MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN
DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA[1]
1.
Biografi
Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir
pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau
Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke
Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada
26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek
dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang
berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.
Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas
Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967
dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang
berjudul Die Konkretisierung der
Messiasvorstellung nach dem Zusammenbruch Jerusalems, yang telah
diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia Jakarta dalam bentuk ringkasan pada tahun
1976.[2]
Selama berada di Jerman, beliau melayani sebagai pendeta jemaat Jerman di
Christuskirche Othmarschen, Hamburg (1967-1973).[3]
Beliau juga pernah mengecap Pendidikan Non Formal tahun 1978-1979: Work Study
Element di Menlo Park, California, USA dan Seminar Multi Regional Project on
Technical Information and Education di Washington DC, USA, atas undangan DEPLU
Amerika Serikat melalui BPP Teknologi. Mengikuti sejumlah penataran dan seminar,
di antaranya: Dinas bersama Staf dari PDIN mewakili Negara RI ke Jerman Barat untuk
Studi Perbandingan Sistem Dokumentasi dan Perpustakaan 1979. Peserta dan
penceramah pada seminar On Emerging
Consciousness for A New Humankind, Gurukul, Madras, India, 1985, juga
Peserta dan Penceramah dalam LUCIA
Assembly, Bangkok, Thailand 1987.
Sekembalinya ke tanah air, beliau bertugas
sebagai dosen di Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan menjadi Dekan
di fakultas yang sama sejak 1974-1976. Beliau juga diserahi tugas sebagai Pimpinan
Umum/Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi Surat Parsaoran Immanuel dan Ketua Umum
Yayasan Perguruan HKBP Pematangsiantar (1974-1976). Ketua Rapat Pendeta HKBP sejak 1974-1981. Kepala perpustakaan
Advanced Technology Division Pertama serta Kepala Dokumentasi dan Perpustakaan
BPP Teknologi, Jl. Thamrin, Jakarta 1977-1979. Rektor STT-HKBP Pematangsiantar 1981-1986.
Pejabat Ephorus HKBP (Desember 1992-Februari 1993) dan Sekretaris Jenderal HKBP
1992-1998. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PGI-Wilayah Jawa
Barat 1988-1992 dan Anggota Komisi Teologi, Yayasan BPK Gunung Mulia Jakarta
1989-1992. [4]
Sejak tahun 1979 beliau menjadi dosen tetap bidang Perjanjian Lama di STT-HKBP
Pematangsiantar.[5]
Beberapa karya tulis Pdt. Dr. S.
M. Siahaan, di antaranya: Ruakh Jahwe in der nachexilischen Prophetie
(Sacharja, Joel und Tritojesaya)/Skripsi Magister Teologi, Die Konkretisierung
der Messiasvorstellung nach dem Zusammenbruch Jerusalems/Disertasi Doktor
Teologi, Bahwa Dia akan Mendahului Kamu (Kumpulan Khotbah), Konkretisasi Pengharapan
akan Mesias sesudah Kejatuhan Yerusalem, Pengantar ke dalam Bahasa Ibrani (bersama
dengan Dr. D. L. Baker), Cintailah yang baik (Kumpulan Tulisan/Ceramah), Perdamaian
(Syalom) dalam Perjanjian Lama, Tidak Ada yang Mustahil bagi Allah, 1986 (sebagai
buku kenangan Jubileum 50 tahun S. M. Siahaan dan 25 tahun pernikahannya dengan
Ny. S. M. Siahaan br Lumbantobing, yang dirayakan pada tanggal 7 April 1986 di
Kampus STT-HKBP Pematangsiantar), Melihat Jauh ke Depan, Pengharapan Mesias
dalam Perjanjian Lama, Tafsiran Kitab Daniel (bersama dengan Robert. M.
Paterson), dan Garis-garis Besar Perjanjian Lama.[6]
2.
Pemikiran - pemikiran Teologis
2.1. Pengharapan
Mesianis dan Sejarah Keselamatan sebagai Benang Merah mulai dari Kitab Kejadian
sampai Kitab Maleakhi hingga Perjanjian Baru
Umat Kristen mengimani bahwa
Yesus Kristuslah Mesias yang telah datang ke dunia ini untuk menyelamatkan
manusia dari dosa agar dapat memperoleh hidup kekal pada saat kedatanganNya
kembali kelak. Akan tetapi itu adalah pemahaman yang ada sekarang, yaitu
setelah Yesus Kristus datang, mati di kayu salib, dikuburkan dan naik ke surga,
seperti yang disaksikan oleh para muridNya dalam Perjanjian Baru. Sebelumnya umat Israel
sebagai bangsa pilihan Allah sudah menantikan kedatangan mesias, dengan
berpegang pada nubuat para nabi. Berdasarkan nubuatan para nabi dan atas
tuntunan Roh Kudus, para murid Yesus dapat mengenali Tuhan Yesus sebagai Mesias
yang dijanjikan.[7]
S. M. Siahaan menuliskan bahwa
pokok yang paling penting dalam menelusuri semua garis-garis besar kitab-kitab
Perjanjian Lama adalah Sejarah
Keselamatan Allah untuk bangsaNya, yang penggenapannya di dalam diri Mesias
yang lahir di Betlehem. Peristiwa
Betlehem dirayakan oleh seluruh umat Kristiani di seluruh dunia sebagai penggenapan
semua nubuat Perjanjian Lama.[8]
Hal ini dapat kita lihat dari beberapa tipologi,
seperti keselamatan dan pembebasan umat Allah dari perbudakan Mesir oleh Musa
merupakan tipologi akan keselamatan dan pengampunan dosa manusia oleh Yesus
Kristus. Musa sebagai penyelamat untuk bangsa Israel adalah tipologi untuk
Yesus Kristus sebagai Juruselamat dunia.
Kejadian 3:15 menunjukkan Kasih
Setia Allah untuk melanjutkan Sejarah
KeselamatanNya. Beberapa ahli menganggap Kejadian 3:15 sebagai ayat Messianik, yang kelanjutannya dalam
kitab-kitab yang lain sudah semakin nampak. Selama umat berada di padang gurun,
Musa sudah menubuatkan kedatangan seorang Nabi
Besar dari “tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti
aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan; dialah yang harus kamu dengarkan” (Ul
18:15). Nubuatan Messianik ini belum dimengerti umat pilihan sampai akhirnya
mereka berada di tanah perjanjian, dan nubuatan ini semakin jelas dan nyaring
dinubuatkan oleh seorang nabi istana, yaitu nabi Natan yang dengan jelas menjanjikan
masa depan yang kokoh bagi dinasti Daud (2 Sam 7:1-17).[9]
Beberapa ahli Perjanjian Lama,
termasuk S. M. Siahaan, menyatakan bahwa pengharapan Mesias bersumber dari
nubuat nabi Natan tersebut.[10]
Nubuatan ini kemudian diambil alih dan dikembangkan serta diinterpretasikan
oleh para nabi berikutnya, baik nabi-nabi klasik pra-pembuangan (Hosea, Amos,
Yesaya dan Mikha), demikian juga nabi-nabi pada zaman pembuangan (Yeremia,
Yehezkiel, dan Deutroyesaya) serta nabi-nabi pasca-pembuangan (Hagai, Zakharia
dan Tritoyesaya) dan disosialisasikan para nabi tersebut pada zamannya
masing-masing dengan menggunakan bahasa dan istilah yang dimengerti masyarakat
pendengar nubuatan para nabi tersebut.[11]
2.1.1. Arti
kata “mesias”[12]
Kata
Mesias berasal dari bahasa Aram mesyiha,
yaitu dialek dari bahasa Ibrani masyiah,
yang berarti “yang diurapi”. Kata Aram mesyiha
sama dengan bahasa Ibrani hamasyiah,
yang dua-duanya diterjemahkan dalam Septuaginta dengan ho khristos. Pada
awalnya, kata ini menujuk kepada raja yang sedang berkuasa di Kerajaan Israel
Raya, terutama yang berasal dari dinasti Daud. Dalam Perjanjian Lama, istilah
ini tidak hanya digunakan terhadap raja Yehuda dan Israel yang sedang
memerintah, tetapi juga untuk raja-raja
di luar raja Yehuda dan Israel, seperti terhadap raja Koresy, raja Persia yang
membawa Yehuda keluar dari pembuangan Babel (Yes 45:1). Pernah pula digunakan
untuk seorang Imam Besar dalam Imamat 4:3,5. Lambat laun istilah ini digunakan untuk
Raja Keselamatan yang akan datang, sebagai pengharapan umat Israel, yang sering
dikumandangkan oleh para nabi. Raja yang dinanti-nantikan tersebut diberitakan
dan dinubuatkan sebagai keturunan raja Daud, yang telah dikumandangkan oleh
nabi Natan dalam 2 Samuel 7:1-17.
2.1.2. Pengharapan
mesianis dalam kitab para nabi
a. Amos
dan Hosea
Para
nabi masa pra-pembuangan, sebagai kelanjutan dari nubuat nabi Natan (2 Sam 7)
telah menghubungkan pengharapan mesianis mereka dengan dinasti Daud. Amos
mungkin nabi pertama yang mengikuti nubuat nabi Natan. Amos melihat bahwa hubungan
Allah - Israel tidak akan putus sama
sekali, walupun Israel tidak setia. Tetapi mereka yang tidak mengindahkan peringatan
ini, pasti akan hancur (Am 9:10). Mereka yang berpaling kepada Yahweh akan
diselamatkan dan dibawa ke masa keselamatan (Am 5:6, 14-15). Masa keselamatan
itu adalah kerajaan Daud seperti pada masa awal kerajaan. Dinasti Daud yang
pamornya telah menurun, akan kembali memerintah Efraim dan Yehuda yang bersatu.[13]
Sedangkan Hosea dalam pengharapan mesianisnya mencetuskan pemikiran bahwa raja
baru yang akan berkuasa atas Israel dan Yehuda berasal dari dinasti Daud.[14]
b.
Yesaya (7:13-16; 9:5-6; 11:1-10)
Pernyataan
keselamatan bagi Yesaya berakar pada gagasan raja sebagai mesias. Melalui
Yesaya 9:5-6, nabi Yesaya menunjukkan bahwa mesias yang akan datang dan
memerintah sisa Israel yang selamat penuh keadilan dan membawa keselamatan
abadi. Mesias ini adalah tokoh masa depan. Nenek moyang dinasti Daud
digambarkan sebagai tuggul dan keturunannya sebagai tunas-tunas baru. Dengan
nubuat ini Yesaya melengkapi gambaran sang Mesias. Dinasti Daud sudah merosot,
hanya tunggulnya yang tinggal dari pohon yang tadinya besar. Tetapi tunggul-tunggul
ini akan menghasilkan penguasa yang jauh lebih besar daripada penguasa-penguasa
Yehuda sebelumnya, sebab Roh Allah ada padanya. Penguasa dari keturunan Daud
baru ini akan membawa hukum, keadilan dan kebenaran bagi bangsa Israel yang
terserak juga bangsa-bangsa lain akan datang padanya.[15]
c. Mikha
Mikha
menyatakan bahwa raja Daud yang akan datang kelak bukan hanya berkuasa atas
Israel dan Yehuda, melainkan pemerintahanNya pun sampai ke ujung-ujung bumi (Mi
5:1-4a).[16] Nubuatan
Mikha tentang kedatangan mesias dapat disimpulkan ke dalam empat pokok, yaitu: raja
yang akan datang sudah ada sejak masa sebelum ada dunia, yang dimaksud dengan
mesias adalah seorang keturunan Daud, ia
adalah orang yang datang kembali, dan ia lahir bukan di kota besar Yerusalem melainkan
di kota kecil Betlehem.[17]
d. Yeremia
Yeremia
melepaskan pengharapan mesianis (yang politis) dari dinasti Daud, sebab
menurutnya kerajaan itu turut bersalah atas kehancuran Yerusalem (22:30). Yeremia
mengajukan gagasan bahwa pada kedatangan raja yang akan datang itu ada jabatan
keimaman yang menjamin kebangkitan kembali pemujaan dan peribadatan bangsa
Israel, di bawah pimpinan para imam (33:17-18). Inilah saat di mana lahir
pemikiran akan kedatangan mesias yang imami di samping yang politis.[18]
e. Yehezkiel
Tidak
seperti Yesaya dan nabi-nabi lainnya, Yehezkiel tidak menganggap mesias bekerja
atas nama Allah membawa keselamatan. Hal ini disebabkan karena Yehezkiel,
sebagai seorang imam dalam nubuatnya membawakan teologi para imam, yang mengatakan satu-satunya sumber keselamatan
pada masa akhir adalah Allah sendiri. Jadi Yehezkiel menggarisbawahi peranan
Allah di tengah-tengah bangsaNya.[19]
Yehezkiel menubuatkan bahwa mesias yang akan datang akan mengumpulkan seluruh
umat Israel untuk kembali menyembah dan memuja Allah, layaknya gembala dengan
kawanan dombanya (34:23; 37:24). Yehezkiel juga membicarakan tentang keimaman
yang akan melengkapi fungsi mesias (21:28-32).
f. Hagai
dan Zakharia
Awalnya
Hagai dan Zakharia meyakini bahwa dalam diri Zerubabel, keturunan Daud yang
mempunyai peranan besar dalam kembalinya bangsa dan pembangunan bait Allah,
terwujud penggenapan pengharapan mesianis bangsa Israel (Hag 2:21-24). Sampai
pada akhir nubuatnya Hagai tetap memegang teguh keyakinannya tersebut bahwa Zerubabel
adalah mesias yang dijanjikan itu, sehingga tidak menekankan peranan keimaman,
sedangkan Zakharia dalam nubuatnya yang berasal dari waktu yang lebih muda dari
Hagai, setelah melihat nilai politis dari Zerubabel yang nihil, kembali
menggali pemikiran-pemikiran keimaman. Zakharia melihat dua tokoh mesianis
(4:11), yaitu mesias imami dan mesias rajani atau politis. Akan tetapi dalam
Zakharia 9:9, pengharapan mesias itu kembali dinyatakan dalam satu orang yang
dengan jelas berbentuk tunggal. Zakharia mempersatukan pengharapan akan mesias
yang politis dan yang imami dalam satu pribadi. Zakharia 9:9 merupakan jembatan
kepada Mesias Perjanjian Baru, yang digenapi oleh Yesus Kristus, di mana
jabatan raja, imam dan nabi dipersatukan dalam diriNya.[20]
Yesus Kristus adalah Mesias yang telah lama diharapkan dan seperti yang
diungkapkan Injil Matius, Dialah Juruselamat dunia, yang menjadi Benang Merah Sejarah Keselamatan yang
telah dimulai dengan Penciptaan dan diteruskan dalam Sejarah Israel dengan
pemberitaan nabi-nabi dan harapan dikumandangkan juga dengan nyanyian-nyanyian
dalam kitab Ketubim (terutama kitab Mazmur), yang perwujudannya dikumandangkan
malaikat kepada gembala di Betlehem (Luk 2:15). Itulah malam Natal yang
menggenapi seluruh nubuatan dalam Perjanjian Lama dan yang membawa kegembiraan
bagi seluruh manusia dan dunia.[21]
2.2. Kepemimpinan
Kristiani
2.2.1. Tokoh
Pemimpin dalam Alkitab
Kepemimpinan adalah suatu kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain dengan tujuan tindak-tanduk orang itu
dapat sesuai dengan keinginan sang pemimpin. Dalam tradisi Jawa dikenal adanya
tiga jenis peranan pemimpin, yaitu: Ing
ngarso sung tulada (di muka sebagai teladan), Ing madya mangunkarsa (di tengah sebagai penggerak), Tut wuri handayani (di belakang sebagai
pendorong). Prinsip kepemimpinan seperti disebut di atas dengan sendirinya
mempunyai wibawa yang penuh dengan pengabdian, kejujuran, kebijaksanaan dan
berencana.[22] Sependapat
dengan Ds. Dr. A. Lumbantobing, S. M. Siahaan menyatakan bahwa kepemimpinan
Kristen merupakan salah satu bagian dari pelayanan, yaitu yang mencakup
kesaksian iman kepercayaannya, kapan, di manapun dan dalam situasi yang
bagaimanapun; penggembalaan (kerelaan untuk mencari domba yang hilang dan membawanya kembali kepada persekutuan
kristiani); dan diakonia.[23]
Kepemimpinan Kristen tidak jauh
berbeda dengan pengertian kepemimpinan pada umumnya. Perbedaannya hanya
terletak pada tujuannya. Kepemimpinan
Kristen bertujuan untuk menyalurkan dan merealisasikan kehendak Tuhan. Jadi
tidak hanya mengarah kepada tujuan organisasi itu sendiri. Semua pemimpin
Kristen bertanggung jawab kepada Allah. Oleh karena itu seorang pemimpin harus
sadar bahwa tugas dan tanggung jawabnya adalah merupakan suatu panggilan untuk
berbuat baik, sehingga daripadanya tidak dijumpai sifat-sifat yang memenuhi
ambisi semata demi memperkaya diri sendiri. Dengan demikian seorang pemimpin
pertama-tama harus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, yakni memperlakukan
dirinya sebagai orang pertama yang dipimpin dalam kepemimpinannya.[24]
Dalam Perjanjian Lama, kita mengenal
seorang pemimpin Israel yang cukup berhasil dalam memimpin bangsanya, baik dari
segi pemerintahan maupun dari sudut keagamaan. Dialah raja Daud, seorang yang
ahli dalam strategi perang, ahli penatalayanan pemerintahan, serta mampu mempergunakan
potensi yang ada pada rakyatnya demi tujuan bersama. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai raja, Daud mempunyai hubungan yang erat dengan Allah sehingga
ia melakukan hal yang berkenan di hadapan Allah. Selama kepemimpinannya,
pribadi Daud menjadi titik pemersatu, sehingga selama dia menjadi raja di
Israel tercipta ketertiban dan kesejahteraan bangsanya. Bahkan di kemudian hari
Daud menjadi prototipe dari
pengharapan Mesias.[25]
Selain
Daud, masih dikenal pula seorang tokoh pemimpin dalam sejarah kehidupan bangsa
Israel. Apabila dilihat dari segi politik dia merupakan pendiri bangsa Israel
sehingga segala tindak-tanduknya menjadi pedoman peraturan/tata tertib
kehidupan sehari-hari bangsa Israel. Tokoh itu adalah Musa. Sebelum menjadi
seorang pemimpin, Musa dipersiapkan dalam dua lapangan kehidupan yang berbeda. Pertama,
selama 40 tahun di lingkungan istana yang penuh dengan kemewahan dan kedua di Midian yang penuh
dengan kesederhanaan hidup sebagai gembala. Kedua lapangan kehidupan ini menempa
Musa sebagai tokoh pemimpin yang matang dan berwibawa. Beberapa hal pokok yang menunjang
keberhasilan kepemimpinan Musa, yaitu:[26]
a.
Allah turut serta dalam kepemimpinan
Musa. Ia menjadi seorang pemimpin bukanlah karena ambisi pribadinya, melainkan
karena pengutusan dan kehendak Allah.
b.
Peran serta anggota keluarga Musa. Harun
yang bertindak sebagai imam dan juru bicara, Miryam sebagai juru nyanyi, Zipora
(istrinya) yang mengingatkan Musa ketika ia melalaikan perintah Tuhan, dan Yitro
(mertuanya) yang menasehati Musa untuk mengangkat pembantunya dan melakukan
pembagian kerja.
c.
Mempunyai dan menjalin hubungan yang
baik dengan para penatua yang mempunyai pengaruh dalam kelompoknya.
d.
Membuat pembagian kerja. Hal ini
dilakukan Musa berdasaarkan nasehat mertuanya, Yitro. Orang-orang yang diangkat
Musa bertugas untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah umat Israel
yang dianggap tidak perlu harus diselesaikan oleh Musa.
e.
Pengkaderan. Sebelum Musa meninggal, ia
mempersiapkan calon penggantinya yaitu Yosua. Sebelum menyerahkan jabatan
pimpinan kepada Yosua, Musa terlebih dahulu membimbing Yosua.
2.2.2. Ciri-ciri
seorang pemimpin Kristen
Menurut
S. M. Sihaan, ada beberapa hal yang menjadi ciri-ciri seorang pemimpin Kristen
dan seharusnya ada dalam diri setiap pemimpin Kristen.
Intelegensi. Umumnya seorang pemimpin
harus dan akan mempunyai taraf intelegensi yang lebih tinggi dari yang
dipimpinnya. Seorang pemimpin harus mampu membuktikan kemampuan analisanya
untuk dapat melihat masalah yang luas dan hubungan-hubungan yang rumit, yang
harus dihadapi. Seorang pemimpin harus memiliki bahasa yang baik untuk
menyampaikan dan menjelaskan pendapatnya, memotivasi anggotanya dan
berkomunikasi dengan semua pihak
Kedewasaan sosial. Pemimpin yang
berhasil bukan hanya pemimpin yang mampu menguasai bidangnya, akan tetapi juga
mempunyai pengetahuan umum. Seorang pemimpin harus mempunyai tingkat emosional
yang stabil dan tidak mempunyai sikap-sikap yang negatif. Seorang pemimpin juga
harus mampu mempercayai kemampuannya sendiri.
Mempunyai motivasi dari dalam. Seorang
pemimpin hendaknya tidak cepat merasa puas dengan hasil yang telah diperoleh
dan juga tidak cepat putus asa jikalau rencana/rancangannya menemui kegagalan.[27]
Tidak tamak akan kemuliaan dan
kepentingan sendiri. Seorang pemimpin hendaknya tidak lebih
mengutamakan kepentingannya pribadi daripada kepentingan bersama. Karena hal
ini akan menyebabkan kehancuran dan perpecahan.
Tidak takut mengikuti jejak Kristus. Kisah
hidup Yesus harus menjadi teladan dalam hidup seorang pemimpin. Seorang
pemimpin Kristen tidak boleh gentar untuk mengalami penderitaan sebagaimana
yang telah Kristus alami dan bersedia menempuh jalan yang pernah dijalani Yesus.
Tidak
akan menghentikan pelayanan. Pemimpin berarti pelayanan pengabdi dan menjadi
hamba bagi saudara-saudaranya. Bagi orang Kristen menjadi pemimpin berarti
mengambil satu tanggung jawab yang berat, suatu pekerjaan yang tidak menindas,
tidak memperkosa hak-hak azasi manusia, tidak menginjak-injak hukum, melainkan
selalu menjalankan pelayanan dan pengabdian.[28]
2.3. Kebudayaan
Batak
Dalam
bahasa Batak Toba, istilah yang digunakan untuk kebudayaan ialah ugari. Istilah ini kadang-kadang
disamakan saja dengan adat. Adat Batak menyentuh segala bidang kehidupan
masyarakat Batak yang mengatur tata tertib kehidupannya. Dalam kebudayaan Batak
kita dapat melihat beberapa aspek yang turut berpengaruh dalam pembentukan dan
pembangunan manusia seutuhnya (terutama masyarakat suku Batak), tanpa
menghilangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, di antaranya:[29]
a.
Marsiadapari
Marsidapari
adalah konsep tentang bergotong royong berdasarkan rasa solidaritas yang besar.
Marsiadapari mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena memang hampir semua
karya manusia biasanya dilakukan dalam rangka kerja sama dengan orang lain.
Contoh lain yang dapat ditujukkan oleh sifat kegotongroyongan yang dimiliki
masyarakat Batak adalah kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan, sebagaiman
yang digambarkan dalam umpama berikut:
Aek godang tu aek laut
Dos ni roha sibaen na saut
Dengan
perkataan lain, masyarakat Indonesia (khususnya suku Batak) mengenal sistem kemasyarakatan yang terbuka
dalam menghadapi sesuatu masalah yang timbul.
b. Martutur
Orang
Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilinier. Suatu kelompok
kekerabatan itu dihitung dengan satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Dalam
kehidupan sehari-hari hubungan itu dinyatakan dengan mempergunakan suatu
panggilan tertentu yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan.
Misalnya
kelompok kerabat dari pihak istri disebut hula-hula, kelompok kerabat dari
pihak penerima gadis disebut dengan boru,
dan kelompok sendiri disebut dongan
sabutuha. Berdasarkan ketiga kelompok inilah kedudukan seseorang ditentukan
dalam hubungan antar anggota masyarakat. Sistem ini dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu.
c. Perkawinan
Pesta
perkawinan merupakan salah satu upacara adat yang terpenting dalam masyarakat
Batak. Oleh karena hanya orang yang sudah kawin yang berhak mengadakan upacara
adat, pemberian nama kepada anak, dll. Di samping itu pesta perkawinan
merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari pengantin
laki-laki dengan Dalihan Na Tolu pengantin perempuan. Oleh karena itu
perkawinan bagi orang Batak bukanlah semata-mata persoalan pribadi suami-istri
saja, melainkan melibatkan seluruh marga kedua orangtua pengantin. Perkawinan
orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan Dalihan Na Tolu dan
upacara agama, serta catatan sipil hanyalah pelengkap.
Perkawinan yang dianggap ideal dalam
masyarakat Batak adalah perkawinan antara orang-orang yang marpariban, yaitu antara seorang laki-laki dengan anak perempuan
saudara laki-laki dari ibunya. Dengan demikian maka seorang laki-laki Batak
sangat pantang sekali kawin dengan wanita dari marganya sendiri dan juga dengan
anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya. Namun ternyata pada masa kini
sudah semakin banyak orang yang melanggar hal ini.
Kebudayaan Batak adalah sesuatu yang
amat kaya, terdiri dari banyak benda-benda hasil karya, yaitu seluruh hasil
total dari fisik dan aktivitas, perbuatan dan hasil karya masyarakat Batak,
yang berupa benda-benda atau hal hal yang dapat diraba dan dilihat. Hasil karya
itu di antaranya seni musik, tari, torsa-torsa, dan sistem sosial masyarakat
(sistem perkawinan, hubungan antar anggota masyarakat).
Isi dari
kebudayaan Batak adalah menuruti atau menghargai amanah tona dari para leluhur. Bagi kehidupan orang Batak masalah tona ini
amat dihargai. Setiap keturunan yang menghargai dan mematuhi amanah dari leluhurnya
akan melihat betapa warisan itu merupakan sesuatu yang sangat berharga sekali. Oleh
karena itu memelihara warisan kebudayaan Batak berarti juga melestarikan nilai-nilai
luhur dari kebudayaan itu sendiri. Bagaimanapun juga suatu kebudayaan akan mengalami
kontinuitas bila didukung oleh generasi sekarang dan generasi mendatang. Demikian
juga dengan kebudayaan Batak pada masa yang akan datang akan mengalami kehancuran
satu-persatu dan mungkin juga akan punah dengan sendirinya apabila putra-putri
Batak tidak menghargainya.
Pada masa kini ada kecendrungan di
kalangan generasi muda sekarang yang tidak lagi menaruh minat terhadap
kebudayaan Batak. Hal ini terutama sangat menonjol di kota-kota besar, di mana
generasi muda Batak tidak lagi mampu berkomunikasi dengan bahasa Batak, tidak
mengetahui bagaiman manortor, terutama tidak mengerti sama sekali membaca dan
menulis surat (huruf) Batak. Oleh karena itu apabila kita ingin tetap
mempertahankan kebudayaan Batak, maka sudah selayaknya kita memikirkan cara-cara
yang terbaik untuk melestarikan kebudayaan Batak. Inilah yang perlu dipikirkan
secara bersama-sama oleh seluruh orang Batak.
Akan tetapi walaupun demkian tidak
semua unsur-unsur dari kebudayaan Batak dapat kita terima secara utuh, karena
iman kepercayaan kita kepada Tuhan. Dalam hubungan inilah kita dihimbau untuk
melihat unsur-unsur yang mana yang perlu dilestarikan dan yang mana yang
sebaiknya disederhanakan.[30]
3.
Tanggapan Teologis
Ada dua pemikiran
S. M. Siahaan yang akan ditanggapi oleh kelompok, yaitu kepemimpinan Kristiani
dan kebudayaan Batak.
Pandangan S. M. Siahaan mengenai
kepemimpinan Kristiani sudah cukup jelas dan lengkap. Akan tetapi masih
terdapat beberapa kekurangan dalam beberapa hal. John Stott menuliskan dalam
bukunya beberapa unsur yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Kristen, yang
mana sebelumnya unsur-unsur tersebut belum dicantumkan oleh S. M. Siahaan,
yaitu seorang pemimpin harus memiliki visi ke depan; seorang pemimpin tidak
cukup hanya memiliki visi (terkesan sebagai pemimpi) tapi ia juga harus berbuat,
visi harus dibarengi dengan kerja keras, tanpa impian dan visi usaha yang
dilakukan akan kehilangan arah dan semangat, tapi tanpa kerja keras yang nyata
impian itu akan menguap; seorang pemimpin harus memiliki ketekunan, walaupun
banyak perlawanan yang diterimanya serta pengorbanan yang dituntut darinya; seorang
pemimpin adalah orang yang disiplin, disiplin dalam mengendalikan nafsu-nafsu
pribadinya serta mengatur waktu dan tenaganya sendiri, namun yang lebih
istimewa dan utama lagi adalah disiplin untuk terus berharap hanya pada Allah
yang telah memberikan tugas dan tanggung jawab itu kepadanya.[31]
Sependapat dengan S. M. Siahaan,
John Stott juga menilai kepemimpinan Kristiani adalah sebagai pelayanan. Bagi
orang Kristen menjadi pemimpin tidak sama dengan menjadi tuan. Panggilan kita
adalah melayani, bukan untuk menguasai. Walaupun kepemimpinan tidak mungkin
tanpa otoritas namun otoritas yang dimiliki oleh pemimpin Kristen berbeda
dengan yang lainnya. Otoritas dengan mana pemimpin Kristiani memimpin bukanlah kekuasaan
melainkan kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan melainkan
persuasi.[32] Itulah
sebabnya Victor Tinambunan menyatakan bahwa dengan menyadari kepemimpinan
Kristen sebagai fungsi pelayanan, maka sebenarnya kepemimpinan tersebut tidak
pantas untuk diperebutkan.[33]
Pemaparan S. M. Siahaan mengenai kebudayaan
sudah cukup jelas, namun beliau tidak menyatakan dengan tegas bagaimana seharusnya
sikap seorang Kristen dalam menyikapi kebudayaan. Richard Niebuhr menyatakan
ada lima sikap orang Kristen dalam menyikapi kebudayaan, yaitu: sikap radikal
(sama sekali tidak mengakui adanya hubungan antara iman dengan kebudayaan,
sikap akomodatif (melihat nilai-nilai kebudayaan tidak bertentangan dengan iman
Kristen, sikap sintetik (memadukan iman Kristen dengan kebudayaan), sikap
dualistis (memberlakukan kebudayaan secara mendua, ada yang ditolak dan ada
yang diakomoder), dan sikap transformatif (menerima, mentransformasi, dan
memperbaharui kebudayaan dengan nilai-nilai kekristenan).[34]
Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing menyatakan bahwa orang Kristen Batak ada kalanya
harus memilih, karena ada perbedaan yang sangat kontradiktif antara nilai-nilai
adat Batak dengan nilai-nilai kekristenan. Kalau tidak memilih, maka ia akan bersifat
ambifalens, bersikap mendua dalam
memelihara kekristenan dan kebatakannya. Ketegangan dalam diri orang Kristen
Batak tersebut sedikit banyaknya dapat dinetralisir oleh gereja yang berlatar
belakang etnis Batak, sebagai contoh HKBP, GKPS, GBKP, dsb. Gereja-gereja
tersebut adalah satu-satunya institusi formal yang memelihara bahasa, adat dan
pola pikir Batak. Persekutuan yang terdapat di dalamnya telah terakomodir
dengan nilai-nilai kultural, budaya Batak dan nilai-nilai Kekristenan secara
sekaligus.[35]
4.
Kesimpulan dan Saran
4.1.
Kesimpulan
a.
Pengharapan Mesianis dan Sejarah Keselamatan
Pengharapan Mesianis dan sejarah keselamatan adalah satu kesatuan.
Keduanya merupakan jalinan dan benang merah yang telah ada bahkan sejak dari masa
penciptaan dan semakin dipertegas oleh nubuatan para nabi. Pengharapan Mesianis
dan sejarah keselamatan yang dilakukan oleh Allah atas umatNya menjadi satu
dalam pribadi yang tunggal, yaitu Yesus Kristus. Pengharapan Mesianis dan
sejarah keselamatan belum berhenti, namun terus berlanjut sampai pada masa kini
dalam persekutuan orang-orang Kristen dan mencapai kesempurnaannya dalam
kedatangan kembali Kristus ke dunia.
b. Kepemimpinan Kristiani
Yang
paling mendasar dari kepemimpinan Kristen adalah bahwa kepemimpinan tersebut
dipandang sebagai suatu pelayanan bukan kekuasaan. Kasihlah yang menjadi dasar
seorang pemimpin Kristen dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya dan
yang menjadi teladannya adalah sikap kepemimpinan Yesus Kristus.
c. Kebudayaan Batak
Setiap orang Batak wajib mengenal
dan melestarikan kebudayaan Batak. Namun upaya pelestarian itu tidak dapat
dilakukan sekaligus dalam satu waktu. Setiap orang Batak, terutama yang telah
memeluk agama Kristen, harus mampu mengambil sikap yang benar dan tepat dalam menjalankan
kekristenannya dan tugas tanggung jawabnya dalam melestarikan kebudayaan
leluhurnya.
4.2. Saran
S.M. Siahaan adalah seorang teolog
Batak dalam bidang Perjanjian Lama. Namun karya-karya tulisnya tidak hanya berfokus
pada hal-hal teologis semata. Ia juga memberi perhatian terhadap masalah kebudayaan,
pendidikan dan pembinaan, pemuda, masyarakat, negara dan politik. Ini
menunjukkan bahwa beliau memiliki pemikiran dan wawasan yang luas. Itulah sebabnya
sebaiknya para penatua dan seluruh jemaat membaca karya-karya tulisnya. Namun
sebelumnya, hendaknya buku-buku beliau (terutama yang masih cetakan lama)
dicetak ulang dan direvisi, serta semakin diperbanyak jumlahnya.
[1] Sajian yang disampaikan
oleh kelompok pada mata kuliah Teologi Kontekstual I di STT-HKBP
Pematangsiantar, 3 Mei 2010.
[2] S.
M. Siahaan, Cintailah yang Baik:
Kumpulan Tulisan/Ceramah (sampul belakang), Pematangsiantar: STT-HKBP,
1986.
[3] Tim Penyusun, Buku Panduan STT-HKBP, Pematangsiantar:
STT-HKBP, 1987, 56.
[4] S. M. Siahaan, Garis-garis Besar Perjanjian Lama,
Pematangsiantar: STT-HKBP, 2001, 37.
[5] Tim Penyusun, Op. Cit., 56.
[6] Siahaan, Garis-garis Besar Perjanjian Lama, Op. Cit.,
37.
[7] S. M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, 3.
[8] Siahaan, Garis-garis Besar Perjanjian Lama, Op. Cit.,
31.
[9] Ibid., 32.
[10] Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama,
Op. Cit., xi.
[11] Siahaan, Garis-garis Besar Perjanjian Lama, Op. Cit.,
33.
[12] Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama,
Op. Cit., 4.
[13] Ibid., 19.
[14] Ibid., 160.
[15] Ibid., 24-25.
[16] Ibid., 160.
[17] Ibid., 27.
[18] Ibid., 161.
[19] Ibid., 50.
[20] Ibid., 162.
[21] Siahaan, Garis-garis Besar Perjanjian Lama, Op. Cit.,
35-36.
[22] Siahaan, Cintailah yang Baik: Kumpulan
Tulisan/Ceramah, Op. Cit., 213.
[23] Ibid., 219-220.
[24] Ibid., 221-222
[25] Ibid., 214-215.
[26] Ibid., 216-218.
[27] Ibid., 220-221.
[28] S. M. Siahaan, Bahwa Dia akan Mendahului Kamu (Kumpulan
Khotbah), Pematangsiantar: STT-HKBP, 1974, 59-63.
[29] S. M. Siahaan, Melihat Jauh ke Depan, Pematangsiantar:
STT-HKBP, 1986, 256-258.
[30] Ibid., 263-264.
[31] John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani,
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996, 461-477.
[32] Ibid., 472.
[33] Victor Tinambunan, Kepemimpinan Kristiani: Refleksi Seorang
Non-Pimpinan dalam Thomson Sinaga
dkk. (ed.), Pelayan yang Kritis di Alam
Demokratis, Buku Pengucapan Syukur 50 Tahun Pdt. W. T. P. Simarmata, Pearaja:
Kantor Pusat HKBP, 2006, 201.
[34] J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1982, 37-47.
[35] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas¸Pematangsiantar:
L. SAPA STT-HKBP, 2008, 326-327.
Comments
Post a Comment