikap seperti itu benar-benar dilarang adanya bila terjadi masa kampanye. Yang dikemukakan ialah programnya, bukan rivalnya itu yang diburuk-burukkan. Jika pedoman seperti itu ada sebagai hasil pembicaraan secara terbuka, kemungkinan kekurangan-kekurangan yang terjadi selama ini akan berkurang. Ternyata sikap yang saling memburukkan itu telah banyak merusak hubungan dan kesatuan para pendeta. Barangkali masalah seperti ini harus juga kita pahami sebagai bagian dari pelayanan kita.

3.      Tanggapan Teologis

Makna Tohonan yang dipaparkan oleh Pdt. P.W.T.Simanjuntak sudah cukup luas dan jelas. Ia memaparkan bahwa  tidak hanya pendeta itu sendiri, tetapi juga istri dan anak-anaknya turut dalam memenuhi tuntutan-tuntutan jemaat.  Akan tetapi beliau hanya terfokus pada tohonan para pendeta. Jika dibandingkan dengan pendapat dari Pdt. Andar Lumbantobing yang membahas makna jabatan dalam gereja. Dan adanya masih banyak tohonan lainnya yang ada dalam pelayanan gereja yang tidak dibahas oleh Pdt. P.W.T.Simanjuntak, seperti Penatua (sintua), penginjil (Evangelis), Bibelvrouw (penginjil wanita), Diaken (syamas) dan porhanger (Voorganger) yang disebut dengan guru huria sekarang. Yang mempunyai tugas masing-masing untuk mencapai pelayanan yang sesuai dengan kehendak Kristus dan memperhatikan pertumbuhan dari jemaat tersebut.[15]  

Sedangkan Pdt. B.M. Siagian, S.Th. memberikan pendapat yang lebih jelas mengenai sumber atau pemberi “tohonan” kepada seorang partohonan itu yang kurang jelas dipaparkan oleh P.W.T. Simanjuntak dalam tulisannya. Berikut menurut Siagian,[16] Allah memanggil dan menetapkan manusia menerima mandat Ilahi dalam menguasai dan memelihara bumi dan Alkitab diakhiri dengan pandangan eskhatologi kitab Wahyu tentang kehidupan kekal orang percaya panggilan dan pemilihan Allah dari genesis ke eskhatologi. Pemanggilan dan pemilihan telah dimulai dari kisah penciptaan dan akan terus berlangsung hingga penentuan akhir (parusia) dimana Allah memilih dan menetapkan umat tebusanNya masuk dalam kehidupan yang kekal. Allah telah memanggil dan menetapkan manusia menjadi wakil (duta) di dunia ini untuk menunaikan Missio Dei. Dalam hal ini, dasar pemikiran teologis tentang pemilihan Allah bahwa pemilihan pelayan yang mengemban missi Allah merupakan hak absolut Allah. Memang, Allah memakai kita masing-masing untuk melakukan pekerjaanNya. Hal inilah yang disebutkan Dietrich Bonhoeffer sebagai mandat (Mandate Divine, Dietrich Bonhoeffer, Ethics, 1956/286-287). Dengan demikian masing-masing pelayan harus menyadari sepenuhnya bahwa:

1.      Pelayan harus menyadari bahwa menjadi pelayan berarti menunaikan mandat Ilahi.

2.      Mandat Ilahi yang ada pada diri kita masing-masing adalah sebagai anugerah Allah.

3.      Mandat Ilahi harus benar-benar dijalakan sesuai dengan kehendak Allah.

P.W.T. Simanjuntak memang telah menyinggung banyak mengenai integritas pelayanan seorang “partohonan” dalam kehidupan kesehariannya yang selalu menjadi sorotan masyarakat atau jemaat. Namun, penulis kurang membahas tentang bagaimana seharusnya sikap yang harus ada dan muncul dalam diri “partohonan” tersebut dalam menghadapi tuntutan jemaat (namun bukan berarti untuk pembelaan diri bagi “partohonan”) seperti yang akan dipaparkan oleh Warren W. Wiersbe, yang melihat bahwa  pelayanan seorang hamba Tuhan yang melayani sepenuh waktu itu sangat sulit dan banyak tuntutannya. Mustahil seseorang mengerjakan pelayanan itu tanpa kepastian tentang panggilan Ilahi. Orang yang menjadi pendeta, lalu keluar lagi dari pelayanan itu, biasanya kurang merasakan adanya beban yang diberikan oleh Tuhan. Hanya seseorang yang mantap tentang panggilan Tuhan itulah yang boleh mengharapkan pelayanan yang berhasil baik. Seharusnya ada suatu pertimbangan tentang sifat-sifat yang diharapkan dan syarat-syarat yang dituntut Tuhan dari hamba-Nya. Hendaknya calon pendeta mencamkan dalam suasana doa penjelasan Rasul Paulus pada 1 Timoteus 3:1-7 dan Titus 1:5-9. Tentu saja belum pernah ada seorang pendeta yang merasa bahwa ia sudah menemukan semua persyaratan. Bahkan rasul Paulus sendiri berseru, “siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian?” (2 Korintus 2:16). Namun orang yang dipanggil Tuhan itu akan merasa bahwa Tuhan telah memberikan karunia rohaniah dan bakat alamiah, yang kesemuanya harus diserahkan kepada Tuhan serta diperkembangkan dan digunakan demi kemuliaan-Nya.[17]

4.      Kesimpulan dan Saran

a.             Kesimpulan

Sebagai kesimpulan yang dapat diambil oleh kelompok adalah sebagai berikut:

1.      Pengertian bersama (antara pemahaman adat Batak dengan pemahaman Gereja) akan hakekat dari “tohonan” tersebut berdasarkan firman Tuhan yang terdapat dalam Alkitab.

2.      Peranan akan tugas dan tanggung jawab para “partohonan” gereja dalam menghadapi masa sekarang dan menyongsong masa yang akan datang.

3.      Pemahaman HKBP mengenai “Parhalado na martohonan” ialah pelayan gereja yang telah menerima pekerjaan (tohonan parhaladoon) itu dari Allah melalui gereja, yang disampaikan oleh pimpinan gereja setelah melalui proses pemanggilan kepada pelayan yang bersangkutan, yang bisa diberhentikan atau dicabut.

4.      Di semua kitab Perjanjian Baru, menurut  Rasul Paulus maksud dan tujuan dari “tohonan haparhaladoon” adalah pelayanan, jabatan manapun, yang didasarkan atas pekerjaan Kristus yang datang ke dunia ini bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani (Mark 10:45). Karena itu “tohonan haparhaladoon” di gereja sungguh berbeda dari segala “tohonan” pekerjaan, jabatan, dan kepemimpinan yang dikenal orang di dunia ini, yang menggambarkan adanya kesan yang bersifat magis, dan yang menonjolkan kemampuan, hak, kuasa dan kesewenang-wenangan saja. Tetapi dasarnya hanya pada anugerah Kristus saja.



b.             Saran

Kelompok dapat memahami apa yang disampaikan oleh P.W.T. Simanjuntak bahwa ia ingin menghimbau setiap partohonan agar memahami “tohonan” yang diembankan kepadanya untuk dipertanggungjawabkan sesuai dengan dasar yang sesungguhnya yaitu pelayanan yang berdasar pada kasih karunia Tuhan, bukan pelayanan karena pribadinya sendiri atau kesanggupannya sendiri. Apa yang dipaparkan dalam penulisan ini sangat bagus dibaca, baik jemaat dan pelayan “partohonan”, apalagi pada masa sekarang ini, kita melihat banyaknya pelayan “partohonan” secara khusus HKBP, yang tampaknya kurang menyadari (atau barangkali tidak mengetahui lagi) apa arti sesungguhnya “tohonan” yang diembankan kepadanya itu.



[1] Tim Penyusun, Buku Panduan STT-HKBP, STT-HKBP, Pematangsiantar, 1991, hlm 87
[2] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, “Sahat Ula Tohonanmi” dalam Vocatio Dei Edisi XXXIX, STT-HKBP, Pematangsiantar,1995, hlm 117-118
[3] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, “Tohonan” dalam Vocatio Dei Edisi XXXIII-XXXIV, STT-HKBP, Pematangsiantar,1995, hlm 7
[4] Ibid, hlm 8
[5] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 8-9
[6] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 9
[7] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 10
[8] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 10-11
[9] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 12
[10] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 13
[11] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 12
[12] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 13
[13] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 17-18
[14] Parlindungan.W.T.Simanjuntak, Op.Cit, hlm 19-20
[15] Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, BPK-GM,1996, Jakarta: hlm 114-130
[16] Pahala J.Simanjuntak, dkk (Edit.), Integritas Seorang Hamba, Kantor Pusat HKBP, 2008, Tarutung: hlm 28-31
[17] Warren W. Wiersbe, Memimpin Gereja Secara Mantap, Lembaga Literatur Baptis, 2003, Bandung: hlm13-14 

Comments

Popular posts from this blog

(LX. SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP)

SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP  I. Pendahuluan             Baptisan merupakan salah satu sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.             Kata “baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus. [1] Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan Kristus ke dunia. [2] HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samp...

(LXXVI. MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)

MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON   MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA [1] 1. Biografi             Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada 26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.             Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967 dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul Die Konkretisierung ...

(XXXI. TAFSIRAN HISTORIS KRITIS MAZMUR 23:1-6)

Tinjauan Historis Kitab Mazmur 23:1-6 Oleh " Rahman Saputra Tamba " BAB I Pendahuluan             Nama kitab ini dalam LXX adalah Psalmoi [1] . Alkitab bahasa latin memakai nama yang sama. Kata Yunani (dari kata kerja psallo yang artinya “memetik atau mendentingkan”). Mula-mula digunakan untuk permainan alat musik petik atau untuk alat musik itu. Kemudian kata ini menunjukkan nyanyian ( psalmos ) atau kumpulan nyanyian ( psalterion) . [2] Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul Kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah [3] tehillim yang artinya “puji-pujian atau nyanyian pujian”.             Dalam Alkitab Ibrani, Kitab Mazmur terdapat pada awal bagian Kitab-kitab. Para nabi menempatkan sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Da...