MENGENAL PDT. DR. S.A.E. NABABAN & PEMIKIRAN TEOLOGINYA
I. Biografi
Penulis
Pdt. Dr. Soritua A. E. Nababan adalah
seorang pendeta
dan tokoh gereja
di Indonesia .
Nababan dilahirkan pada tahun 1933. Ia menempuh pendidikannya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
dan lulus pada 1956
dengan gelar Sarjana Theologia. Ia mendapat beasiswa
dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Heidelberg dan lulus dengan
gelar Doktor Theologia pada 1963. Pada 1987-1998,
ia menjabat sebagai Ephorus (uskup) Huria Kristen Batak Protestan (HKBP),
sebuah gereja besar di Indonesia .
Pdt. Dr. SAE Nababan pernah melayani sebagai pendeta pemuda pertama HKBP
(1956-1957), anggota Majelis Pusat HKBP (1968-1987). Menjadi Vice Moderator
Komite Sentral DGD (1991-1998) dan Moderator UEM pertama (1993-2000) dan sejak
Februari 2006 terpilih menjadi Presiden DGD sampai tahun 2013.[1] Jabatan-jabatan
lain yang pernah dipegangnya adalah Sekretaris Umum Persekutuan gereja-gereja di Indonesia
pada 1967-1984 dan kemudian Ketua
Umum dari lembaga yang sama pada 1984-1987.
Nababan
banyak terlibat dalam organisasi gereja ditingkat dunia. Ia pernah menjabat
sebagai Sekretaris Pemuda Dewan Gereja-gereja Asia (1963-1967) dan belakangan
Presiden dari lembaga yang sama (1990-1995),
Wakil Ketua dari Komite Sentral Dewan Gereja-gereja se-Dunia (1983-1998), Wakil Presiden Federasi Lutheran se-Dunia dan anggota
Komite Eksekutif dari lembaga yang sama. Nababan juga menjabat sebagai Ketua
pertama dari Vereinte
Evangelische Mission (United Evangelical Mission), sebuah lembaga
misi Internasional yang terdiri atas 34 gereja anggota yang tersebar di Afrika, Asia, dan Jerman. Dalam
Sidang Raya ke-9 Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Porto Alegre,
Brasil
pada tahun 2006,
Nababan terpilih menjadi salah seorang Presiden dari lembaga persekutuan
gereja-gereja se-dunia itu yang beranggotakan gereja-gereja Protestan
dan Ortodoks.[2]
II. Isi
Banyak pemikiran teologis yang
disampaikan oleh Pdt. Dr. S. A. E. Nababan, diantaranya adalah bagaimana beliau
memandang kemiskinan (dalam bukunya “Iman dan Kemiskinan: pengertian Kristen
tentang kemiskinan”) sehingga melaluinya beliau mencetuskan suatu teologi, yaitu
teologi keseimbangan, yang
memperjuangkan keseimbangan antara orang kaya dan orang miskin dan bagaimana
upaya untuk memerangi kemiskinan. Beliau juga memandang gereja-gereja dalam
hubungannya dengan gerakan oikumene di Indonesia
dan Dunia dalam Konteks Pekabaran Injil (disunting oleh Pdt. Dr. J.
Boangmanalu). Dalam hal inilah kelompok menyoroti tentang kedua gagasan
tersebut yang dilihat dalam konteks Asia, khususnya Indonesia .
2. 1. Iman dan Kemiskinan
2.1. 1. Inti Persoalan[3]
Salah satu
pertanyaan yang hangat dan aktual dikalangan orang-orang Kristen dari
bangsa-bangsa yang baru timbul adalah hubungan kepercayaan (iman) dan kemajuan.
Apakah pengertian Kristen tentang kesejahteraan ekonomi? Apakah hubungan iman
dengan kekayaan dan kemiskinan? Apakah ada pengertian Kitab Suci tentang
kemiskinan? Diantara mereka ada yang memandang kekayaan sebagai yang jahat, dan percaya bahwa segala nilai-nilai
materiil bertentangan dengan nilai-nilai kerohanian. Banyak yang percaya bahwa
kemiskinan adalah kemauan Tuhan dan lebih disukai. Di antara mereka percaya
bahwa kerohanian tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kebendaan. Apa dan bagaimana dia mendapatkannya, tidak mempunyai hubungan apa-apa
dengan hidup rohaniah yang umumnya terbatas hanya kepada hari-hari Minggu. Tetapi
jika nasib menjadi buruk, jika malapetaka datang menimpa, maka mulailah orang
berpikir, apakah tidak ada sesuatu yang kurang dalam hidup rohaniah itu. Lalu
kemiskinan dipandang sebagai suatu kutuk, sebagai pembalasan Ilahi.
Falsafah ini mengakui adanya dua
macam hidup yang tak dapat dielakkan, yaitu hidup kerohanian dan hidup
sehari-hari. Hubungan yang khas antara kedua hidup ini biasanya tinggal kabur,
dan hanya terang pada waktu kesusahan. Ada
juga yang memandang kesejahteraan dan kekayaan sebagai tujuan hidup. Orang
harus berjuang untuk hidup dan untuk kekayaan, dan musuh yang paling berbahaya
dalam perjuangan ini adalah kemiskinan. Sudah diproklamasikan bahwa tiap orang
mempunyai hak dan kesempatan mencapai dan menikmati hidup yang baik, dan realisasi
proklamasi itu masih merupakan impian.
Dalam hubungannya dengan soal
rohaniah, ada dua keyakinan umum: a) menyambut baik nilai keagamaan sebagai
suatu unsur pembantu di mana agama membantu dan berdoa untuk kesejahteraan,
tetapi terdapat pula pendapat bahwa peranan satu-satunya dari kerohanian dan
agama adalah pemberkatan saja, b) memandang tiap nilai rohaniah sebagai
tahayul, sebagai obat bius, musuh terbesar dari tiap usaha untuk mencapai hidup
yang lebih baik. Sikap ini muncul dari mereka yang mengajarkan bahwa kemiskinan
itu adalah kehendak Tuhan dan kemiskinan itu jauh lebih disukai oleh Tuhan
daripada kekayaan dan hanya memusatkan hati sanubarinya ke “surga”. Oleh sebab
itu tidak mengherankan, kalau mereka ini membenci agama pada prinsip dan prakteknya.
Persoalan ini menuntut pemikiran
yang mendalam di Indonesia .
Karena kita berada di dalam masa revolusi dan pembangunan negara dan bangsa
(nation building), di mana orang-orang Kristen wajib menggali Firman Allah
untuk mencari jalan yang konkrit dalam mencapai dan merealisasikan sila
“Keadilan Sosial”, sehingga tidak akan
ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka dan bagaimana hubungan iman dengan kemiskinan itu.
2.1. 2. Sebab Musabab Kemiskinan[4]
Apakah yang
dikatakan Kitab Suci tentang sebab musabab kemiskinan itu? Dalam Perjanjian
Lama dikatakan sangat murah hati dan realistis dalam menguraikan sebab musabab
ini, antara lain:
1.
Kemiskinan adalah akibat dari kemalasan, keusangan dan
gelandangan, (Ams. 6:9-11; 24:30-34; 19:15). Pengalaman hidup manusia telah
melahirkan Amsal ini dengan pengertian “orang malas suka menghabiskan waktunya
di atas tempat tidur, pasti tidak akan sempat bekerja mencari nafka, akibatnya
ialah kemiskinan dan kepapaan yang tak terelakkan”.
2.
Kemiskinan adalah juga akibat dari pemabukan dan
kerakusan. Pemabukan dan kelahapan akan mengakibatkan orang mengantuk, dan oleh
sebab itu tidak mungkin lagi bekerja (Amsal 23:20; 21). Hidup mewah
melimpah-limpah juga mengakibatkan kemiskinan, sebab waktunya dan hartanya akan
dihabiskan dalam pesta-pesta dengan penghamburan makanan dan minuman (Amsal
21:17). Orang bodoh dan keras kepala yang menolak pengajaran itu, akan
menderita kemiskinan dan kepapaan (Amsal 13:18; 28:19). Oleh karena itu yang
menyebabkan kemiskinan dan kepapaan itu adalah manusia sendiri.
3.
Di dalam hubungan manusia dengan manusia, terutama
antara orang yang kaya dan berkuasa disatu pihak dan orang yang sederhana dan
jelata di lain pihak yang tak mempunyai hak-hak minimal hidup. Penyebab
kemiskinan itu adalah: keserakahan, kelobaan dan kekikiran. Keserakahan ini
biasanya berbentuk penekanan, pemerasan, dan penghisapan manusia oleh manusia
sendiri (exploitation de I’homme par I’homme). Penghisapan semacam ini
mempunyai akibat yang langsung dan lebih membahayakan kepada sesama manusia dan
juga kepada masyarakat dalam hidup sosial ekonominya (2 Sam. 11, 12 band. Yer 22:13).
4.
Di dalam hubungan bangsa dengan bangsa, khusus antara
satu bangsa yang besar dan kuat disatu pihak dan bangsa yang kecil dan lemah di
lain pihak, terdapat juga unsur yang mengakibatkan kemiskinan, yaitu:
penjajahan, tekanan dan pemerasan bangsa yang kecil dan lemah itu oleh bangsa
yang besar dan kuat (Kel. 1), di mana bangsa Israel diperbudak oleh bangsa
Mesir. Dan unsur ketidakadilan kemerdekaan politik inilah unsur utama yang
menyebabkan kemiskinan orang Israel di Mesir. Akibat penjajahan ini juga adalah
kemiskinan. Selama satu bangsa mengintai dan mencoba mengisap bangsa lain,
selama itu kesejahteraan sosial tidak akan mungkin terealisasi di antara
bangsa-bangsa dan selama itu juga kemiskinan akan selalu ada.
5.
Kemiskinan juga disebabkan oleh malapetaka, bencana
alam, wabah, perang dan penyakit menular sehingga sikorban tidak dapat berbuat
apa-apa (Kel. 10:4-5).
2. 1. 3. Apakah Kemiskinan Dikehendaki
Tuhan?[5]
Anggapan bahwa
kemiskinan dikehendaki Tuhan memang tersebar luas. Dan berbagai orang masih
berpendapat bahwa miskin adalah “kebangkitan Kristen” yang paling luhur, suatu
bukti yang nantinya menjadi pertimbangan bagi Tuhan. Ada tiga nas Alkitab yang biasa dikutip tanpa
memperhatikan keseluruhannya, yang seolah-olah kemiskinan itu dikehendaki
Tuhan, yaitu:
1.
“Tuhan jua yang menjadikan miskin dan yang menjadikan
kaya”, (1 Sam. 2:7a band. 1, 2). Ayat ini menyatakan kemiskinan telah ditentukan
Tuhan terlebih dahulu. Namun dalam hubungannya secara keseluruhannya akan
menunjukkan bahwa titik pusat dari Mazmur yang dikutip Hanna dalam doanya ini
adalah perhatian yang adil dari Tuhan
terhadap semua orang. Oleh sebab itulah kita harus memperhatikan ayat yang
mengikutinya yang menjelaskan bahwa Tuhan tidak menghendaki kemiskinan, tetapi
Dia dapat membuat orang menjadi miskin dan kaya.
2.
“Telanjang aku keluar dari rahim ibuku, telanjang aku
akan kembali kepadanya (Ayub 1:21)”. Ada
2 hal penting yang harus diperhatikan dalam penafsiran ayat ini. Pertama ayat
1a, mencatat dalam permulaan kisah ini, bahwa Ayub adalah orang yang tulus hatinya,
takut akan Allah dan dijauhkannya dirinya daripada yang jahat (ayat 8 dan 2:3).
Kedua, sesudah malapetaka menghinggapi Ayub, dicatat bahwa Ayub tiada berdosa
dan tidak sesuatu pun yang tidak baik dikatakannya tentang Allah (ayat 22).
Dari dua hal tersebut nyata bahwa: a). baik dalam kekayaan yang
berlimpah-limpah maupun dalam kemiskinan, Tuhanlah yang mempunyai hak mutlak
atas segala yang dimiliki oleh manusia. b). ucapan Ayub bukanlah suatu
penyerahan pada nasib melainkan
pengakuan dan pernyataan kepercayaan.
3.
“Orang kaya dan orang miskin bertemu seorang dengan
seorang, maka telah dijadikan Tuhan akan mereka itu sekalian (Amsal 22:2)”.
Kaya miskin yang dimaksud adalah keseluruhan umat manusia.
2. 1. 4. Perhatian dan Pemeliharaan
terhadap Orang Miskin[6]
Orang-orang
miskin mendapat perhatian dan pemeliharaan khusus dari Allah. Di dalam kitab
Mazmur berulang-ulang dikatakan bahwa Allah tidak akan melupakan mereka (Mzm.
10:12). Allah mendengar jeritan orang-orang miskin, dan memberikan pertolongan
yang berlimpah-limpah (Mzm. 34:6 band. 1 Sam. 2:8). Tidak hanya keperluan
sementara atau keperluan sandang-pangan saja, tetapi dalam bidang keadilan sosial-ekonomi
orang-orang miskin juga diperhatikan (Ul. 10; Yes, 25:4, 5; Im.19:15; Kel.
23:3).
Perhatian Allah terhadap kaum miskin
ini juga tampak dalam hidup dan pekerjaan Yesus. Ia mempunyai perhatian dan
melakukan pemeliharaan terhadap orang-orang miskin sebagaimana dilakukan
orang-orang saleh pada waktu itu (Mat. 19:21; Mark. 10:21; Luk. 18:22; Luk.
4:17-19; Yes. 61:1-2). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seluruh khotbah
dan perbuatan Yesus bertujuan untuk mengangkat kaum miskin, yang terlantar dan
teraniaya agar mereka menjadi manusia kembali dihadapan Tuhan. Di sini kaum
miskin tidak dipandang sebagai kaum yang miskin materiilnya saja, tetapi dalam
status keseluruhanya sebagai manusia.
2. 1. 5. Siapakah Kaum Miskin itu?[7]
Kebanyakan
pasal-pasal Kitab Suci mengatakan bahwa kaum miskin adalah mereka yang
betul-betul berada dalam kekurangan, kemelaratan, dan kesengsaraan. Milik
mereka telah dirampas, mereka lapar, haus, tak mempunyai tempat berteduh,
tertindas, diperas dan diburu-buru: mereka kehilangan unsur-unsur minimal
hidup. Dalam kitab Mazmur bahwa miskin itu selalu menunjukkan kemelaratan yang
sungguh-sungguh. Oleh sebab itulah kemiskinan menjadi suatu istilah agama. Di dalam Hellenisasi yang
makin meluas di tengah-tengah bangsa Yahudi dengan perubahan sosial ekonomi
kaum agama mengalami kenyataan pahit dari noda tak bertuhan yang diakibatkan
oleh pengejaran harta benda yang tak kenal peri kemanusiaan. Dan kemiskinan
adalah biasanya nasib mereka yang patuh terhadap hukum Taurat. Oleh karena itulah
nasib kaum miskin diartikan sebagai “nasib khas” dari orang saleh. Dengan
demikian arti miskin lambat laun menjadi saleh dan adil. Oleh sebab itulah
sebelum dan sesudah zaman Yesus banyak orang yang mengatakan dirinya miskin
untuk membedakannya dari orang yang tak bertuhan dan najis, namun ini salah
dalam pandangan Yesus.
2. 1. 6. “Berbahagialah Orang Miskin!”[8]
Khotbah di bukit
memiliki pengaruh yang penting untuk menerapkannya dalam kehidupan. Ada dua hal penting yang
hendak diketahui: siapakah kaum miskin
dalam khotbah di bukit itu? Dan mengapa mereka berbahagia?
·
Kata Yunani yang digunakan untuk miskin adalah ptochos, yang melukiskan kemiskinan yang
sehina-hinanya. Maka ptochos dalam
Mat. 5:3 melukiskan orang yang betul-betul miskin dan menderita, dan karena
menyadari kesengsaraannya sendiri yang sungguh tidak kepalang, dia
mempertanyakan seluruh jiwa raganya pada Tuhan. Yesus tidak pernah menyambut
baik keadaan di mana orang hidup dalam kesengsaraan dan tidak mempunyai apa-apa
untuk dimakan dan diminum, dan di mana kesehatan sangat buruk. Pada hakekatnya
Yesus datang untuk melenyapkan segala penyakit itu (Luk. 4:17).
·
Bila kemiskinan tidak diberkati sebagai kemiskinan,
apakah ini berarti, bahwa kemiskinan jiwa yang dimaksud? Oleh karena itulah
dikatakan: berbahagialah kamu yang
miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan Allah (Luk 6:20; Mat. 5:3).
Oleh karena itulah Yesus menunjukkan khotbah bukan pada golongan-golongan orang
miskin yang mengaku dirinya saleh dan mencoba memperoleh kesenangan Tuhan, dan tidak
pula pada mereka yang menciptakan kebajikan dan kekurangan dan kebutuhan. Kaum
miskin adalah mereka yang tidak mempunyai apa-apa di dunia ini dan tidak
mengharapkan apa-apa dari dunia, tetapi yang mengharapkan segala-galanya dari
Tuhan.
·
Apakah arti pemberkatan ini? Khotbah di bukit
bukanlah suatu perumpamaan, tetapi khotbah itu adalah suatu panggilan, suatu seruan
dan suatu janji. Artinya adalah Tuhan
menanti di seberang tepi dan batas dunia, bahkan tidak hanya kaum miskin,
tetapi menyongsong mereka dan bertemu dengan mereka itu di tepi pinggir dunia.
Kerajaan Tuhan datang kepada mereka.
·
Apakah Mat. 5:3 sama dengan Luk. 6:20?
“Berbahagialah kamu, hai kaum miskin! Berbahagialah kamu yang lapar!” menurut
Lukas bahwa ini semacam spekulasi. Dan bantahannya juga sederhana: “celakalah
kamu yang kaya! Celakalah kamu yang kenyang sekarang (6:20, 21, 24, 24)”.
Apakah versi Lukas ditingkatkan lebih tinggi dari versi Matius atau sebaliknya?
Oleh karena itu dijelaskan bahwa kedua ayat itu menunjukkan bahwa satupun tidak
tepat dan tidaklah sejajar. Karena setiap Injil tidak membenarkan kepapaan atau
penolakan sukarela apakah itu bersifat agama, politis, sosial ekonomi, kecuali
demi panggilan Yesus. Karena hanya Yesus lah yang dapat menjadikan berbahagia
orang-orang yang dipanggilnya.
2. 1. 7. Amanat Khotbah di Bukit dan Usaha
Melawan Kemiskinan[9]
Pada zaman
sekarang terdapat idiologi yang langsung mengalamatkan seruannya kepada
orang-orang yang tertindas dan bangsa-bangsa yang terjajah. Di Indonesia
kesadaran akan Amanat Penderitaan Rakyat membuka mata umum kepada tugas yang
baru untuk memperbaiki kehidupan rakyat umum. Amanat Penderitaan Rakyat ini
adalah satu alasan yang penting yang dapat dibenarkan untuk menguasai kepapaan
dan penderitaan kaum miskin sehingga memerlukan perubahan yang revolusioner
dari segala nilai. Semboyan adalah: Umwertung
aller Werte (perombakan segala nilai). Untuk itulah tidak heran jika banyak
orang Kristen mengambil bagian dalam revolusi nasionalnya di Asia
dari khotbah di bukit. Mereka menganggap bahwa Yesus telah datang sebagai
revolusioner, yang memihak kepada kaum miskin. Dan ini menggambarkan Yesus
sebagai tokoh revolusioner. Namun kita harus mengerti bahwa tujuan khotbah di
bukit adalah memanggil semua mereka yang mendengar panggilan Yesus untuk
mengambil keputusan dan menerima keselamatan. Manusia diperhadapkan pada satu
pilihan: mengikut Yesus dengan bersedia mengorbankan jiwa raga atau menolak
Dia, yang menentukan dan yang mendesak bagi Yesus adalah letak hubungan yang
sebenarnya antara Allah dan ciptaanNya dan hubungan antar sesama manusia.
2. 1. 8. Kemiskinan Sukarela sebagai
Kebajikan[10]
Kebajikan adalah
hasil atau buah bukan jasa, pemberian dan bukan sebab, kebajikan memang adalah
buah iman yang tidak dapat disisihkan. Kebajikan adalah keutamaan dalam
kehidupan mereka yang diberikan hak istimewa untuk tidak hanya percaya kepada
Yesus tetapi turut menderita dengan Dia (Pil. 1:29). Oleh karena itulah kita
dapat mengerti kemiskinan sukarela itu adalah suatu kebajikan, contoh: 1)
kesaksian kehidupan Yesus. Kemiskinan Yesus sangatlah luar biasa sehingga Ia
meresap sampai ke dasar kehidupan insani manusia, yaitu: salib. Kemiskinan Yesus ini adalah suatu tindakan kasih dan jalan
untuk menyelamatkan manusia, 2) dalam hidup keduabelas murid-murid Yesus.
Keduabelas murid Yesus telah mengikuti Yesus dan mereka meninggalkan segala
sesuatu yang mereka miliki, dan menjadi sahabat Yesus. Dan upah mereka telah
dijanjikan oleh Dia yang memanggil mereka, 3) cerita pemuda kaya yang
terpanggil, tetapi yang menolak panggilan Yesus demi harta bendanya (Mat. 19:
16-21). Dalam cerita ini, kita mendapati suatu contoh dari pengajaran
kesempurnahan hidup dan sekaligus tuntutan terkenal untuk merangkul kemiskinan
sebagai jalan untuk mengikut Yesus.
2. 1. 9. Iman dan Masalah Sandang pangan[11]
“Manusia adalah
apa yang dimakannya” sebuah filsafat yang memberikan prakarsa pada
ajaran-ajaran materialisme yang akhirnya dikembangkan oleh Marx dan Engels
khusus dibidang ekonomi dan kemasyarakatan. Manusia harus makan agar bisa
hidup. Namun menurut iman Kristen bahwa Allah lah yang memberikan makanan
kepada manusia itu. Ada dua pola pemikiran yang umum tentang masalah
sandang-pangan ini dalam hubungannya dengan iman: ada yang berpendapat bahwa
kehidupan yang diberitakan dalam Injil Kristus adalah “kehidupan kerohanian”
yang menjadi benteng yang teguh,
tempat peristirahatan dan tempat mengambil tenaga baru, yang dikunjungi orang
sesudah kerepotan dan kesibukan kehidupan sehari-hari. Singkatnya santapan
rohani ini akan menolong manusia untuk mengagumkan hati dan pkirannya. Santapan rohani itu
adalah bekal untuk menghadapi hidup keduniawian dengan segala kepahitannya.
Dengan bekal ini manusia akan lebih dapat hidup beragama. Pendapat lain
berpusat pada pengertian kebalikan dari pola pemikiran yang pertama. Dan
biasanya pemikiran ini didasarkan pada ungkapan Yesus: “Aku inilah roti yang
hidup…(Yoh. 6:51)”. Bagi mereka untuk kehidupan dunia ini berarti untuk
kehidupan dunia ini yang lebih baik, yang lebih makmur dan penuh dengan kesejahteraan.
Nada pemikiran di sini adalah perbuatan dan kegiatan. Tugas utama adalah memacu
kehidupan dunia yang telah terlepas dan larut itu, ada aksi, kegiatan, aksi
juga. Atau dengan kata lain: seseorang makan dan minum, berjuang untuk
kemerdekaan, keadilan sosial, kebebasan agama, perikemanusiaan, agar dapat
hidup sejahtera. Oleh karena itulah dalam Kitab Suci dikatakan bahwa makanan
dan dunia ini telah diberikan Allah kepada manusia. Ini menunjukkan sebagai
persekutuan manusia dengan Allah agar manusia mengenal Allah.
2. 1. 10. Iman dan Sila “Keadilan Sosial”[12]
Salah satu
tujuan Negara kita adalah kemakmuran dan kesejahteraan. Orang Kristen menyambut
prinsip ini karena prinsip ini menuju penghapusan kemiskinan dan membangun
kesejahteraan bangsa dan negara dan setiap warga negara. Pandangan Kristen
tentang sila ini adalah bahwa sumber dan jaminan tertinggi dari keadilan sosial
bukanlah dalam manusia itu sendiri, tetapi ditangan Tuhan, oleh karena itu
perlu keinsyafan dan kesadaran orang-orang yang bertugas melaksanakan keadilan
sosial itu secara langsung maupun tidak langsung, sehingga setiap warga negara
memliki tanggung jawab kepada masyarakat seluruhnya.
2. 2. Pergerakan Oikumene di Indonesia dan Dunia dalam Konteks
Pekabaran Injil[13]
Pergerakan oikumene
di Indonesia jelas diilhami dan didorong oleh pergerakan oikumene
internasional, secara khusus oleh gerakan oikumene sedunia yang disebut Dewan
Gereja-gereja se-Dunia (DGD atau World Council of Churces, 1948) di Amsterdam,
dengan tujuan utamanya adalah “saling memanggil mengusahakan keesaan yang
kelihatan (visible unity) dalam satu iman dan dalam satu persekutuan Perjamuan
Kudus, yang dinyatakan dalam kebaktian dan hidup bersama dalam Kristus, melalui
kesaksian dan pelayanan kepada dunia ini, dan menampakkan keesaan itu agar
dunia percaya”. Dan di Indonesia disebut PGI yang dibentuk pada bulan Mei 1950
di Jakarta, dengan tujuan yaitu “mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di
Indonesia”. Ada
beberapa gerakan yang mendorong pembentukan DGD, diantaranya adalah:
- Gerakan yang mengusahakan perdamaian dan keadilan antar-bangsa (Life and Work). Tujuannya adalah merumuskan program-program dan menggali dana serta persaudaraan semua bangsa oleh Gereja Kristus. Gerakan ini sadar bahwa dunia terlalu kuat untuk dihadapi gereja yang terpecah-belah. Oleh sebab itulah gereja-gereja perlu bersatu.
- Gerakan Iman dan Tata Gereja (Faith and Order) yang melayani gereja-gereja dengan membimbing mereka memasuki dialog-teologis sebagai cara untuk mengatasi penghalang-penghalang dan membuka jalan-jalan yang mungkin ditempuh untuk menyatakan ke-esa-an gereja yang telah diberikan di dalam Yesus Kristus.
- Dewan Missionaris Internasional (International Missionary Council), yaitu gabungan badan-badan dan yayasan-yayasan pekabaran Injil yang berdiri sendiri di luar lembaga gereja, yang terutama sejak akhir abad ke-18 yang sangat aktif mengabarkan Injil di seluruh dunia dan melahirkan banyak gereja-gereja baru.
Adapun dasar
pendorong gerakan oikumene ini adalah Yohanes
17:21: supaya mereka semua menjadi
satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar
mereka juga di dalam kita. Bila kita mendalami Yoh. 17:21 ini, ada beberapa
hal yang perlu kita perhatikan apabila kita berbicara tentang keesaan gereja,
diantaranya:[14]
- Supaya mereka menjadi satu adalah bagian dari doa Yesus. Doa ini pasti digenapi, yaitu mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.
- Permohonan Yesus agar Bapa “memelihara mereka dalam namaMu”, dengan tujuan supaya mereka menjadi satu. Jadi masalah keesaan gereja tidaklah hanya urusan manusia, tetapi ini adalah pertama-tama urusan Allah.
- Kata “semua” (omnes) mencakup semua yang percaya dan yang akan percaya kelak, tanpa kecuali. Oleh karena itulah gerakan oikumene harus terbuka dan tidak boleh dibatasi oleh doktrin, suku, ras, tradisi, sejarah, keadaan dan aliran, sampai semua menjadi satu.
- Kesatuan yang dimaksud bukan hanya kesatuan organisatoris, administrative atau institusional, melainkan kesatuan yang pada hakikatnya adalah misterium, yang tidak akan bisa sepenuhnya dijelaskan oleh budi manusia.
- Perlengkapan yang diberikan Yesus untuk memungkinkan kesatuan itu adalah “kemuliaan” (doxa), yang diberikan untuk mempersatukan.
- Tujuan dari gerakan “supaya semua menjadi satu” adalah agar dunia percaya, bahwa Allah-lah yang mengutus Yesus Kristus ke dunia ini. Oleh sebab itu dimensi kesaksian sangat menentukan dan pemberitaan Injil adalah akibat dari proses menjadi satu.
- Proses kesatuan ini mempunyai dimensi rangkap: kesatuan orang-orang percaya serta kesatuan orang-orang percaya ke dalam kesatuan Bapa dan Anak yang diikat oleh kasih.
Pesan Sidang
Raya DGI 1971 di Pematangsiantar mengatakan: “Gereja disuruh ke dalam dunia
untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Injil adalah berita kesukaan mengenai
pertobatan dan pembaharuan yang tersedia bagi manusia (Mark. 1:15), serta
kebebasan dan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan
untuk dunia (Luk. 4: 18-21)”. Sekarang, dalam abad ke-21 ini, kita tidak lagi
mempertanyakan apakah kita perlu bersatu atas dasar apa, atau apakah gereja
harus mengabarkan Injil. Pertanyaan yang dihadapi gereja-gereja kita masa kini
adalah bagaimanakah kita sebaiknya mengungkapkan keesaan kita di dalam Kristus
sekaligus bagaimanakah gereja-gereja melengkapi seluruh warganya agar menjadi
saksi-saksi Kristus di tengah masyarakat majemuk, yang hidup dalam era
globalisasi dan zaman reformasi masa kini. Tantangan konkrit yang dihadapi
jemaat adalah masyarakat yang kuat dikuasai oleh roh materialisme (uang dan
ilah) dalam segala bidang dan roh konsumerisme dan rasa kekawatiran akan
dihalangi dalam beribadah atau dicegah membangun rumah ibadah, bahkan
pengrusakan dan pembakaran yang makin merambah. Ini adalah masalah yang sering
dihadapi oleh jemaat dan di sinilah kita sebagai Gereja yang berdiri di atas
dasar Yesus Kristus harus bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan bersama dengan
memulai membangun kepedulian terhadap jemaat-jemaat dan tidak hanya itu tetapi
juga terhadap penduduk sekitar, terutama dalam kemiskinan dan penderitaan
mereka.[15]
III. Tanggapan Teologis
Setelah
membaca buku “Iman dan Kemiskinan” ini, maka dapat dilihat bahwa kemiskinan
merupakan suatu kondisi yang perlu mendapat perhatian yang penting. Masalah
kaya dan miskin khususnya yang dipaparkan dalam konteks Indonesia digumuli dengan
bermacam-macam cara. Dan Pdt. Dr. SAE Nababan mengajukan teologi keseimbangan, yang memperjuangkan keseimbangan antara orang
kaya dan orang miskin berdasarkan tafsiran 2 Korintus 8: 13-15; Mat. 5:3; dan
Luk. 6:20-26.[16] Di sini
dapat dilihat bahwa dalam memerangi kemiskinan tidak hanya dibutuhkan suatu
refleksi, tetapi keseimbangan antara aksi dan refleksi atau perbuatan dan
kegiatan untuk mewujudkan keadilan sosial. Dan ini sangatlah relevan hingga
sekarang, karena perjuangan melawan kemiskinan dan usaha untuk mempertinggi
taraf kehidupan masih sedang berjalan. Karena selama dunia ini ada, selama itu
juga kemiskinan tak dapat dikikis habis dari permukaan bumi.
Salah
satu cara mewujudkan keadilan sosial itu adalah menumbuhkan kesadaran dan
tanggung jawab besar bagi setiap individu, masyarakat, penguasa maupun pemimpin
negara. Karena kesadaran akan kepedulian untuk berbagi dengan sesama mulai
berkurang. Dan rasa tanggung jawab akan kepentingan umum terhapuskan, sehingga
orang tidak lagi mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Dalam konteks masyarakat sekarang di zaman era globalisasi masyarakat sangat
dikuasai oleh roh materialisme dan roh konsumerisme. Inilah yang menimbulkan
sikap egoisme yang berlebihan dan menimbulkan “kaya semakin kaya dan miskin
semakin miskin”. Untuk itu pemikiran (teologi keseimbangan) ini harus diterapkan
dalam kehidupan umat Allah. Karena ini merupakan salah satu perwujudan Tahun
Yobel atau tahun Rahmat Tuhan dalam Perjanjian Lama. Dengan demikian Yesus
menghubungkan peranan MesiasnikNya pada Tahun Yobel Ibrani.
Pada
hakikatnya, khotbah Yesus adalah sebuah pemberitaan atas Tahun Yobel.[17]
Prinsip-prinsip Tahun Yobel ini menyoroti visi ilah untuk mengatasi persoalan
ketidakadilan sosial yang kuno, sehingga mewujudkan keadilan terhadap
kemerdekaan dan pembebasan Allah yang penuh anugerah terhadap kaum miskin,
tertindas, kaum yang tersingkir yang ditindas. Yesus tidak mengutuk harta milik
pribadi. Ia juga tidak mengatakan bahwa pada dasarnya materi itu jahat. Akan
tetapi, Ia mengingatkan akan bahayanya. Di sinilah orang miskin mendapat
sambutan yang tidak bersyarat dan Yesus menawarkan kabar baik kepada yang
miskin. Inilah fungsi gereja dalam gerakan oikumene yang dikembangkan saat ini.
Gereja harus bersatu padu untuk membantu jemaat-jemaat yang membutuhkan dan
tidak hanya itu saja, pelayanan dan pekabaran Injil itu juga harus diberikan
kepada mereka yang belum mengenal Kristus. Karena mereka adalah orang-orang
yang boleh dikatakan miskin. Dan orang miskin akan memahami ketergantungan,
kesederhanaan dan kerjasama. Mereka tahu akan perbedaan dan kemewahan. Oleh
karena itu lebih sedikit ikatan pada diri mereka, mereka lebih dapat
meninggalkan segala sesuatu bagi kerajaan. Tidak banyak yang harus mereka
lupakan. Mereka tinggal berjalan masuk dan penuh syukur. Mereka tahu apa
artinya diampuni. Sedangkan yang tinggi hati, angkuh, dan kaya akan sulit
membungkuk dengan kerendahan hati di pintu kerajaan, mengakui ketergantungan
mereka kepada Allah.
Oleh
karena itu Yesus menawarkan kabar baik kepada yang miskin. Kemiskinan mereka
bukanlah tanda penolakan ilahi atas mereka. Ia menunjukkan keselamatan dengan
mengubah mereka yang miskin. Orang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang
tuli mendengar, penderita kusta ditahirkan, dan yang tertindas dibebaskan. Ini
menunjukkan Allah menyambut orang miskin melalui Yesus Kristus. Mereka memang
orang-orang terbuang dari masyarakat, namun di hadapan Allah, tidak. Kemiskinan
mereka bukan lagi kutukan ilahi. Mereka sama disambut dalam kerajaan
sebagaimana layaknya orang lain. Untuk itulah gereja memiliki peran yang sangat
penting. Gereja tidak hanya memikirkan bagaimana struktur gereja, keuangan,
bentuk bangunan, corak bangunan dari suatu gereja saja. Tetapi gereja dalam
suatu persekutuannya harus juga memikirkan bagaimana keadaan atau kondisi
jemaatnya secara menyeluruh. Itulah makna persekutuan di dalam Yesus Kristus.
Karena di dalamnya terjalin keakraban, persaudaraan dalam warna kepedulian
kepada sesamanya. Tidaklah heran jika dikatakan bahwa gereja yang adalah tubuh
Kristus itu harus berperan dalam menangani kemiskinan yang berada di
tengah-tengah jemaatnya. Gereja harus kembali kepada posisinya dan berfungsi
sebagai persekutuan orang percaya, sebagai agen pembaharu dari kerajaan Allah
yang mengemban tugas pembaharu dunia, manusia, struktur, dan sistemnya. Inilah
yang harus diketahui oleh setiap pelayan gereja. Karena itu seorang pelayan
haruslah siap mengemban tugas dan haruslah bertanggung jawab akan tugas yang
diembankan oleh Tuhan Yesus kepadanya untuk menggembalakan umatNya, sehingga
jemaat yang percaya tidak lagi dikatakan miskin, tetapi jemaat yang memiliki
visi dan misi yang baik dengan rasa kepedulian dan keberbagian terhadap sesama
manusia. Tidak hanya kepada orang percaya saja, tetapi juga kepada mereka yang
masih belum percaya. Oleh karena itu kesadaran dan kepekaan inilah yang harus
kembali ditinjau oleh para pelayan atau hamba-hamba Tuhan agar tujuan gerakan
oikumene itu dapat diwujudkan dan sila “Keadilan Sosial” dapat tercapai.
IV. Kesimpulan dan Saran
4. 1. Kesimpulan
- Miskin dalam konteks Alkitab mengandung pengertian: kemiskinan materi, yang meliputi kehidupan melarat, papa dengan makanan, perumahan, dan pakaian yang sangat kurang; mereka yang tertindas, mereka yang terbuang, ditawan, para budak, yang sakit, yang hina, dan yang terbuang; dan mereka yang rendah hati yang miskin di hadapan Allah.
- Penyebab kemiskinan itu adalah manusia itu sendiri, karena mereka memiliki sifat yang malas, pemabuk, rakus, keserakahan, kelobaan, dan kekikiran.
- Makanan dan dunia ini telah diberikan Allah kepada manusia dengan satu sifat, yaitu: sebagai persekutuan manusia dengan Allah. Tujuannya adalah agar manusia mengenal Allah.
- Melalui gerakan oikumene ini, kita juga bertanggung jawab dalam usaha membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh keterbelakagan dan kemiskinan, penyakit, dan ketakutan. Kita terpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan semua manusia baik jasmani maupun rohani, dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
4. 2. Saran
Sebaiknya
buku ini diperbaharui, karena penulisan dan bahasa Indonesianya masih zaman
dulu sehingga sulit dipahami. Dan sebaiknya buku ini dibaca oleh semua pihak,
karena buku ini dapat menambah wawasan kita dan meningkatkan kembali rasa
kepedulian dan kepekaan kita terhadap kaum lemah atau miskin.
[1] J.
Bongmanalu, Praeses Pdt. Cyrellus Simanjuntak:
Pendidik, Missionaris, dan Motivator (catatan kaki) Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008, 225.
2Redaksi Sinar Indonesia Baru, Pdt Dr. SAE Nababan LLD Terpilih Menjadi Presiden Dewan Gereja-gereja se-Dunia, Friday, 24 February 2006.
[3]
Soritua A. E. Nababan, Iman dan
Kemiskinan, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 1966, 5-8.
[4] Ibid., hlm., 8-11
[5] Ibid., hlm., 11-14
[6] Ibid., hlm., 14-20
[7] Ibid., hlm., 20-23
[8] Ibid., hlm., 23-28
[9] Ibid., hlm., 28-31
[10] Ibid., hlm., 31-38
[11] Ibid., hlm., 38-51
[12] Ibid., hlm., 50-59
[13] Op.
Cit., J. Boangmanalu, hlm. 225-228..
[14] Ibid., hlm. 229-230.
[15] Ibid., hlm. 231-235.
[16]
Drewes, B. F., dkk, Apa itu
Teologi? Pengantar ke dalam ilmu teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006, 69.
[17]
Ada tiga macam guncangan pada tahun ketujuh atau Tahun Sabat, yaitu: tanah diistirahatkan pada tahun
ketujuh, hamba-hamba dibebaskan pada
tahun ketujuh, utang dihapuskan pada
Tahun Sabat, dan pada tahun ke-50 atau Tahun Yobel, hak milik tanah dikembalikan kepada pemilik semula pada awal
periode 50 tahun…Donald B. Kraybill, Kerajaan
yang Sungsang, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2002, 81-82.
Comments
Post a Comment