MENGENAL A.A. SITOMPUL & PEMIKIRAN TEOLOGISNYA
I.
Biografi
Teolog
yang satu ini ialah seorang yang telah memiliki nama yang besar baik di
Indonesia maupun di Internasional. Ia adalah seorang teolog besar. Nama lengkap
beliau adalah Albert Agustin Sitompul. Ia lahir di Medan 4 Oktober 1931 yang
silam. Almarhum adalah seorang Teolog yang menggeluti bidang Perjanjian Lama
dan Teologi Praktis. Namanya menjadi besar lewat karya-karyanya, secara khusus
dalam bidang teologi.
Alharmarhum
biasa disapa dengan gelar A. A. Sitompul. Ia meraih tingkat pendidikan sampai
ke jenjang Doktor Teologi dari Universitas Negeri Johannes Guternberg, Mainz,
Jerman Barat. Banyak pengalaman dan tulisan yang sudah dilahirkannya. Tenaganya
juga di butuhkan di luar negeri sebagai pengajar di Lutheran Seminary,
Adelaide, Australis, yakni pada tahun 1988. Selain itu juga, tak sedikit penghargaan
dari dalam dan luar negeri yang berhasil diraihnya. Hingga pada tahun 1991
sampai dengan wafatnya, almarhum bekerja sebagai tenaga pengajar atau dosen tetap
di STT-HKBP dalam bidang Perjanjian Lama dan Praktika.
Bila
dilihat lebih dalam, almarhum adalah seorang yang gemar membaca, sehingga tak
sedikit tulisan yang dicetuskannya dari hasil membacanya. Adapun beberapa karya
di antara banyaknya karya almarhum adalah:
1. Firman
Hidup 5 dan 10;
2. Metode
Penafsiran Alkitab, bekerja sama dengan Dr. U. Beyer;
3. Pengendalian
Diri menurut Amsal Sulaiman dan Raja-raja Mesir Purbakala;
4. Masalah
Modernitas Dewasa Ini;
5. Perintis-perintis
Kekristenan di Sumatera Bagian Utara;
6. Ketika Aku dalam Penjara;
7. Bersahabat dengan Firman;
8. Dan
artikel-artikel lainnya.
namun, satu pegangan hidupnya sebagai nats
emasnya adalah dari Matius. 25:40 “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.[1]
II. Pokok-pokok
Pikiran
a. Baptisan dan Perjamuan Kudus
Dalam Baptisan dan Perjamuan Kudus jemaat I
mengalami persekutuannya dengan Allah yang ditinggikan. “Acara Baptisan Kudus
tidaklah diadakan setiap kebaktian minggu. Ketika gereja lahir di daerah ini
(Sumatera Utara) , demikian juga di daerah zending umumnya jemaat yang dibaptis
adalah kebanyakan dari orang dewasa tetapi, lama kelamaan baptisan itu dibatasi
hanya kepada anak-anak saja. Tujuan baptisan itu tidak lain adalah membebaskan
manusia sebagai mana janji belas kasihan Tuhan. Baptisan tersebut hanya
dilaksanakan dengan nama Allah Bapa,
Anak-Nya Yesus Kristus dan dalam nama Roh Kudus (Mat. 28:19-20; Kis. 2:38;
8:16; 10:48; 19:5) serta berdasarkan pertobatan dan kepercayaan (Kis. 2:28, 41;
8:12f; 16:14f; 18:6; 19:2; 22:16).”
“Gereja HKBP di Indonesia menekankan ajaran Martin
Luther yang terdapat dalam Kathekismus Kecil dan Konfesi HKBP Gereja Reformasi
tidak menerima baptisan kedua kalinya, sebab dasar-dasar dari baptisan itu
adalah iman dari awal hingga akhir. Para reformator tahun 1524 sangat menentang
ajaran Anabaptis yang lahir di Eropah. Baptisan Kudus termasuk kepada sakramen
yang dilaksanakan hanya satu kali, berbeda dengan Perjamuan Kudus yang setiap
saat dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu.”[3]
“Perjamuan Kudus dilaksanakan sejak berdirinya
gereja mula-mula sampai kepada masa bapak-bapak gereja. Perjamuan Kudus
tersebut adalah sebaagai pelayanan sakramen, dan juga sebagai pusat peribadatan
gereja mula-mula. Pada abad keempat, Perjamuan Kudus dilaksanakan pada hari
Kamis yakni pada peringatan Paskah dan disatukan dengan pesta Agave. Tetapi
setelah abad pertengahan pesta Agave dan Perjamuan Kudus dipisahkan. Pada masa
itu terdapat beberapa penekanan arti Perjamuan Kudus, yaitu:
1.
Peringatan (Anamnesis) akan Yesus
Kristus
2.
Persekutuan dalam satu tubuh Kristus (1
Kor. 10:17)
3.
Memberitahukan kematian Yesus Kristus
sampai kepada kedatangannya yang kedua kalinya (1 Kor. 11:26)
4.
Tanda eskhatologi (yang menunjukkan kepada hari akan datang).
Menunggu kembali Yesus Kristus (1 Kor. 11:26)
5.
Ujian bagi persekutuan orang-orang
percaya (1 Kor. 11:28-32; 12:12-17)
“Menurut Martin Luther terdapat beberapa bagian yang
harus digumuli sesuai dengan bentuk dan sifat dari ajaran mengenai Perjamuan Kudus
yang dapat dilihat sebagai suatu kekhususan (paradoks) yang menimbulkan
permasalahan dalam sifat-sifat umum, yaitu:
1.
Kehadiran Kristus disekitar meja atau
altar. Di sini dikatakan bahwa tubuh Kristus tidak melekat pada roti dan
anggur.
2.
Perjamuan Kudus adalah perjamuan
perjanjian Tuhan kita Yesus Kristus. Ditekankan boleh tidaknya mengikuti
Perjamuan Kudus, tidak tergantung kepada penatua atau pelayan.
3.
Perjamuan Kudus sebagai kasih karunia
Allah, di mana kasih karunia tersebut tidak bertujuan untuk mengkhususkan. Di
sini harus ditekankan bahwa tidak ada kekuatan magis atau animisme, tetapi
persekutuan yang hidup dengan Yesus Kristus, mengingat kematian dan
kebangkitan-Nya melalui iman, mengambil bagian dalam tubuh Kristus dan
mengikuti ajaran serta pola hidup yang diaturkan oleh Yesus Kristus Tuhan kita.
4.
Kedatangan Yesus sekaligus membuktikan
ketidak hadirannya. Di sini ditekankan bahwa tidak secara otomatis Yesus datang
dalam upacara-upacara manusia tetapi melalui permohonan akan belas kasihan-Nya
Yesus membenarkan dan menebus orang percaya (bnd, Luk. 24:13-35; Yoh.
21:10-13). Yesus selalu bertahta di sorga (bnd, Why. 5; 19:7-9; 1 Ptr. 3:22).”[4]
Gereja harus
saling mengakui baptisan masing-masing. Ketidak mampuan gereja-gereja untuk
saling praktek babtisan (dalam satu babtisan) memperlihatkan secara dramatis
kesaksian gereja yang terpecah-pecah. Beberapa gereja masih membiarkan
perbedaana jenis ras dan status sosial; memecah belah tubuh Kristus, hal ini
memberi kesan yang buruk bagi kesaksian gereja. Itu sebabnya tugas oikumenis
mengakui baptisan umum yang nilainya universal.
Sejak tahun
1950-an dan 1960-an semua gereja seperti gereja Orthodox, Roma Katholik
(Majelis Vatikan II) dan Dewan Gereja Sedunia (Komisi Faith & Order ) telah
memutuskan pengakuan bersama (saling mengakui) tentang baptisan. Hal ini juga
didukung oleh keputusan Konperensi gereja sedunia tentang Iman dan Tata Gereja
di Lima, 1982, tentang “Baptisan, Perjamuan Kudus dan Pelayanan jabatan
gerejawi”. Apabila kesatuan baptisan ini terwujud dalam satu gereja yang Kudus,
Am dan Rasuli, maka suatu kesaksian Kristus asli dapat dibuat untuk kasih Allah
yang menyembuhkan dan mendamaikan gereja-gereja. Keharusan adanya iman bagi
pernerimaan keselamatan yang terwujud dan ditetapkan selanjutnya dalam baptisan
diakui oleh semua gereja.
Dalam rangka
ibadah baptisan dipahami sepenuhnya arti baptisan dalam Alkitab, yaitu
partisipasi dalam kematian dan kebangkitan Kristus, pertobatan, pengampunan dan
penyucian, pengaruniaan Roh Kudus, penghisaban ke dalam Tubuh Kristus dan tanda
Kerajaan Allah. Baptisan itu terikat dengan kehidupan ibadah gereja sehingga
anggota-anggota jemaat dapat diingatkan dan ikut menerima orang yang baru
dibaptiskan ke dalam persekutuan mereka. Keputusan Lima menganjurkan sakramen
baptisan dapat dilakukan pada hari raya misalnya Paskah, Pentakosta dan
Epiphanias seperti yang dirayakan dalam gereja Pertama. Tentu hal ini sulit
diterima oleh gereja-gereja di Indonesia Timur. Hampir setiap bulan, sakramen
baptisan dirayakan bagi kebanyakan jemaat, karan banyaknya anak-anak yang
dibaptiskan setiap bulan.
Perjamuan Kudus
pada hakekatnya adalah sakramen dari karunia Allah dalam Jesus Kristus oleh
kuasa Roh Kudus. Dari Perjamuan Kudus ditekankan arti persekutuan orang percaya
dan tugasnya. Makan dari roti yang satu, minum dari cawan di satu tempat
tertentu, memperlihatkan.
Sejak zaman para Rasul kebaktian telah dilaksanakan
oleh jemaat mula-mula walaupun caranya masih belum jelas sebagaimana halnya
dengan aturan kebaktian sekarang. Bentuk kebaktian seperti ini dilaksanakan
karena menurut mereka, dunia ini akan segera berakhir. Oleh karena itu, tidak
lagi diperlukan aturan yang ketat. Mereka melaksanakan kebaktian dalam suasana
kebebasan dan kemerdekaan. Namun demikian, walaupun mereka beribadah secara
bebas, Paulus menekankan agar tata cara peribadatan tetap untuk dilaksanakan
(1 Kor. 14).
Bentuk kebaktian atau peribadatan yang diadakan di
sinagoge atau Bait Suci adalah sebagai berikut:
1. Kesaksian
iman terhadap Allah yang Esa (Ul. 4:6-9)
2. Doa
umum
3. Membaca
nats dari Pentateuk (Kelima Kitab Musa)
4. Membaca
nats dari Kitab nabi-nabi
5. Khotbah
(mengajar, pertobatan, nasehat)
6. Berkat
dari
tata cara tersebut jemaat mula-mula menyesuaikan bahan-bahan dengan pelayanan
Yesus sebagai Mesias yang dimulai dari awal pelayanan Yesus, penderitaan,
kematian dan kebangkitan-Nya seperti ditemukan dalam keempat Injil. Pada waktu
khotbah Paulus masih dalam bentuk lisan dan sebagian dalam bentuk tertulis yang
berisikan ajran tentang
kehidupan
berdasarkan pembebasan yang dilakukan oleh Yesus. Di samping itu jemaat
mengadakan Perjamuan Kudus (eukharisti, agape). Kemungkinan sesudah tahun 70 Masehi Perjamuan Kudus Agape dan
perjamuan Kudus Eukharisti (sakramen) masing-masing berdiri sendiri tetapi
masing-masing tetap saling berkaitan. Pelaksanaan Perjamuan Kudus tidak hanya
berfungsi sebagai peringatan Yesus, tetapi juga untuk memantapkan persekutuan
mereka (Kis. 2:46).
Sampai abad ketiga, walaupun jemaat berada dalam
situasi penganiayaan, namun mereka tetap setia mengadakan peribadatan itu. Pada
abad keempat dibentuklah konstitusi (undang-undang rasul yang berisi doa
puji-pujian, ucapan syukur Perjamuan Kudus
(eukharisti). Sampai abad ini bahasa Yunani masih tetap digunakan dalam
kebaktian, demikian juga di kota Roma. Dalam tugas berkhotbah kebaktian Bapa
Gereja Origenes cenderung mengarahkan khotbahnya ke dalam bentuk allegoris.
Memang sampai abad keempat ini bentuk kebaktian masih tetap satu. Tetapi ada
tradisi yang khusus bagi satu-satu jemaat, walaupun kesamaannya masih tetap ada
seperti di Antikia, Aleksandria, Konstatinopel, Yerusalem dan Roma.
Kita harus melihat apa yang terjadi selama satu
tahun gerejawi berlangsung, apa artinya dan bagaimana perbedaan-perbedaan waktu
dalam almanac. Ada beberapa penyebab, yaitu perputaran matahari, bulan dan
minggu.
1.
Dalam satu minggu ada tujuh hari.
Artinya bahwa bumi berputar sebanyak tujuh kali untuk mengelilingi matahari. Tahun gereja tidak
tetap waktunya dalam satu tahun. Ada kalanya 1 tahun terdiri dari 365 hari dan
ada kalanya 366 hari. Namun demikian, jumlah minggu adalah tetap, yaitu 52
minggu dalam satu tahun.
2.
Perubahan bulan yaitu dari bulan purnama
ke bulan purnama berikutnya. Satu bulan lamanya kira-kira 29,5 hari. Tahun
berdasarkan bulan dan matahari kebetulan tidak sama waktunya, itulah sebabnya
hari kebangkitan Tuhan Yesus tidak sama dalam kelender.
3.
Tahun mathari dihitung melalui aturan
bumi mengelilingi matahari, yaitu kira-kira121/7 bulan atau 521/2 minggu atau
365/2 hari. Hal ini dapat dijumpai dalam kelender setiap hari yang kita kenal
pada masa sekarang ini. Dengan demikian pesta kelahiran Yesus (Natal) sudah
muda ditentukan yaitu melalui perhitungan perputaran tahun matahari.
Dengan adanya ketiga faktor di atas
maka pesta hari kebangkitan selalu berbeda-beda, untuk itu perlu penambahan
waktu, apakah minggu terakhir sesudah Epipanias atau sebelum minggu-minggu
akhir tahun gerejawi. Artinya, jika minggu Ephipanias dikurangi, maka minggu
Trinitas harus ditambah atau diperpanjang. Demikian juga sebaliknya. Adapun
minggu yang tidak tetap dalam tahun gerejawi adalah: minggu I-V setelah
Ephipanias dan minggu ke 21-26 sesudah Trinitas.
Pengertian tahun gerejawi diterima oleh
gereja Lutheran pada akhir abad ke-16. Pengertian seperti itu sebenarnya telah
ditemukan pada abad ke dua yang dirayakan setiap tahun melalui pesta
kebangkitan Tuhan Yesus. Ada proses yang panjang dimana jemaat merayakan pesta
kebangkitan sebagai pendahuluan tahun gerejawi sampai dikemudian hari jemaat
menerima kebangkitan Tuhan Yesus. Dan pada abad pertengahan akhirnya Advent
(dimulai I-IV)ditentukan sebagai permulaan tahun gerejawi, sedangkan bagi
gereja-gereja bagian timur, tahun gereja dimulai berdasarkan tahun matahari
yaitu 1 september. Gereja di Indonesia juga melalui tahun gereja Advent
1.berdasarkan kelahiran Yesus yang dirayakan dengan suka cita karena kasih
Tuhan yang rela menjadi manusia dalam diri Yesus.
Pada minggu Ephipanias jemaat memuji
kemulian kedatangan Tuhan ke dunia ini, jemaat juga memperiapkan diri pada masa
puasa dan pada masa penderitaan paskah. Yesus melaksanakan pembebasan pada hari
Jumat Agung dengan mempersembahkan diriNya untukmelepaskan manusia dikayu
salib, jemaat memberitakannya dengan suka cita tentang kemenangan Yesus melawan
dosa, kekalahan dunia dan pekerjaan iblis sesuai dengan pesan Yesus, sedangkan
dalam perayaan Pentakosta jemaat bersaksi tentang pekerjaan roh Kudus yang
datang pada orang yang percaya dan yang telah membentuk persekutuan jemaat.
Disampung itu ada pesta Trinitas yang mana mereka berdoa untuk dapat memahami pekerjaan
Allah Tritunggal serta meyaksikan di dunia ini. Pada pertengahan tahun gerejawi
terdapat tugas-tugas yang menggambarkan karunia Tuhan kepada jemaat dan
tanggung jawab gereja supaya mereka tetap mengingat kemuliaan/kesukaan dan
tanggung jawab Kristen. Pada minggu-minggu akhirtahun gerejawi kita patut
menyatukan hati dalam pengharapan akan kehidupan besok (kehidupan sorgawi),
akhir dunia dan mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Yesus yang kedua
kalinya.
Setiap nats dipakai sepanjang tahun
gerejawi hal ini menggambarkan sifat Tuhan yang selalu mempunyai akibat yang
baru bagi kita dan yang berguna bagi tujuan hidup dalam segala sifat yang
sesuai dengan kehendak Allah.
4. Historis
Kritis
Tugas penafsir sebagaimana diingatkan oleh A.A. Sitompul adalah berbeda dari pengkotbah dan pengajar. Para
penafsir bertugas bukan untuk mengubah nas-nas yan ada, bukan pula merombak sehingga
menyusun suatu konstruksi yang baru. Tetapi tugas penafsir adalah mengusahakan
suatu pendekatan
atas nas dengan benar serta menerangkannya dengan baik, apa isi pemberitaan itu
untuk tiap angkatan
di sepanjang zaman. Dengan penelitian dan penafsiran,
keabsahan alkitab sebagai firman Allah akan tetap diterima orang kristen.
Hasil pekerjaan “kajian-ilmiah kritis” dalam metode-metode penafsiran yang mendalam dan luas serta
interdisiplin ilmu memperkaya keimanan orang-orang percaya itu.
Banyaknya
kodeks untuk teks-teks PL membuat pekerjaan penafsiran Alkitab memerlukan keterampilan
bukan saja alih bahasa, tetapi juga sebagaimana dikatakan A. A. Sitompul
kebutuhan akan gambaran alih bahasanya. Tugas kritik teks disini juga
menyangkut terjemahan dengan memperhitungkannya ke alam kebudayaan
masing-masing.Teks yang sampai ke tangan kita kini adalah produk para
sarjana-sarjana Ibrani yang disebut sebagai teks Masora yang sangat
emperhatikan pentradisian dan peralihan teks dari waktu ke waktu. Kata Masora
sendiri berasal dari bahasa Aram, yaitu “Mesar” yang artinya
mentradisikan Masora, dan diterima umum telah dikenali pada pertengahan hingga
akhir millenium pertama. Didalamnya termasuk kodeks Leningrad (L) dan kodeks
Sinaiticus (A; yang selalu dikaitkan dengan nama ben Asher).Teks Masora penuh
dengan catatan-catatan disamping, dibawah tubuh teks itu sendiri yang dinamai Masora
Parva.
Dalam
catatan-catatan itu ditemui perbedaan teks, vokal dan konsonannya yang menjadi
tugas peneliti kritik teks.Dapat dikatakan tugas peneliti kritik teks adalah :
1.
Mengumpulkan
dan meneliti nas (naskah) yang menyimpang (varian). Disini berlaku juga prinsip
nas/ tradisi yang lebih tua dan yang meyakinkan kebenarannya harus diperhatikan
lebih dulu.
2.
Menguji nas.
Tugas ini berarti pengujian terhadap teks yang telah diganti dalam hubungannya
yang utuh dengan keseluruhan teks. Dengan bantuan dari naskah-naskah yang lain,
teks Masora dapat memperoleh keutuhannya, apakah ia menyimpang dari unsur
bahasa atau unsur isi (termasuk teologia, pengertian isi dan sejarahnya).
3.
Mengambil
kesimpulan. Tugas penyimpulan ini adalah usaha terakhir dari kritik nas;
menentukan kata-kata mana yang dapat diterima, sesuai dengan syarat-syarat atau
alasan-alasan yang meyakinkan.Dengan kesimpulannya maka penelitian itu mesti
mencapai kedudukan nas yang telah terbentuk pada masa akhir terbentuknya
kesusasteraan kitab, sebelum pengkanonan Alkitab itu sendiri. [7]
III.
Tanggapan
Teologis
Dasar dari
Baptisan itu adalah sabda Kristus hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang
hendak dikatakan tentang baptisan berkaitan dengan kata-kata yang diucapkan
Kristus dalam pasal-pasal terakhir Injil Markus, “pergilah, jadikanlah semua
bangsa menjadi muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus.”
Dan “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak
percaya akan dihukum.”
Pada nats
diatas, Allah memerintahkan dan menetapkan Baptisan melalui kata-kata ini,
karena itu kita hendaknya tidak ragu-ragu apakah baptisan itu memang berasal
dari Allah, baptisan itu bukanlah hasil pikiran dan khayalan manusia semata.
Baptisan dalam nama Allah bukanlah sesuatu pekerjaan manusia atau yang dibaptis
oleh manusia melainkan oleh Allah sendiri. Karena itu, walaupun manusia yang
melakukannya baptisan itu benar-benar perbuatan Allah sekaligus.[8]
Pada zaman
Perjanjian Baru Baptisan ini diadakan sebagai ganti sunat yang ada pada masa
Perjanjian Lama. Agar dapat memahami arti dari baptisan maka kita harus
memperhatikan sunat terlebih dahulu yang ada pada Perjanjian lama. Sunat pada
dasarnya merupakan sebagai suatu permulaan untuk memasuki suatu masa yang
penting dan setiap anak yang sudah mencapai umur haruslah dia disunat.[9]
Baptisan ini juga merupakan sebagai tanda dan materai. Baptisan pertama-tama
menunjukan kepada kita suatu hal yang membuat kita rendah hati dan menegaskan
kita bahwa pada dasarnya kita adalah najis atau cemar sama sekali dan tabiat
kita yang lama haruslah dimatikan dan baptisan ini juga meyakinkan kita bahwa
kita harus ikut dalam kematian Kristus, ikut dikuburkan dengan Dia, siapa yang
meminta dibaptiskan, ia mengakui yang dalam hatinya ia adalah orang yang telah
hilang sama sekali dan orang-orang yang dibaptiskan itu sekali-kali tidak
mempunyai alasan untuk memuliakan dirinya sandiri atau menyombongkan dirinya.
Perjamuan Kudus
merupakan suatu perjamuan peringatan.
Yesus menghendaki kita memperingati Dia dengan menggunakan tanda-tanda yang
berupa anggur dan roti. Kita memperingati kematian Yesus, roti yang
dipecah-pecahkan dan anggur yang dituangkan itu menggambarkan kematian Yesus.
Perjamuan Kudus juga mengingatkan kita pada kejadian yang mengerikan dan
menyedihkan dibukit golgata.
Sebelum acara
perjamuan Kudus dilaksanakan maka pendeta terlebih dahulu membacakan formulir
yang berisikan tentang arti dari perjamuan Kudussetelah selesai membacakannya
pendeta mengambil roti dan memecah-mecahkannya dan berkata: Ambillah, makanlah
ingat dan percayalah bahwa tubuh Tuhan kita Yesus Kristus telah dipecahkan
untuk pengampunan dosa, sama halnya dengan anggur yang ambil setelah selesai
memecahkan roti lalu mengucapkan berkat. [10].
Perjamuan Kudus ditetapkan oleh Yesus pada malam hari diwaktu Ia diserahkan
kepada mahkama agama dan pada malam itu juga dirayakan dimana-mana perayaan
paskah (paskah = berjalan lewat).
Tujuan diadakannya
perjamuan Kudus merupakan sebagai pengampunan dosa, hal ini tanpak jelas dan
nyata dalam perkataan: “inilah tubuh dan darahku yang diserahkan dan
ditumpahkan bagi kamu untuk pengampunan dosa. Dengan dingkat dapat dikatakan
bahwa inilah yang mendorong kita untuk mengikuti sakramen ini dan untuk
memperoleh harta didalam dan melaluiNya kita menerima pengampunan dosa. Dan
perjamuan Kudus ini diberikan pada kita sebagai makanan dan penyegaran
sehari-hari sehingga iman kita dapat bertumbuh lagi dan memperbarui kekuatannya
dan tidak jatuh lagi dalam pergumulan melainkan semakin teguh.[11]
Perjamuan Kudus
juga dikatakan sebagai ‘Tanda’ dan Materai’, Perjamuan kudus sebagai Tanda menggambarkan dengan cara yang
dapat diamati, bagaimana Kristus telah membagi-bagikan hasil korbanNya pada
para orang milikNya. Seperti halnya dengan pendeta yang memecah-mecahkan roti
dan menuangkan anggur serta memberikan pada jemaat untuk dimakan dan diminum
demikian Kristus telah membagi-bagikan hasil korbanNya di kayu salib, yaitu
pengampunan dosa dan hidup yang kekal kepada para ornag milikNya. Dan sebagai Materai perjamuan kudus memberikan
kepastian kepada orang milikNya bahwa benar-benar segala dosa mereka telah
diampuni dan pada mereka telah diberikan kehidupan yang kekal. Sama halnya
dengan perjamuan kudus yang melambangkan korban Kristus demikian orang beriman
boleh memastikannya.[12]
Metode
Historis Kritis adalah sebuah metode yang sangat diperlukan bagi studi ilmiah
terhadap makna-makna teks kuno. Untuk mendapatkan pemahaman tentang teks-teks
tersebut, maka sangat dibutuhkanlah metode ini. Untuk lebih memahami tentang
metode ini sangatlah penting terlebih dahulu bagi kita untuk mengetahui tentang
bagaimana sejarahnya.
Unsur-unsur
tertentu dari metode tafsir ini sangatlah kuno dan telah digunakan oleh banyak
kalangan. Misalnya, para komentar sastra Yunani klasik, bapa-bapa gereja,
Oriegenes, Hieronimus dan Augustinus. Dimasa mereka, metode ini belumlah
berkembang sebab masih merupakan hasil
penyempurnaan yang dihasilkan, khususnya sejak zaman humanisme Renaissans
beserta gagasan mereka untuk kembali ke
sumber-sumber. Misalnya, dalam abad ke-18, Jean Astruc sudah puas dengan
keterangan bahwa Musa menggunakan beberapa sumber, khususnya dua sumber utama
untuk menyusun Kitab Kejadian. Pada abad ke-19, berkembang pula “Hipotesis
dokumentaria” yang berusaha memberikan
penjelasan tentang proses pengeditan Pentateukh. Di sisi lain, dengan cara yang
sama, para penafsir menggunakan hipotesis “dua sumber” untuk menerangkan baik
kesamaan maupun ketidaksamaan di antara ketiga injil sinoptik.
Herman
Gunkel membawa metode historis kritis ini dari beberapa sisi negatifnya,
khususnya dalam penggunaan kritik literer yang digunakan para ahli. Gunkel
membawa keluar gheto, yaitu
penggunaan kritik literer dengan cara memotong dan membongkar teks agar dapat
mengidentifikasi berbagai sumber dengan tujuan untuk menyusun kronologi
teks-teks biblis tersebut. Tentunya, hal ini akan membawa metode ini kepada
suatu keadaan yang akan merusak teks tersebut.[13]
Metode
historis kristis tidak hanya berhenti di situ saja, metode ini ini juga
dikembangkan oleh teolog feminis. Yaitu, hermeneutis feminis tidak
mengembangkan suatu metodologi yang baru melainkan, menggunakan metode tafsir
yang ada, salah satunya adalah metode historis kritis. Namun, terdapat dua
penambahan kriteria penelitiannya.
Pertama, kriteria feminis yang dipinjam dari gerekan pembebasan perempuan
segaris dengan arah gerakan teologia pembebasan yang lebih umum. Kedua, adalah
kriteris sosiologis yang didasarkan pada kajian tentang masyarakat dalam
periode alkitabiah, stratifikasi sosial dan peran yang diberikan masyarakat
kepada perempuan.[14]
IV.
Kesimpulan
Upacara
Perjamuan Kudus nampaknya juga sudah
dilakukan sejak semula di dalam persekutuan Kristen mula-mula. Polanya meniru
perjamuan akhir yang pernah dilakukan
oleh Yesus bersama muridnya. Pertama-tama dinaikkan doa, lalu pemecahan roti
yang langsung dibagi-bagikan kepada yang
hadir. Setelah itu menyusul acara makan bersama yang terdiri dari roti,
garam dan lauk ikan. Pada akhirnya anggur diberikan, setelah didoakan dan
dimohonkan berkat. Cara seperti itu mirip juga dengan acara makan dalam setiap
rumah-tangga Yahudi. Tetapi pada waktu yang kemudian, upacara Perjamuan Kudus
itu mengalami perkembangan oleh karena adanya berbagai sebab. Dalam 1 Kor. 11
kita mendapat kesan, bahwa acara pemecahan roti dan minum anggur itu sudah
bergeser ke akhir seluruh acara, yaitu sesudah acara makan bersama selesai. Hal
itu terjadi karena dalam acara makan bersama, yang dilakukan di tengah-tengah
seluruh upacara, ada kekacauan. Yang kaya makan kenyang, sedangkan para hamba
dan orang miskin kelaparan. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa upacara
Perjamuan Kudus sama sekali dipisahkan dari acara makan bersama. Acara makan bersama
itu tetap berlangsung dan disebut dengan istilah perjamuan kasih, atau agape (Yudas 12). Pemisahan itu secara
definitive terjadi sekitar tahun 150 Masehi, pada masa hidup Yustinus. Lama
kelamaan upacara Perjamuan Kudus itu berlangsung sendiri tanpa dikaitkan dengan
acara agape; bahkan terjadinya pun
tidak selalu pada hari-hari yang sama. Lama kelamaan perjamuan kasih itu tidak
dilakukan sama sekali, dan Perjamuan Kudus menjadi satu upacara yang berdiri
sendiri. Mereka yang tidak bisa datang ke Perjamuan Kudus diilayani di tempat
tinggal mereka. Mereka itu adalah yang sakit, tua atau karena sebab-sebab lain,
sehingga tidak bisa hadir dalam upacara.
Pada permulaan
abad kedua upacara Perjamuan Kudus rupanya mulai dipindahkan dari sore hari ke
pagi hari. Dengan pemindahan tersebut maka terjadilah juga penggabungan antara
upacara Perjamuan Kudus dengan pemberitaan Firman. Penggabungan itu cukup
menarik. Upacara Perjamuan Kudus hanya boleh diikuti oleh warga yang sudah
dibaptis, sedangkan pemberitaan Firman boleh diikuti oleh seluruh warga. [15]
Baptisan
menunjuk kepada janji Allah untuk mengampuni dosa manusia dan bilamana manusia
menerima janji ini dengan iman, ia akan menerima pengampunan ini. Kalau
demikian, maka dapat timbul pertanyaan, apakah tidak cukup untuk mempercayai
janji pengampunan saja, tanpa menerima baptisan (ataupun Perjamuan Kudus).
Sebenarnya demikianlah konsekuensi ajaran Luther mengenai sakramen. Oleh sebab
itu, pada mulanya ia mengatakan bahwa orang percaya bahwa ia dibenarkan karena
iman, pasti diselamatkan, juga bila ia di luar kesalahan sendiri tidak pernah
menerima sakramen. [16]
V.
Saran
Tulisan-tulisan A.A. Sitompul telah banyak mewarnai dunia
teologi. Hal ini ditunjukkan dengan sumbangan pikirannya baik pribadi maupun
tim dalam menerbitkan buku-buku teologi. Misalnya, pembahasan tentang metode
penafsiran Alkitab, yang bekerja sama dengan Ulrich Bayer, selain itu juga
hal-hal atau pokok-pokok tentang ajaran kekristenan seperti Sakramen, bentuk
tata kebaktian atau peribadatan. Menurut kelompok, tulisan-tulisan tersebut
perlu untuk direfisi sehingga dapat diperbanyak untuk kalangan yang
membutuhkannya, terkhususnya calon-calon pelayan gereja.
[1]
Tim Penyusun, Buku Panduan,STT HKBP, Pematang siantar: STT-HKBP,
1987
[2]
A. A. Sitompul, Bimbingan Tata Kebaktian Gereja, (Jakarta:
BPK-GM, 1993), hlm. 163
[3]
Ibid, hlm. 166
[4]
Ibid, hlm. 166
[5]
Ibid, hlm. 35-36
[6]
Ibid, hlm. 37
[7]
file:///D:/Internet%20Data/Bahan2%20tugas%20Q/Historis%20kritis.htm, Selasa, 4 Mei 2010, pukul. 19.30 WIB
[8] Martin Luther, Katekismus Besar, (Jakarta:BPK-GM,
2007), hlm. 183-185
[9] Dr. J. Verkuyl, Aku Percaya, (Jakarta; BPK-GM, 2001), hlm.
220-221
[10] Ibid, hlm. 230-231
[11] Op Cit, hlm. 211-212
[12] Harun Hadiwijono, Inilah Sahabatku, (Jakarta; BPK-GM,
2006), hlm. 172
[13]
V. Indra Sanjaya (Ed.), Penafsiran
Alkitab dan Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 43-45
[14]
Ibid, hlm. 88
[15]
Wismoady Wahono, Di sini
Kutemukan, (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 460-461
[16]
Christian den Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta: BPK-GM,
1995), hlm. 191
Comments
Post a Comment