Skip to main content

(LXXIX. MENGENAL PDT. DR. S.A.E. NABABAN & PEMIKIRAN TEOLOGINYA)


MENGENAL PDT. DR. S.A.E. NABABAN & PEMIKIRAN TEOLOGINYA



I.  Biografi Penulis

Pdt. Dr. Soritua A. E. Nababan adalah seorang pendeta dan tokoh gereja di Indonesia. Nababan dilahirkan pada tahun 1933. Ia menempuh pendidikannya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan lulus pada 1956 dengan gelar Sarjana Theologia. Ia mendapat beasiswa dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Heidelberg dan lulus dengan gelar Doktor Theologia pada 1963. Pada 1987-1998, ia menjabat sebagai Ephorus (uskup) Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sebuah gereja besar di Indonesia. Pdt. Dr. SAE Nababan pernah melayani sebagai pendeta pemuda pertama HKBP (1956-1957), anggota Majelis Pusat HKBP (1968-1987). Menjadi Vice Moderator Komite Sentral DGD (1991-1998) dan Moderator UEM pertama (1993-2000) dan sejak Februari 2006 terpilih menjadi Presiden DGD sampai tahun 2013.[1] Jabatan-jabatan lain yang pernah dipegangnya adalah Sekretaris Umum Persekutuan gereja-gereja di Indonesia pada 1967-1984 dan kemudian Ketua Umum dari lembaga yang sama pada 1984-1987.

Nababan banyak terlibat dalam organisasi gereja ditingkat dunia. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Pemuda Dewan Gereja-gereja Asia (1963-1967) dan belakangan Presiden dari lembaga yang sama (1990-1995), Wakil Ketua dari Komite Sentral Dewan Gereja-gereja se-Dunia (1983-1998), Wakil Presiden Federasi Lutheran se-Dunia dan anggota Komite Eksekutif dari lembaga yang sama. Nababan juga menjabat sebagai Ketua pertama dari Vereinte Evangelische Mission (United Evangelical Mission), sebuah lembaga misi Internasional yang terdiri atas 34 gereja anggota yang tersebar di Afrika, Asia, dan Jerman. Dalam Sidang Raya ke-9 Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Porto Alegre, Brasil pada tahun 2006, Nababan terpilih menjadi salah seorang Presiden dari lembaga persekutuan gereja-gereja se-dunia itu yang beranggotakan gereja-gereja Protestan dan Ortodoks.[2]



II. Isi

            Banyak pemikiran teologis yang disampaikan oleh Pdt. Dr. S. A. E. Nababan, diantaranya adalah bagaimana beliau memandang kemiskinan (dalam bukunya “Iman dan Kemiskinan: pengertian Kristen tentang kemiskinan”) sehingga melaluinya beliau mencetuskan suatu teologi, yaitu teologi keseimbangan, yang memperjuangkan keseimbangan antara orang kaya dan orang miskin dan bagaimana upaya untuk memerangi kemiskinan. Beliau juga memandang gereja-gereja dalam hubungannya dengan gerakan oikumene di Indonesia dan Dunia dalam Konteks Pekabaran Injil (disunting oleh Pdt. Dr. J. Boangmanalu). Dalam hal inilah kelompok menyoroti tentang kedua gagasan tersebut yang dilihat dalam konteks Asia, khususnya Indonesia.


2. 1. Iman dan Kemiskinan

2.1. 1. Inti Persoalan[3]

Salah satu pertanyaan yang hangat dan aktual dikalangan orang-orang Kristen dari bangsa-bangsa yang baru timbul adalah hubungan kepercayaan (iman) dan kemajuan. Apakah pengertian Kristen tentang kesejahteraan ekonomi? Apakah hubungan iman dengan kekayaan dan kemiskinan? Apakah ada pengertian Kitab Suci tentang kemiskinan? Diantara mereka ada yang memandang kekayaan sebagai yang jahat, dan percaya bahwa segala nilai-nilai materiil bertentangan dengan nilai-nilai kerohanian. Banyak yang percaya bahwa kemiskinan adalah kemauan Tuhan dan lebih disukai. Di antara mereka percaya bahwa kerohanian tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kebendaan. Apa dan bagaimana dia mendapatkannya, tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan hidup rohaniah yang umumnya terbatas hanya kepada hari-hari Minggu. Tetapi jika nasib menjadi buruk, jika malapetaka datang menimpa, maka mulailah orang berpikir, apakah tidak ada sesuatu yang kurang dalam hidup rohaniah itu. Lalu kemiskinan dipandang sebagai suatu kutuk, sebagai pembalasan Ilahi.

            Falsafah ini mengakui adanya dua macam hidup yang tak dapat dielakkan, yaitu hidup kerohanian dan hidup sehari-hari. Hubungan yang khas antara kedua hidup ini biasanya tinggal kabur, dan hanya terang pada waktu kesusahan. Ada juga yang memandang kesejahteraan dan kekayaan sebagai tujuan hidup. Orang harus berjuang untuk hidup dan untuk kekayaan, dan musuh yang paling berbahaya dalam perjuangan ini adalah kemiskinan. Sudah diproklamasikan bahwa tiap orang mempunyai hak dan kesempatan mencapai dan menikmati hidup yang baik, dan realisasi proklamasi itu masih merupakan impian.

            Dalam hubungannya dengan soal rohaniah, ada dua keyakinan umum: a) menyambut baik nilai keagamaan sebagai suatu unsur pembantu di mana agama membantu dan berdoa untuk kesejahteraan, tetapi terdapat pula pendapat bahwa peranan satu-satunya dari kerohanian dan agama adalah pemberkatan saja, b) memandang tiap nilai rohaniah sebagai tahayul, sebagai obat bius, musuh terbesar dari tiap usaha untuk mencapai hidup yang lebih baik. Sikap ini muncul dari mereka yang mengajarkan bahwa kemiskinan itu adalah kehendak Tuhan dan kemiskinan itu jauh lebih disukai oleh Tuhan daripada kekayaan dan hanya memusatkan hati sanubarinya ke “surga”. Oleh sebab itu tidak mengherankan, kalau mereka ini membenci agama pada prinsip dan prakteknya.

            Persoalan ini menuntut pemikiran yang mendalam di Indonesia. Karena kita berada di dalam masa revolusi dan pembangunan negara dan bangsa (nation building), di mana orang-orang Kristen wajib menggali Firman Allah untuk mencari jalan yang konkrit dalam mencapai dan merealisasikan sila “Keadilan Sosial”, sehingga tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka dan bagaimana hubungan iman dengan kemiskinan itu. 

2.1. 2. Sebab Musabab Kemiskinan[4]

Apakah yang dikatakan Kitab Suci tentang sebab musabab kemiskinan itu? Dalam Perjanjian Lama dikatakan sangat murah hati dan realistis dalam menguraikan sebab musabab ini, antara lain:

1.      Kemiskinan adalah akibat dari kemalasan, keusangan dan gelandangan, (Ams. 6:9-11; 24:30-34; 19:15). Pengalaman hidup manusia telah melahirkan Amsal ini dengan pengertian “orang malas suka menghabiskan waktunya di atas tempat tidur, pasti tidak akan sempat bekerja mencari nafka, akibatnya ialah kemiskinan dan kepapaan yang tak terelakkan”.

2.      Kemiskinan adalah juga akibat dari pemabukan dan kerakusan. Pemabukan dan kelahapan akan mengakibatkan orang mengantuk, dan oleh sebab itu tidak mungkin lagi bekerja (Amsal 23:20; 21). Hidup mewah melimpah-limpah juga mengakibatkan kemiskinan, sebab waktunya dan hartanya akan dihabiskan dalam pesta-pesta dengan penghamburan makanan dan minuman (Amsal 21:17). Orang bodoh dan keras kepala yang menolak pengajaran itu, akan menderita kemiskinan dan kepapaan (Amsal 13:18; 28:19). Oleh karena itu yang menyebabkan kemiskinan dan kepapaan itu adalah manusia sendiri.

3.      Di dalam hubungan manusia dengan manusia, terutama antara orang yang kaya dan berkuasa disatu pihak dan orang yang sederhana dan jelata di lain pihak yang tak mempunyai hak-hak minimal hidup. Penyebab kemiskinan itu adalah: keserakahan, kelobaan dan kekikiran. Keserakahan ini biasanya berbentuk penekanan, pemerasan, dan penghisapan manusia oleh manusia sendiri (exploitation de I’homme par I’homme). Penghisapan semacam ini mempunyai akibat yang langsung dan lebih membahayakan kepada sesama manusia dan juga kepada masyarakat dalam hidup sosial ekonominya (2 Sam. 11, 12 band. Yer 22:13).

4.      Di dalam hubungan bangsa dengan bangsa, khusus antara satu bangsa yang besar dan kuat disatu pihak dan bangsa yang kecil dan lemah di lain pihak, terdapat juga unsur yang mengakibatkan kemiskinan, yaitu: penjajahan, tekanan dan pemerasan bangsa yang kecil dan lemah itu oleh bangsa yang besar dan kuat (Kel. 1), di mana bangsa Israel diperbudak oleh bangsa Mesir. Dan unsur ketidakadilan kemerdekaan politik inilah unsur utama yang menyebabkan kemiskinan orang Israel di Mesir. Akibat penjajahan ini juga adalah kemiskinan. Selama satu bangsa mengintai dan mencoba mengisap bangsa lain, selama itu kesejahteraan sosial tidak akan mungkin terealisasi di antara bangsa-bangsa dan selama itu juga kemiskinan akan selalu ada.

5.      Kemiskinan juga disebabkan oleh malapetaka, bencana alam, wabah, perang dan penyakit menular sehingga sikorban tidak dapat berbuat apa-apa (Kel. 10:4-5).



2. 1. 3. Apakah Kemiskinan Dikehendaki Tuhan?[5]

Anggapan bahwa kemiskinan dikehendaki Tuhan memang tersebar luas. Dan berbagai orang masih berpendapat bahwa miskin adalah “kebangkitan Kristen” yang paling luhur, suatu bukti yang nantinya menjadi pertimbangan bagi Tuhan. Ada tiga nas Alkitab yang biasa dikutip tanpa memperhatikan keseluruhannya, yang seolah-olah kemiskinan itu dikehendaki Tuhan, yaitu:

1.      “Tuhan jua yang menjadikan miskin dan yang menjadikan kaya”, (1 Sam. 2:7a band. 1, 2). Ayat ini menyatakan kemiskinan telah ditentukan Tuhan terlebih dahulu. Namun dalam hubungannya secara keseluruhannya akan menunjukkan bahwa titik pusat dari Mazmur yang dikutip Hanna dalam doanya ini adalah perhatian yang adil dari Tuhan terhadap semua orang. Oleh sebab itulah kita harus memperhatikan ayat yang mengikutinya yang menjelaskan bahwa Tuhan tidak menghendaki kemiskinan, tetapi Dia dapat membuat orang menjadi miskin dan kaya.

2.      “Telanjang aku keluar dari rahim ibuku, telanjang aku akan kembali kepadanya (Ayub 1:21)”. Ada 2 hal penting yang harus diperhatikan dalam penafsiran ayat ini. Pertama ayat 1a, mencatat dalam permulaan kisah ini, bahwa Ayub adalah orang yang tulus hatinya, takut akan Allah dan dijauhkannya dirinya daripada yang jahat (ayat 8 dan 2:3). Kedua, sesudah malapetaka menghinggapi Ayub, dicatat bahwa Ayub tiada berdosa dan tidak sesuatu pun yang tidak baik dikatakannya tentang Allah (ayat 22). Dari dua hal tersebut nyata bahwa: a). baik dalam kekayaan yang berlimpah-limpah maupun dalam kemiskinan, Tuhanlah yang mempunyai hak mutlak atas segala yang dimiliki oleh manusia. b). ucapan Ayub bukanlah suatu penyerahan pada nasib melainkan pengakuan dan pernyataan kepercayaan.

3.      “Orang kaya dan orang miskin bertemu seorang dengan seorang, maka telah dijadikan Tuhan akan mereka itu sekalian (Amsal 22:2)”. Kaya miskin yang dimaksud adalah keseluruhan umat manusia.


2. 1. 4. Perhatian dan Pemeliharaan terhadap Orang Miskin[6]

Orang-orang miskin mendapat perhatian dan pemeliharaan khusus dari Allah. Di dalam kitab Mazmur berulang-ulang dikatakan bahwa Allah tidak akan melupakan mereka (Mzm. 10:12). Allah mendengar jeritan orang-orang miskin, dan memberikan pertolongan yang berlimpah-limpah (Mzm. 34:6 band. 1 Sam. 2:8). Tidak hanya keperluan sementara atau keperluan sandang-pangan saja, tetapi dalam bidang keadilan sosial-ekonomi orang-orang miskin juga diperhatikan (Ul. 10; Yes, 25:4, 5; Im.19:15; Kel. 23:3).

            Perhatian Allah terhadap kaum miskin ini juga tampak dalam hidup dan pekerjaan Yesus. Ia mempunyai perhatian dan melakukan pemeliharaan terhadap orang-orang miskin sebagaimana dilakukan orang-orang saleh pada waktu itu (Mat. 19:21; Mark. 10:21; Luk. 18:22; Luk. 4:17-19; Yes. 61:1-2). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seluruh khotbah dan perbuatan Yesus bertujuan untuk mengangkat kaum miskin, yang terlantar dan teraniaya agar mereka menjadi manusia kembali dihadapan Tuhan. Di sini kaum miskin tidak dipandang sebagai kaum yang miskin materiilnya saja, tetapi dalam status keseluruhanya sebagai manusia.


2. 1. 5. Siapakah Kaum Miskin itu?[7]

Kebanyakan pasal-pasal Kitab Suci mengatakan bahwa kaum miskin adalah mereka yang betul-betul berada dalam kekurangan, kemelaratan, dan kesengsaraan. Milik mereka telah dirampas, mereka lapar, haus, tak mempunyai tempat berteduh, tertindas, diperas dan diburu-buru: mereka kehilangan unsur-unsur minimal hidup. Dalam kitab Mazmur bahwa miskin itu selalu menunjukkan kemelaratan yang sungguh-sungguh. Oleh sebab itulah kemiskinan menjadi suatu istilah agama. Di dalam Hellenisasi yang makin meluas di tengah-tengah bangsa Yahudi dengan perubahan sosial ekonomi kaum agama mengalami kenyataan pahit dari noda tak bertuhan yang diakibatkan oleh pengejaran harta benda yang tak kenal peri kemanusiaan. Dan kemiskinan adalah biasanya nasib mereka yang patuh terhadap hukum Taurat. Oleh karena itulah nasib kaum miskin diartikan sebagai “nasib khas” dari orang saleh. Dengan demikian arti miskin lambat laun menjadi saleh dan adil. Oleh sebab itulah sebelum dan sesudah zaman Yesus banyak orang yang mengatakan dirinya miskin untuk membedakannya dari orang yang tak bertuhan dan najis, namun ini salah dalam pandangan Yesus.


2. 1. 6. “Berbahagialah Orang Miskin!”[8]

Khotbah di bukit memiliki pengaruh yang penting untuk menerapkannya dalam kehidupan. Ada dua hal penting yang hendak diketahui: siapakah kaum miskin dalam khotbah di bukit itu? Dan mengapa mereka berbahagia?

·         Kata Yunani yang digunakan untuk miskin adalah ptochos, yang melukiskan kemiskinan yang sehina-hinanya. Maka ptochos dalam Mat. 5:3 melukiskan orang yang betul-betul miskin dan menderita, dan karena menyadari kesengsaraannya sendiri yang sungguh tidak kepalang, dia mempertanyakan seluruh jiwa raganya pada Tuhan. Yesus tidak pernah menyambut baik keadaan di mana orang hidup dalam kesengsaraan dan tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan dan diminum, dan di mana kesehatan sangat buruk. Pada hakekatnya Yesus datang untuk melenyapkan segala penyakit itu (Luk. 4:17).

·         Bila kemiskinan tidak diberkati sebagai kemiskinan, apakah ini berarti, bahwa kemiskinan jiwa yang dimaksud? Oleh karena itulah dikatakan: berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan Allah (Luk 6:20; Mat. 5:3). Oleh karena itulah Yesus menunjukkan khotbah bukan pada golongan-golongan orang miskin yang mengaku dirinya saleh dan mencoba memperoleh kesenangan Tuhan, dan tidak pula pada mereka yang menciptakan kebajikan dan kekurangan dan kebutuhan. Kaum miskin adalah mereka yang tidak mempunyai apa-apa di dunia ini dan tidak mengharapkan apa-apa dari dunia, tetapi yang mengharapkan segala-galanya dari Tuhan.

·         Apakah arti pemberkatan ini? Khotbah di bukit bukanlah suatu perumpamaan, tetapi khotbah itu adalah suatu panggilan, suatu seruan dan suatu janji. Artinya adalah Tuhan menanti di seberang tepi dan batas dunia, bahkan tidak hanya kaum miskin, tetapi menyongsong mereka dan bertemu dengan mereka itu di tepi pinggir dunia. Kerajaan Tuhan datang kepada mereka.

·         Apakah Mat. 5:3 sama dengan Luk. 6:20? “Berbahagialah kamu, hai kaum miskin! Berbahagialah kamu yang lapar!” menurut Lukas bahwa ini semacam spekulasi. Dan bantahannya juga sederhana: “celakalah kamu yang kaya! Celakalah kamu yang kenyang sekarang (6:20, 21, 24, 24)”. Apakah versi Lukas ditingkatkan lebih tinggi dari versi Matius atau sebaliknya? Oleh karena itu dijelaskan bahwa kedua ayat itu menunjukkan bahwa satupun tidak tepat dan tidaklah sejajar. Karena setiap Injil tidak membenarkan kepapaan atau penolakan sukarela apakah itu bersifat agama, politis, sosial ekonomi, kecuali demi panggilan Yesus. Karena hanya Yesus lah yang dapat menjadikan berbahagia orang-orang yang dipanggilnya.


2. 1. 7. Amanat Khotbah di Bukit dan Usaha Melawan Kemiskinan[9]

Pada zaman sekarang terdapat idiologi yang langsung mengalamatkan seruannya kepada orang-orang yang tertindas dan bangsa-bangsa yang terjajah. Di Indonesia kesadaran akan Amanat Penderitaan Rakyat membuka mata umum kepada tugas yang baru untuk memperbaiki kehidupan rakyat umum. Amanat Penderitaan Rakyat ini adalah satu alasan yang penting yang dapat dibenarkan untuk menguasai kepapaan dan penderitaan kaum miskin sehingga memerlukan perubahan yang revolusioner dari segala nilai. Semboyan adalah: Umwertung aller Werte (perombakan segala nilai). Untuk itulah tidak heran jika banyak orang Kristen mengambil bagian dalam revolusi nasionalnya di Asia dari khotbah di bukit. Mereka menganggap bahwa Yesus telah datang sebagai revolusioner, yang memihak kepada kaum miskin. Dan ini menggambarkan Yesus sebagai tokoh revolusioner. Namun kita harus mengerti bahwa tujuan khotbah di bukit adalah memanggil semua mereka yang mendengar panggilan Yesus untuk mengambil keputusan dan menerima keselamatan. Manusia diperhadapkan pada satu pilihan: mengikut Yesus dengan bersedia mengorbankan jiwa raga atau menolak Dia, yang menentukan dan yang mendesak bagi Yesus adalah letak hubungan yang sebenarnya antara Allah dan ciptaanNya dan hubungan antar sesama manusia.

2. 1. 8. Kemiskinan Sukarela sebagai Kebajikan[10]

Kebajikan adalah hasil atau buah bukan jasa, pemberian dan bukan sebab, kebajikan memang adalah buah iman yang tidak dapat disisihkan. Kebajikan adalah keutamaan dalam kehidupan mereka yang diberikan hak istimewa untuk tidak hanya percaya kepada Yesus tetapi turut menderita dengan Dia (Pil. 1:29). Oleh karena itulah kita dapat mengerti kemiskinan sukarela itu adalah suatu kebajikan, contoh: 1) kesaksian kehidupan Yesus. Kemiskinan Yesus sangatlah luar biasa sehingga Ia meresap sampai ke dasar kehidupan insani manusia, yaitu: salib. Kemiskinan Yesus ini adalah suatu tindakan kasih dan jalan untuk menyelamatkan manusia, 2) dalam hidup keduabelas murid-murid Yesus. Keduabelas murid Yesus telah mengikuti Yesus dan mereka meninggalkan segala sesuatu yang mereka miliki, dan menjadi sahabat Yesus. Dan upah mereka telah dijanjikan oleh Dia yang memanggil mereka, 3) cerita pemuda kaya yang terpanggil, tetapi yang menolak panggilan Yesus demi harta bendanya (Mat. 19: 16-21). Dalam cerita ini, kita mendapati suatu contoh dari pengajaran kesempurnahan hidup dan sekaligus tuntutan terkenal untuk merangkul kemiskinan sebagai jalan untuk mengikut Yesus.


2. 1. 9. Iman dan Masalah Sandang pangan[11]

“Manusia adalah apa yang dimakannya” sebuah filsafat yang memberikan prakarsa pada ajaran-ajaran materialisme yang akhirnya dikembangkan oleh Marx dan Engels khusus dibidang ekonomi dan kemasyarakatan. Manusia harus makan agar bisa hidup. Namun menurut iman Kristen bahwa Allah lah yang memberikan makanan kepada manusia itu. Ada dua pola pemikiran yang umum tentang masalah sandang-pangan ini dalam hubungannya dengan iman: ada yang berpendapat bahwa kehidupan yang diberitakan dalam Injil Kristus adalah “kehidupan kerohanian” yang menjadi benteng yang teguh, tempat peristirahatan dan tempat mengambil tenaga baru, yang dikunjungi orang sesudah kerepotan dan kesibukan kehidupan sehari-hari. Singkatnya santapan rohani ini akan menolong manusia untuk mengagumkan  hati dan pkirannya. Santapan rohani itu adalah bekal untuk menghadapi hidup keduniawian dengan segala kepahitannya. Dengan bekal ini manusia akan lebih dapat hidup beragama. Pendapat lain berpusat pada pengertian kebalikan dari pola pemikiran yang pertama. Dan biasanya pemikiran ini didasarkan pada ungkapan Yesus: “Aku inilah roti yang hidup…(Yoh. 6:51)”. Bagi mereka untuk kehidupan dunia ini berarti untuk kehidupan dunia ini yang lebih baik, yang lebih makmur dan penuh dengan kesejahteraan. Nada pemikiran di sini adalah perbuatan dan kegiatan. Tugas utama adalah memacu kehidupan dunia yang telah terlepas dan larut itu, ada aksi, kegiatan, aksi juga. Atau dengan kata lain: seseorang makan dan minum, berjuang untuk kemerdekaan, keadilan sosial, kebebasan agama, perikemanusiaan, agar dapat hidup sejahtera. Oleh karena itulah dalam Kitab Suci dikatakan bahwa makanan dan dunia ini telah diberikan Allah kepada manusia. Ini menunjukkan sebagai persekutuan manusia dengan Allah agar manusia mengenal Allah.


2. 1. 10. Iman dan Sila “Keadilan Sosial”[12]

Salah satu tujuan Negara kita adalah kemakmuran dan kesejahteraan. Orang Kristen menyambut prinsip ini karena prinsip ini menuju penghapusan kemiskinan dan membangun kesejahteraan bangsa dan negara dan setiap warga negara. Pandangan Kristen tentang sila ini adalah bahwa sumber dan jaminan tertinggi dari keadilan sosial bukanlah dalam manusia itu sendiri, tetapi ditangan Tuhan, oleh karena itu perlu keinsyafan dan kesadaran orang-orang yang bertugas melaksanakan keadilan sosial itu secara langsung maupun tidak langsung, sehingga setiap warga negara memliki tanggung jawab kepada masyarakat seluruhnya.



2. 2. Pergerakan Oikumene di Indonesia dan Dunia dalam Konteks

Pekabaran Injil[13]

Pergerakan oikumene di Indonesia jelas diilhami dan didorong oleh pergerakan oikumene internasional, secara khusus oleh gerakan oikumene sedunia yang disebut Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD atau World Council of Churces, 1948) di Amsterdam, dengan tujuan utamanya adalah “saling memanggil mengusahakan keesaan yang kelihatan (visible unity) dalam satu iman dan dalam satu persekutuan Perjamuan Kudus, yang dinyatakan dalam kebaktian dan hidup bersama dalam Kristus, melalui kesaksian dan pelayanan kepada dunia ini, dan menampakkan keesaan itu agar dunia percaya”. Dan di Indonesia disebut PGI yang dibentuk pada bulan Mei 1950 di Jakarta, dengan tujuan yaitu “mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia”. Ada beberapa gerakan yang mendorong pembentukan DGD, diantaranya adalah:

  1. Gerakan yang mengusahakan perdamaian dan keadilan antar-bangsa (Life and Work). Tujuannya adalah merumuskan program-program dan menggali dana serta persaudaraan semua bangsa oleh Gereja Kristus. Gerakan ini sadar bahwa dunia terlalu kuat untuk dihadapi gereja yang terpecah-belah. Oleh sebab itulah gereja-gereja perlu bersatu.
  2. Gerakan Iman dan Tata Gereja (Faith and Order) yang melayani gereja-gereja dengan membimbing mereka memasuki dialog-teologis sebagai cara untuk mengatasi penghalang-penghalang dan membuka jalan-jalan yang mungkin ditempuh untuk menyatakan ke-esa-an gereja yang telah diberikan di dalam Yesus Kristus.
  3. Dewan Missionaris Internasional (International Missionary Council), yaitu gabungan badan-badan dan yayasan-yayasan pekabaran Injil yang berdiri sendiri di luar lembaga gereja, yang terutama sejak akhir abad ke-18 yang sangat aktif mengabarkan Injil di seluruh dunia dan melahirkan banyak gereja-gereja baru.

Adapun dasar pendorong gerakan oikumene ini adalah Yohanes 17:21: supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita. Bila kita mendalami Yoh. 17:21 ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan apabila kita berbicara tentang keesaan gereja, diantaranya:[14]

  1. Supaya mereka menjadi satu adalah bagian dari doa Yesus. Doa ini pasti digenapi, yaitu mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.
  2. Permohonan Yesus agar Bapa “memelihara mereka dalam namaMu”, dengan tujuan supaya mereka menjadi satu. Jadi masalah keesaan gereja tidaklah hanya urusan manusia, tetapi ini adalah pertama-tama urusan Allah.
  3. Kata “semua” (omnes) mencakup semua yang percaya dan yang akan percaya kelak, tanpa kecuali. Oleh karena itulah gerakan oikumene harus terbuka dan tidak boleh dibatasi oleh doktrin, suku, ras, tradisi, sejarah, keadaan dan aliran, sampai semua menjadi satu.
  4. Kesatuan yang dimaksud bukan hanya kesatuan organisatoris, administrative atau institusional, melainkan kesatuan yang pada hakikatnya adalah misterium, yang tidak akan bisa sepenuhnya dijelaskan oleh budi manusia.
  5. Perlengkapan yang diberikan Yesus untuk memungkinkan kesatuan itu adalah “kemuliaan” (doxa), yang diberikan untuk mempersatukan.
  6. Tujuan dari gerakan “supaya semua menjadi satu” adalah agar dunia percaya, bahwa Allah-lah yang mengutus Yesus Kristus ke dunia ini. Oleh sebab itu dimensi kesaksian sangat menentukan dan pemberitaan Injil adalah akibat dari proses menjadi satu.
  7. Proses kesatuan ini mempunyai dimensi rangkap: kesatuan orang-orang percaya serta kesatuan orang-orang percaya ke dalam kesatuan Bapa dan Anak yang diikat oleh kasih.

Pesan Sidang Raya DGI 1971 di Pematangsiantar mengatakan: “Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaharuan yang tersedia bagi manusia (Mark. 1:15), serta kebebasan dan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Luk. 4: 18-21)”. Sekarang, dalam abad ke-21 ini, kita tidak lagi mempertanyakan apakah kita perlu bersatu atas dasar apa, atau apakah gereja harus mengabarkan Injil. Pertanyaan yang dihadapi gereja-gereja kita masa kini adalah bagaimanakah kita sebaiknya mengungkapkan keesaan kita di dalam Kristus sekaligus bagaimanakah gereja-gereja melengkapi seluruh warganya agar menjadi saksi-saksi Kristus di tengah masyarakat majemuk, yang hidup dalam era globalisasi dan zaman reformasi masa kini. Tantangan konkrit yang dihadapi jemaat adalah masyarakat yang kuat dikuasai oleh roh materialisme (uang dan ilah) dalam segala bidang dan roh konsumerisme dan rasa kekawatiran akan dihalangi dalam beribadah atau dicegah membangun rumah ibadah, bahkan pengrusakan dan pembakaran yang makin merambah. Ini adalah masalah yang sering dihadapi oleh jemaat dan di sinilah kita sebagai Gereja yang berdiri di atas dasar Yesus Kristus harus bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan bersama dengan memulai membangun kepedulian terhadap jemaat-jemaat dan tidak hanya itu tetapi juga terhadap penduduk sekitar, terutama dalam kemiskinan dan penderitaan mereka.[15]



III. Tanggapan Teologis

Setelah membaca buku “Iman dan Kemiskinan” ini, maka dapat dilihat bahwa kemiskinan merupakan suatu kondisi yang perlu mendapat perhatian yang penting. Masalah kaya dan miskin khususnya yang dipaparkan dalam konteks Indonesia digumuli dengan bermacam-macam cara. Dan Pdt. Dr. SAE Nababan mengajukan teologi keseimbangan, yang memperjuangkan keseimbangan antara orang kaya dan orang miskin berdasarkan tafsiran 2 Korintus 8: 13-15; Mat. 5:3; dan Luk. 6:20-26.[16] Di sini dapat dilihat bahwa dalam memerangi kemiskinan tidak hanya dibutuhkan suatu refleksi, tetapi keseimbangan antara aksi dan refleksi atau perbuatan dan kegiatan untuk mewujudkan keadilan sosial. Dan ini sangatlah relevan hingga sekarang, karena perjuangan melawan kemiskinan dan usaha untuk mempertinggi taraf kehidupan masih sedang berjalan. Karena selama dunia ini ada, selama itu juga kemiskinan tak dapat dikikis habis dari permukaan bumi.

Salah satu cara mewujudkan keadilan sosial itu adalah menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab besar bagi setiap individu, masyarakat, penguasa maupun pemimpin negara. Karena kesadaran akan kepedulian untuk berbagi dengan sesama mulai berkurang. Dan rasa tanggung jawab akan kepentingan umum terhapuskan, sehingga orang tidak lagi mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dalam konteks masyarakat sekarang di zaman era globalisasi masyarakat sangat dikuasai oleh roh materialisme dan roh konsumerisme. Inilah yang menimbulkan sikap egoisme yang berlebihan dan menimbulkan “kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin”. Untuk itu pemikiran (teologi keseimbangan) ini harus diterapkan dalam kehidupan umat Allah. Karena ini merupakan salah satu perwujudan Tahun Yobel atau tahun Rahmat Tuhan dalam Perjanjian Lama. Dengan demikian Yesus menghubungkan peranan MesiasnikNya pada Tahun Yobel Ibrani.

Pada hakikatnya, khotbah Yesus adalah sebuah pemberitaan atas Tahun Yobel.[17] Prinsip-prinsip Tahun Yobel ini menyoroti visi ilah untuk mengatasi persoalan ketidakadilan sosial yang kuno, sehingga mewujudkan keadilan terhadap kemerdekaan dan pembebasan Allah yang penuh anugerah terhadap kaum miskin, tertindas, kaum yang tersingkir yang ditindas. Yesus tidak mengutuk harta milik pribadi. Ia juga tidak mengatakan bahwa pada dasarnya materi itu jahat. Akan tetapi, Ia mengingatkan akan bahayanya. Di sinilah orang miskin mendapat sambutan yang tidak bersyarat dan Yesus menawarkan kabar baik kepada yang miskin. Inilah fungsi gereja dalam gerakan oikumene yang dikembangkan saat ini. Gereja harus bersatu padu untuk membantu jemaat-jemaat yang membutuhkan dan tidak hanya itu saja, pelayanan dan pekabaran Injil itu juga harus diberikan kepada mereka yang belum mengenal Kristus. Karena mereka adalah orang-orang yang boleh dikatakan miskin. Dan orang miskin akan memahami ketergantungan, kesederhanaan dan kerjasama. Mereka tahu akan perbedaan dan kemewahan. Oleh karena itu lebih sedikit ikatan pada diri mereka, mereka lebih dapat meninggalkan segala sesuatu bagi kerajaan. Tidak banyak yang harus mereka lupakan. Mereka tinggal berjalan masuk dan penuh syukur. Mereka tahu apa artinya diampuni. Sedangkan yang tinggi hati, angkuh, dan kaya akan sulit membungkuk dengan kerendahan hati di pintu kerajaan, mengakui ketergantungan mereka kepada Allah.

Oleh karena itu Yesus menawarkan kabar baik kepada yang miskin. Kemiskinan mereka bukanlah tanda penolakan ilahi atas mereka. Ia menunjukkan keselamatan dengan mengubah mereka yang miskin. Orang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang tuli mendengar, penderita kusta ditahirkan, dan yang tertindas dibebaskan. Ini menunjukkan Allah menyambut orang miskin melalui Yesus Kristus. Mereka memang orang-orang terbuang dari masyarakat, namun di hadapan Allah, tidak. Kemiskinan mereka bukan lagi kutukan ilahi. Mereka sama disambut dalam kerajaan sebagaimana layaknya orang lain. Untuk itulah gereja memiliki peran yang sangat penting. Gereja tidak hanya memikirkan bagaimana struktur gereja, keuangan, bentuk bangunan, corak bangunan dari suatu gereja saja. Tetapi gereja dalam suatu persekutuannya harus juga memikirkan bagaimana keadaan atau kondisi jemaatnya secara menyeluruh. Itulah makna persekutuan di dalam Yesus Kristus. Karena di dalamnya terjalin keakraban, persaudaraan dalam warna kepedulian kepada sesamanya. Tidaklah heran jika dikatakan bahwa gereja yang adalah tubuh Kristus itu harus berperan dalam menangani kemiskinan yang berada di tengah-tengah jemaatnya. Gereja harus kembali kepada posisinya dan berfungsi sebagai persekutuan orang percaya, sebagai agen pembaharu dari kerajaan Allah yang mengemban tugas pembaharu dunia, manusia, struktur, dan sistemnya. Inilah yang harus diketahui oleh setiap pelayan gereja. Karena itu seorang pelayan haruslah siap mengemban tugas dan haruslah bertanggung jawab akan tugas yang diembankan oleh Tuhan Yesus kepadanya untuk menggembalakan umatNya, sehingga jemaat yang percaya tidak lagi dikatakan miskin, tetapi jemaat yang memiliki visi dan misi yang baik dengan rasa kepedulian dan keberbagian terhadap sesama manusia. Tidak hanya kepada orang percaya saja, tetapi juga kepada mereka yang masih belum percaya. Oleh karena itu kesadaran dan kepekaan inilah yang harus kembali ditinjau oleh para pelayan atau hamba-hamba Tuhan agar tujuan gerakan oikumene itu dapat diwujudkan dan sila “Keadilan Sosial” dapat tercapai.  



IV. Kesimpulan dan Saran  

4. 1. Kesimpulan

  1. Miskin dalam konteks Alkitab mengandung pengertian: kemiskinan materi, yang meliputi kehidupan melarat, papa dengan makanan, perumahan, dan pakaian yang sangat kurang; mereka yang tertindas, mereka yang terbuang, ditawan, para budak, yang sakit, yang hina, dan yang terbuang; dan mereka yang rendah hati yang miskin di hadapan Allah.
  2. Penyebab kemiskinan itu adalah manusia itu sendiri, karena mereka memiliki sifat yang malas, pemabuk, rakus, keserakahan, kelobaan, dan kekikiran.
  3. Makanan dan dunia ini telah diberikan Allah kepada manusia dengan satu sifat, yaitu: sebagai persekutuan manusia dengan Allah. Tujuannya adalah agar manusia mengenal Allah.
  4. Melalui gerakan oikumene ini, kita juga bertanggung jawab dalam usaha membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh keterbelakagan dan kemiskinan, penyakit, dan ketakutan. Kita terpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan semua manusia baik jasmani maupun rohani, dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

4. 2. Saran

Sebaiknya buku ini diperbaharui, karena penulisan dan bahasa Indonesianya masih zaman dulu sehingga sulit dipahami. Dan sebaiknya buku ini dibaca oleh semua pihak, karena buku ini dapat menambah wawasan kita dan meningkatkan kembali rasa kepedulian dan kepekaan kita terhadap kaum lemah atau miskin.





[1] J. Bongmanalu, Praeses Pdt. Cyrellus Simanjuntak: Pendidik, Missionaris, dan Motivator (catatan kaki) Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008, 225.

2Redaksi Sinar Indonesia Baru, Pdt Dr. SAE Nababan LLD Terpilih Menjadi Presiden Dewan Gereja-gereja se-Dunia, Friday, 24 February 2006.

[3] Soritua A. E. Nababan, Iman dan Kemiskinan, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1966, 5-8.
[4] Ibid., hlm., 8-11
[5] Ibid., hlm., 11-14
[6] Ibid., hlm., 14-20
[7] Ibid., hlm., 20-23
[8] Ibid., hlm., 23-28
[9] Ibid., hlm., 28-31
[10] Ibid., hlm., 31-38
[11] Ibid., hlm., 38-51
[12] Ibid., hlm., 50-59
[13] Op. Cit., J. Boangmanalu, hlm. 225-228..
[14] Ibid., hlm. 229-230.
[15] Ibid., hlm. 231-235.
[16] Drewes, B. F., dkk, Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam ilmu teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006, 69.
[17] Ada tiga macam guncangan pada tahun ketujuh atau Tahun Sabat, yaitu: tanah diistirahatkan pada tahun ketujuh, hamba-hamba dibebaskan pada tahun ketujuh, utang dihapuskan pada Tahun Sabat, dan pada tahun ke-50 atau Tahun Yobel, hak milik tanah dikembalikan kepada pemilik semula pada awal periode 50 tahun…Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2002, 81-82.

Comments

Popular posts from this blog

(LX. SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP)

SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP  I. Pendahuluan             Baptisan merupakan salah satu sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.             Kata “baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus. [1] Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan Kristus ke dunia. [2] HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samp...

(LXXVI. MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)

MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON   MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA [1] 1. Biografi             Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada 26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.             Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967 dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul Die Konkretisierung ...

(XXXI. TAFSIRAN HISTORIS KRITIS MAZMUR 23:1-6)

Tinjauan Historis Kitab Mazmur 23:1-6 Oleh " Rahman Saputra Tamba " BAB I Pendahuluan             Nama kitab ini dalam LXX adalah Psalmoi [1] . Alkitab bahasa latin memakai nama yang sama. Kata Yunani (dari kata kerja psallo yang artinya “memetik atau mendentingkan”). Mula-mula digunakan untuk permainan alat musik petik atau untuk alat musik itu. Kemudian kata ini menunjukkan nyanyian ( psalmos ) atau kumpulan nyanyian ( psalterion) . [2] Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul Kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah [3] tehillim yang artinya “puji-pujian atau nyanyian pujian”.             Dalam Alkitab Ibrani, Kitab Mazmur terdapat pada awal bagian Kitab-kitab. Para nabi menempatkan sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Da...