KRISTOLOGI DALAM
PERJUMPAAN DENGAN KEBUDAYAAN BATAK
(Studi historis-dogmatis dan
upaya kontekstualisasi)
Studi ini
membahas mengenai “kristologi dalam perjumpaan dengan kebudayaan Batak”. Judul
ini dipilih, sebab pada dasarnya keyakinan seluruh umat Kristen bahwa Yesus
adalah pusat iman dan keselamatan manusia (bnd. Kis. 4:12). Gereja harus berdasar
pada kristologi, sebab Yesus Kristuslah sebagai batu penjurunya (1 Ptr.
2:1-10). Seluruh umat Kristen ditugasi menjadi saksi-Nya (Mat.28:19-20; bnd.
Mrk.16:15).
Dalam
perkembangan sejarah dan dogma Gereja memang kristologi sudah sejak lama menjadi persoalan teologi. Kristologi sering
memunculkan kontroversial, khususnya mengenai pemahaman manusia seputar
“kemanusiaan” dan “ke-Allah-an” Yesus Kristus. Akibatnya Gereja pernah
mengadakan beberapa kali konsili untuk membahasnya. Lalu kristologi beberapa
konsili Gereja itu berkembang dan kemudian terkristalisasi di dalam berbagai
dogma serta credo Gereja, seperti: Credo Athanasium, Credo Apostolicum dan
Credo Nicaeno-Constantinopolitanum. Selanjutnya bentuk kristologi dari
Gereja Mula-mula hingga pada awal Abad Pertengahan itu berkembang dan diwarisi
oleh Gereja-gereja di Barat.
Gereja-gereja
di Indonesia termasuk di antaranya Gereja Batak juga pernah mengalami
“pergumulan rangkap” pada saat menerima Injil di tengah konteks kekayaan budaya
dan religi seku setempat. Umumnya Gereja-gereja di Indonesia mewarisi warna
kristologi itu lewat “warisan kofesional” dan berbagai bentuk dogma yang
diajarkan oleh para misionaris.
Gereja Batak misalnya menerima
warisan konfesional tentang kristologi dari misionaris RMG.Untuk itu studi ini
mengkhususkan penelitian terhadap kristologi dalam perjumpaannya terhadap
kebudayaan Batak dengan menghadirkan lima tahapan penjelasan:
Pertama,
sejarah awal dogma kristologi Kristen. Kristologi tidak terpisahkan dari
teologi. Sebab memang dalam studi kristologi, kita tidak hanya
membicarakan mengenai kemanusiaan Yesus,
termasuk juga ke-Tuhanan-Nya. Setiap pembicaraan yang berhubungan dengan
ke-Tuhanan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari studi teologi.
Pada periode
pertama, kristologi itu ternyata disampaikan secara lisan. Kesaksian itu sudah
terjadi misalnya pada kisah pembaptisan Yesus di sungai Yordan di mana
terdengar suara dari sorga mengatakan: ”Inilah Anak-Ku” (Mat.3:13-17; Mrk.
1:9-11; Luk. 3:21-22 dan Yoh. 1:32-34). Juga dalam dialog Yesus terhadap
murid-murid-Nya yang mempertanyakan seputar pengenalan orang banyak terhadap
Dia (Mat. 16:13-20; Mrk.8:27-30; Luk. 9:18-21). Lalu dialog kristologi itu
dikembangkan pula oleh dua orang murid Yesus setelah peristiwa kebangkitan-Nya
pada saat berpergian ke sebuah desa bernama Emaus dekat Yerusalem (bnd. Luk.
24:13-35).
Pada periode
kedua, kristologi itu disampaikan secara tertulis yang bersamaan waktunya
dengan proses kanonisasi kitab-kitab Perjanjian Baru. Perkembangan pada periode
ini, khususnya periode peralihan kristologi dari dunia Yahudi-Palestina ke
dunia Yunani pada abad pertama hingga ketiga Masehi, kristologi itu menghadapi
tantagan dan penghambatan yang cukup berat, sehingga harus mengalami upaya
kontekstualisasi. Kotekstualisasi kristologi dilakukan dalam bentuk visualisasi
gambar atau kode. Gambar dan kode
kristologi itu dituliskan pada tembok-tembok di sekitar lorog katakombe,
yakni suatu tempat pemakaman yang terpaksa dihuni oleh para pengungsi umat
Kristen, supaya mereka terhindar dari penagkapan, siksaan, dan hukuman martir
oleh peguasa kekaisaran Romawi. Misalnya, dengan melukis kode atau tanda
Yunani ichtus, berarti ikan,
mereka itu telah menyaksikan iman kepada Yesus sebagai Kristus Anak Allah
Juruselamat. Inilah salah satu contoh dan model kontekstualisasi kristologi
yang pernah terjadi di Gereja mula-mula.
Studi ini
juga turut meneliti kristologi Yudaisme, yaitu suatu kesaksian mengenai Yesus
di luar pemberitaan Alkitab. Dihadirkan penjelasan dari beberapa tokoh Yahudi,
seperti Josephus, Martin Buber, E.P. Sanders
dan Geza Vermes. Secara umum penjelasan mereka hanyalah sebatas memahami
Yesus sebagai seorang Yahudi, pernah ada dalam sejarah keyahudian dan memiliki
karier di bumi ini. Belum muncul pengenalan dan kesaksian mereka yang mengakui
ke-Tuhanan Yesus.
Berbeda dari
kristologi Yudaisme, di kalangan jemaat Kristen mula-mula terus dikembangkan
pemahaman bahwa kristologi sangat erat terkait dengan isi pemberitaan kitab
Perjanjian Lama. Para teolog, seperti France, Vischer, Childs, Karl Barth dan
yang lainnya membenarkan bahwa Kristen mula-mula dinyatakan tetap memahami
pemberitaan kitab Perjanjian Lama melalui prinsip kristologi. Mereka mencela
setiap upaya dan pemahaman yang memisahkan nubuatan kedatangan Mesias Israel di
luar prinsip kristologi Perjanjian Baru. Umat Kristen tetap mempertahankan
adanya ikatan mata rantai kristologi Perjanjian Baru terhadap munculnya
pengharapan akan datangnya Mesias Israel.
Kedua,
kristologi Kristen mula-mula dari Yerusalem ke Atena. Ada tiga tahapan
kristologi yang dikembangkan: (1) kristologi Kristen hebraioi (Kristen
Yahudi). Model kristologi kumunitas ini
kuat menyaksikan hubungan yang erat di antara Mesias PL kepada Yesus. (ii)
Kristen hellenistes (Kristen Yunani) yang mengembangkan konsep
kristologi dari monoteistis-Yudaisme beralih kepada kesaksian Yesus dalam
konteks hellenistis. Terjadi upaya kontekstualisasi melalui konsep kristologi logos.
Philo termasuk tokoh berpengaruh dalam mengembangkan konsep kristologi logos
dan telah medapat pengaruh dari Platoisme. Kristologi logos dari
Kristen hellenistes merupakan bentuk kotekstualisasi kristologi untuk
dapat memudahkan orang-orang Yunani mengerti ajaran inkarnasi Allah melalui
Yesus Kristus. (iii) Kristologi kitab Perjanjian Baru yang intinya menyaksikan
bahwa Yesus adalah Manusia yang sesungguhnya dan Allah yang sesungguhnya. Kitab
Injil Matius dan Lukas misalnya jelas menceritakan itu, bahwa Yesus adalah
seperti manusia biasa yang memiliki keluarga dan silsilah yang jelas. Namun Ia
diceritakan dilahirkan berbeda dari manusia biasa. Ia lahir dari perawan Maria
tanpa berhubungan dengan lelaki, melainkan dikandung dari Roh Kudus (Mat.
1:18-25; Luk. 2:1-7). Kitab Yohanes menjelaskan kristologi logos berasal
dari Allah. Ia menjadi manusia dan “Mediator” antara Allah dan manusia di dalam
perwujudan karya keselamatan dari Allah (bnd. Yoh. 1:1-8). Model kristologi
“dari atas ke bawah” dan “dari bawah ke atas” jelas disaksikan. Sementara
kristologi Paulus juga menekankan kesatuan hubungan antara Yesus dan Allah.
Yesus disebut Anak Allah (Gal. 4:4; bnd. Rm. 1:3-4). Dalam Filipi 2:9-11
dijelaskan model kristologi “pengosongan diri Yesus” untuk menjelaskan
“kristologi dari atas ke bawah” dan menunjuk makna perendahan-Nya sebagai
seorang hamba yang taat, sehingga kemudian Ia ditinggikan oleh Allah dan diberi
nama terhormat. Dan semua gelar dalam kesaksian PB yang dikenakan kepada Yesus,
seperti: Guru, Nabi, Mesias, Anak Manusia, Anak Daud dan yang lainnya, adalah
gelar kristologi yang sarat dengan makna soteriologis dan bersifat eskatologis.
Ketiga, bentuk kristologi di jaman Bapa-bapa
Gereja hingga awal Abad Pertengahan.
Pada periode ini sebagaimana penjelasan Kurt Aland bahwa Gereja
mengalami penghambatan dari Yudaisme, sekelompok orang tertentu yang menginginkan
agar agama kekafiran tetap berkembang dan dari sebagian penguasa di kekaisaran
Romawi. Para Bapa-bapa Gereja terus mengembangkan kristologi hingga Abad
Pertengahan, di antaranya:
a. Meneruskan
kristologi katakombe. Kristologi ichtus
pada jaman penghambatan terus dikembangkan. Ada model kristologi dengan
melukis huruf alpha dan omega untuk menyatakan iman mereka kepada
Yesus sebagai awal dan akhir setiap kehidupan. Model lain melukiskan “Yesus
sebagai Gembala”, suatu model kristologi cukup tua dan pernah dikembangkan oleh
Clemens dari Aleksandria untuk menjelaskan Yesus sebagai Gembala yang Baik yang
berkorban demi domba-domba-Nya,
sekaligus mengingatkan misis-Nya sebagai Guru atau Pendidik.
b. Kristologi
Bapa-bapa Gereja. Bapa-bapa Gereja Timur, seperti Yustinus Martir mengembangkan
kristologi logos untuk mengkontekstualkan pemahaman iman kepada Yesus di
tengah-tengah masyarakat yang sarat dengan pengaruh filsafat Yunani. Juga
Adamatius Origenes memperluas dialog kristologi logos yang dijelaskan
status-Nya homoousios (sehakikat) dengan Allah Bapa. Lalu kristologi
Arius sendiri memang banyak menimbulkan kontroversi, sebab kurang mengajarkan
ke-Allahan Kristus. Akibatnya Arius dan pendukungnya dikucilkan melalui
keputusan konsili Nicea, 325. Sementara kristologi Athanasius pun turut
mewarnai dialog kristologi. Kristologi Athanasius cukup kuat mempertahankan
ke-Tuhanan Yesus. Ia menyalahkan kristologi arianisme yang kurang menonjolkan
ke-Allahan Yesus. Athanasius mengajarkan bahwa Yesus homoousios
(sehakikat dengan Allah Bapa.
Bapa-bapa Gereja Barat juga
turut berperan banyak dalam meperluas dan
menghangatkan dialog kristologi. Misalnya, Irenaeus dari Lyon dihormati
cukup berpengaruh melawan gnotisisme, khususnya Valentinianisme di tengah
kekristenan. Kristologinya kuat mengajarkan bahwa Yesus adalah Juruselamat.
Juga Tertullianus banyak memperluas kajian kristologi dalam relasi trinitas.
Kristologinya menekankan keesaan relasi Kristus dengan Allah Bapa. Augustinus juga termasuk tokoh yang
mengajarkan kristologi dalam relasi trinitas. Yesus Kristus diyakini termasuk
tiga dalam satu substansi, dan satu persona dalam tiga pribadi.
c. Kristologi
tujuh konsili oikumenis.Munculnya rumusan kristologi tujuh konsili seperti:
Nicea 325, Konstantinopel 381, Efesus 431, Chalcedon 451, Konstantinopel II
553, Konstantinopel III 680, dan Nicea II 787, adalah disebabkan timbolnya
pemahaman controversial terhadap kristologi Bapa-bapa Gereja. Perbedaan
pemahaman yang berakibat mengancam perpecahan Gereja, sehingga beberapa kaisar
di wilayah Romawi prihatin dan turut mencari solusi melalui pemrakarsa konsili.
Studi ini menyimpulkan bahwa kristologi hasil
konsili itu dapat dipahami dari empat sudut pandang: (i) Sebagai upaya
membendung arus dominasi ajaran yang banyak dianggap sesat pada jamannya, dan
pengaruh dari filsafat Yunani di dalam Gereja. (ii) Sebagai dasar dan pedoman
pengajaran dari Gereja untuk mengembangkan, menilai, dan mempertahankan
kebenaran iman Kristen di tengah-tengah maraknya arus pengajaran kristologi
yang bervariasi serta kontroversi pada jamannya. Dengan demikian kristologi
hasil konsili itu dinyatakan “inti Injil” dan menjadi dogma yang memperkuat
kesaksian tentang ke-Allahan Kristus, seperti kristologi homoousios.
(iii) Kristologi hasil konsili dapat menjadi contoh berkristologi kontekstual
Gereja, yang pada jaman itu masyarakat kuat dipengaruhi kebudayaan dan filsafat
Yunani. (iv) Rumusan kristologi dari tujuh konsili itu juga dapat dijadikan
sebagai pedoman dogma kristologi Gereja, tidak terbatas hanya di jaman
Bapa-bapa Gereja, tetapi dapat berguna di Gereja masa kini.
Keempat,
latar belakang yang mempengaruhi kristologi Gereja Batak. Menurut sejarah ada
dua yang mempengaruhi:
Pertama,
pengaruh teologi pietisme Lutheran Jerman. Pengaruh teologi Pietisme itu masuk
ke Gereja Batak melalui tiga cara, antara lain: (i) Pewarisan warna teologi
lewat khotbah dan kegiatan penginjilan lainnya. Para misionaris RMG yang
bekerja di Tanah Batak dahulu telah dididik di lingkungan Pietisme Jerman,
sehigga warna teologi itulah mereka sampaikan lewat khotbah-khotbah dan
kegiatan penginjilan lainnya. (ii) Lewat jalur pendidikan yang didirikan oleh
para misionaris diwariskan warna teologi Pietisme kepada para calon pendeta dan
penginjil Batak. (iii) Melalui susunan liturgi dan tata kebaktian Minggu di
Gereja Batak. Pola liturgi Gereja Batak
dipakai sejak tahun 1904 disadur dari
bentuk “liturgi Gereja Uniert Jerman” yang dominan dipengaruhi teologi
Pietisme, termasuk Buku Ende HKBP (Buku Nyanyian Gereja Batak).
Kedua,
pengaruh kristologi Katekhismus Martin Luther dan Konfesi Augsburg. Pengaruh
ini masuk ke Gereja Batak diseberangkan langsung oleh misionaris RMG.
Katekhismus Kecil Martin Luther diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Toba oleh
Nommensen pada tahun 1874. Sejak itu katekhismus itu sudah dijemaatkan bagi
seluruh warga Kristen Batak dan secara otomatis pula menjadi pengakaran
identitas Lutheran di kalangan Gereja Batak. Demikian juga konfesi Augsburg
telah dijadikan oleh HKBP sebagai “proto-tipe” di dalam penyusunan kenfesi HKBP
1951. Akhirnya pemakaian konfesi HKBP 1951 dianggap sebagai pewarisan
kristologi konfesi Augsburg, sebab jiwa kristologi konfesi Augsburg telah
teradopsi di dalam konfesi HKBP 1951 sejak awal penyusunannya.
Kelima,
Kristologi Gereja Batak: dahulu, masa kini dan ke depan. Sebelum
masuknya Injil ke Tanah Batak sudah sejak lama ajaran Hindu-Buddha masuk dan
mempengaruhi tata hidup masyarakat Batak. Dalam studi ini dijelaskan tiga
faktor yang menyebabkan surutnya pengaruh Hindu-Buddha di Tanah Batak: (i)
Akibat runtuhnya kerajaan Sriwijaya. (ii) Sifat eksklusif dari agama
Hindu-Buddha itu sendiri. (iii)
Ditutupnya pelabuhan Barus sehingga pintu keluar dan masuk ke dunia luar
tertutup bagi masyarakat Batak.
Surutnya
pengaruh Hindu-Buddha membantu dan mempermudah masuknya Injil ke Tanah Batak.
Buah peninggalan pemikiran Hindu-Buddha dapat dianggap sebagai “preparatio
evangelica”, sehingga Injil dapat masuk tahun 1861 melalui badan penginjilan
RMG yang mengutus misionaris I.L. Nommensen dan kawan-kawan. Model Kristologi
Nommensen di Huta Dame mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Raja
Pendamai. Kristologinya juga menekankan garis pemisah di antara Injil terhadap
tradisi religi suku Batak. Sementara terhadap adat, Nommensen bersikap
menghargai lebih positif. Setelah jaman Nommensen, kristologi Joh. Warneck pun
tidak jauh berbeda. Bagi Warneck, Yesus Kristus harus menjadi pemenang dan “di
atas” segala ritus religi dan praktek adat Batak. Penulis memposisikan
kristologi Warneck dalam konteks analisis Niebuhr: Pertama, Kristus
dipertentangkan dengan kebudayaan Batak; dan kedua, Kristus di atas kebudayaan
Batak Batak. Belum dicontoh kontekstualisasi seperti yang diupayakan paulus dan
Barnabas yang menanggapi persoalan sunat untuk orang Kristen Bukan Yahudi (bnd.
Kis 15:1-29).
Sementara
model kristologi Gereja Batak masa kini dikaji dari sample konfesi HKBP 1951
dan 1996. Pemilihan sample ini disebabkan kedua konfesi itu masih dipakai resmi
oleh Gereja HKBP, sehingga otoritasnya dianggap syah untuk mencerminkan bentuk
kristologi Gereja Batak masa kini. Dalam konfesi HKBP 1951 pokok kristologi
berada pada pasal 3 bagian b. Isinya memiliki persamaan dengan kristologi
konfesi Augsburg. Persamaan rumusan kristologi konfesisi HKBP 1951 dengan
konfesi Augsburg itu terjadi disebabkan: (i)
konfesi Augsburg dijadikan sebagai “patron” bagi penyusunan konfesi HKBP
1951; (ii) Konsekwensi dari persyaratan yang diharuskan oleh LWF pada saat
menerima HKBP sebagai anggota baru pada tahun 1952. Memang ada tersirat sedikit
upaya kontekstualisasi kristologi yang bersifat kulit luarnya. Misalnya,
melalui penempatan rumusan kristologi itu pada posisi judul “Allah Tritunggal”
yang berarti kristologi konfesi HKBP 1951 menyaksikan dengan kuat ke-Tuhan-an
Yesus Kristus. Kristologi dalam konfesi HKBP 1996 sedikit mendapat refisi.
Dalam konfesi HKBP 1951 judul kristologi disebut “Anak Allah”, sedangkan dalam
konfesi HKBP 1996 disebut “Allah Anak”. Makna refisi itu adalah menekankan
secara tegas keAllahan Yesus Kristus dan kesehakikatan-Nya dengan Allah Bapa.
Jiwa kristologi konfesi HKBP 1996 di kontekstualkan dalam pemikiran Batak dan
isi rumusannya mengadopsi kristologi Gereja mula-mula, seperti model
“Kristologi dari bawah” dan “Kristologi dari atas”.
Terakhir sebagai sumbangan pemikiran melalui penelitian ini adalah
pem-Batak-an Yesus Kristus di mana depan. Pem-Batak-an Yesus Kristus, bukan
menempatkan Kristus di atas Batak, atau menempatkan Kristus di bawah Batak.
Pem-Batak-an Kristus adalah pemaknaan dan buah refleksi-kristologi dari inkarnasi
Kristus terhadap orang Batak (bnd. Flp. 2: 5 - 11). “Pem-Batak-an Kristus”
haruslah : (i) melihat jauh ke depan bagi kebutuhan kristologi yang kontekstual
bagi kekristenan Batak. Pem-Batak-an Kristus bukan hanya persoalan dogmatis,
tetapi mencakup di semua bidang teologi. (ii) Melihat sisi praxis dan bersikap positif, kritis, dan kreatif,
terhadap religi suku serta kebudayaan Batak guna menghidupkan dan
mengembangkannya melalui nilai-nilai hidup kekristenan. Misalnya, lewat liturgi
ibadah, musik gerejawi, arsitektur gereja dan lainnya. Bersikap positif,
artinya kita tidak apriori menolak adat. Kita perlu menerima fungsi yang
positif dari religi suku dan kebudayaan. Kritis, artinya bahwa penerimaan yang
positif itu bukan penerimaan yang membabi-buta. Harus bersikap selektif
mempertimbangkan hal mana yang harus diterima dan ditolak. Sementara sikap
kreatif, artinya kita tidak hanya sekedar mewarisi apa yang sudah ada yang
dinilai baik. Kreatif berarti kesanggupan untuk terus mengubah dan
memperbaharui secara fundamental serta menciptakan sesuatu yang baru dari yang
lama. Tetapa dalam upaya kontekstualisasi kristologi melalui pem-Batak-an Yesus
Kristus haruslah tetap mewaspadai bahaya “sinkretisme”. Akhirnya Pem-Batak-an
Kristus merupakan upaya terus menerus dari masyarakat Kristen Batak, guna
mencapai titik akhir dari perjuangan yang cukup panjang di dalam menghidupkan
nilai-nilai kebudayaan Batak melalui kekristenan. Pem-Batak-an Kristus adalah
perwujudan kristologi kontekstual bagi masyarakat Kristen Batak di masa depan.
Comments
Post a Comment