MENGENAL PDT. DR. J.R. HUTAURUK DAN PEMIKIRAN TEOLOGISNYA
Pdt. Dr. Jupilan Raplan Hutauruk lahir di Tigadolok tanggal
07 Oktober 1936. Beliau menikah dengan Dumaris Simorangkir, dan mempunyai 5
orang anak. Pada tahun 1943-1950: Sekolah Rakyat di Pangaribuan, Pahae dan
Sipoholon; 1953-1956: SMA di SMA Negeri Soposurung – Balige; 1956-1961:
Pendidikan Teologi Sarjana Teologi di Fakultas Theologi Universitas HKBP Nommensen
di Pematangsiantar; 1963 – 1968: studi lanjut di Universitas Hamburg, Jerman
mengambil Magister Teologi dengan judul tesis : “Kirche, Nation und Mission in
der Theologie des 19. Jahrhunderts. Dargestellt an der Theologie Von F. Fabri,
W. Loehe und J. Bunsen im Blick auf die Fruehgeschochte der HKBP auf Sumatra”; 1973-1979
studi lanjut untuk gelar Doktore
Theologie di Univ. Hamburg, Jerman dengan judul desertase ”Die Batakkirche vor
ihrer Unabhaengigkeit tahun 1899-1942.
Pada
tahun 1961-1962, ia menjadi pendeta praktek di HKBP Ressort Sibolga dan
ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 11 November 1962 oleh Ephorus HKBP Ds.
Dr. T. S. Sihombing; 1962-1963, ia menjadi asisten dosen di Fakultas Universitas
HKBP Nommensen Pematangsiantar; 1969-1973, ia menjadi dosen di Pendidikan
Teologi HKBP Seminari Sipoholon dan Pendidikan Diakones HKBP di Balige;
1980-1997, ia menjadi dosen di STT HKBP Pematangsiantar, Wakil Rektor dan
beberapa kali menjadi Puket; 1997-1998/1999, ia menjadi Pendeta Ressort HKBP Tebet
Jakarta; 1998 (Agustus sampai Desember), menjadi Pejabat Ephorus untuk
mempersiapkan Sinode Godang (Bersama); 1998-2004, ia terpilih menjadi Ephorus
HKBP; dan sekarang ia menjadi anggota Majelis
Pertimbangan PGI (2005-2010) dan juga sebagai Dosen Pasca Sarjana di STT
HKBP Pematangsiantar, STT Abdi Sabda di Medan, STT GMI Bandar Baru, STT Jakarta
dan anggota penasehat Yayasan Jalan Damai Jakarta.
Beberapa artikel dalam bahasa Inggris atau bahasa Jerman antara lain: “Der
Weg der Partnerschaft der Kirchen in der Geschicte der HKBP”, in: So sende ich
euch; “Towards Church History in Indonesia”,
“Ethnic Pluralism and Church Mission”; Articles on “Batak Churches”,
Batak Protestan Christian Church or HKBP; S. A. E. Nababan; I. L. Nommensen
dalam buku A dictionary of Asian Christianity (DAC) yang diedit oleh Scott W.
Sunquist, Grand Rapid, Michigan/ Cambridge, U. K., 2001.
II.
Pemikiran-pemikiran Teologisnya
2.1.
Dosa dan Akibatnya[2]
Allah menciptakan dan memberi
tempat di taman Eden, ia (adam) merupakan teman sekerja Allah yang diberi tugas
dan tanggung-jawab untuk memelihara dan mengusahakan taman itu dan
makhluk-makhluk lain. Dan Allah memberi kebebasan kepadanya (Kej. 2:16-17).
Tetapi Adam dan Hawa berbuat dosa, yang mengakibatkan hubungan antara Allah
dengan rekan sekerjaNya itu menjadi retak dan Allah menghukum mereka.
2.1.1. Sumber dan Sifat
Dosa[3]
Allah murka atas segala dosa. Dalam pengakuan percaya
(konfessi) HKBP (1982, hlm. 14), disebutkan bahwa sumber dosa ialah iblis, dan
iblis menginginkan supaya semua manusia berbalik dari Allah (Yoh. 8:44; Why.
20:10). Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa atas godaan iblis dalam bentuk seekor
ular. Iblis mencobai manusia menurut Kej. 3:1-7 melalui 3 cara yakni melalui
tubuh, melalui jiwa (perasaan), melalui roh. Dan akhirnya Hawa terpukau akan
tawaran untuk menjadi seperti Allah.
Dosa tetap keliru, bengkok, menyimpang, memberontak,
ketidaksetiaan dan ketidaktaatan terhadap segala hukum Allah. Maka sifat dosa
bukan hanya tidak percaya dan memberontak, bukan hanya tidak mentaati Tuhan
Allah, melainkan lebih dari pada itu dia memusuhi Allah, sebab dia ingin sama
dengan Allah dan merebut hak wewenang Allah. Tidak ada sedikitpun di dalamnya
sifat Allah yang baik.
2.1.2. Pembedaan antara dosa-dosa[4]
Ada beberapa cara membedakan
dosa-dosa yang terjadi, yakni:
a.
Dalam Bilangan
15:30 berbicara tentang berdosa dengan sengaja, atau dengan sadar dalam niat.
Ini membedakan dosa tidak sadar. Memang jika pertama sekali baru mengenal hukum
taurat, maka pendurhakaan yang tidak sadar dari kodrat manusia itu menjadi
suatu perlawanan yang sadar. Tuhan Yesus berkata tentang dosa yang dapat
diampuni dan dosa yang tidak dapat diampuni, yakni menghujat Roh Kudus (Mrk.
3:29). Jadi orang tidak boleh mengatakan demikian, ia hendak lebih pandai dari
firman Allah.
b.
Dosa perseorangan
dan dosa kolektif. Adanya kesombongan kolektif yang lebih fanatik dari
kesombongan perseorangan. Sedangkan dosa kolektif adalah dosa perluasan
dosa-dosa perseorangan secara besar-besaran.
c.
Dosa terhadap Allah
dan sesama manusia. Barangsiapa membenci saudaranya, ia membenci Allah.
Tiap-tiap dosa terhadap Allah ialah suatu dosa terhadap sesama manusia, dan
dosa itu juga adalah dosa terhadap Allah.
d.
Dosa di dalam
pikiran, perkataan dan perbuatan.
e.
Dosa karena
perbuatan dan kelalaian.
f.
Menghujat Roh
Kudus, inilah dosa yang tidak dapat diampuni. Maksudnya, karena dosa inilah,
batas antara dosa manusia dengan dosa iblis telah dilampaui.
g.
Dosa warisan.
Adanya tradisi agama Kristen yang mengatakan adanya dosa warisan.
2.1.3.
Akibat Dosa bagi Manusia[5]
a.
Terpisah/ ditimpa
murka Allah
Murka Allah menghilangkan persekutuan antara Allah dan
manusia, sehingga manusia akan hidup dalam kehidupan yang tiada arti. Dosa-dosa
kita telah membutakan kita untuk tidak melihat Allah.
b.
Tertawan oleh diri
sendiri
Dosa tidak hanya memisahkan kita dari Allah, bahkan
memperhamba kita. Kita tertawan olehnya dan menjadi kerusakan akhlak yang
berdiam dalam lubuk hati kita.
c.
Bentrokan
Mementingkan diri tidak hanya melawan Allah, tetapi juga
melawan sesama manusia. Egoisme menonjol dalam setiap tingkah laku setiap
orang, baik dia pemalu atau penyombong. Sebagaimana, ketegangan-ketegangan pada
dewasa ini kebanyakan bersumber pada dunia internasional pada rasa takut,
kebodohan dan egoisme. Itulah sebab-musabab segala kemalangan kita, dan ini
yang membuat kita saling bertentangan.
2.1.4.
Pengampunan/Kelepasan dari Dosa[6]
a.
Hanya oleh iman
b.
Kasih dan Anugerah
2.2. Rencana Keselamatan
dan Penggenapannya Dalam Yesus Kristus[7]
2.2.1. Rencana
Penyelamatan Allah dalam Perjanjian Lama
Rencana penyelamatan Allah diawali ketika manusia telah
jatuh ke dalam dosa. Allah membuat rencana indah kepada manusia dan segala
ciptaanNya. Allah berniat untuk mendirikan perjanjianNya dengan manusia. Namun,
rencana itu terputus karena manusia jatuh ke dalam dosa. Dan dosa itu menjadi
jurang pemisah antara manusia dengan Allah. Manusia tidak mampu menyelamatkan
dirinya, karena keselamatan bersumber dari Allah saja. Allah selalu mengasihi
ciptaanNya, sehingga Dia membuat rencanaNya untuk menyelamatkan ciptaanNya.
Allah telah menjanjikan kepada Abraham (Kej. 12:1-3),
bahwa ia akan diberi negeri yang akan menjadi pusakanya, bahwa ia akan
dijadikan bangsa yang besar, dan olehnya semua kaum di muka bumi akan mendapat
berkat. Berdasarkan perjanjian Allah kepada Abraham, berarti Allah akan
menyelamatkan seluruh isi dunia dengan perantaraan Abraham dan keturunannya.
Keturunan Abrahamlah yang merealisasikan rencana keselamatan Allah untuk dunia
ini.
Allah juga tidak membiarkan umatNya terus menderita di
Mesir, karena itu Musa diutus untuk memimpin umatNya keluar dari tanah Mesir
menuju tanah Kanaan (tanah perjanjian). Allah mengikat perjanjian dengan bangsa
Israel, hal ini merupakan lanjutan perjanjian Allah dengan Abraham leluhur
Israel. Jadi, perjanjian Allah di Sinai menunjukkan bahwa Allah telah memenuhi
sebagian janjiNya kepada Abraham.
Dalam Perjanjian Lama juga terdapat adanya kesaksian nabi
atas janji penyelamatan Allah seperti[8]:
·
Yehezkiel 34:23,
Allah menjanjikan seorang gembala atas Israel yakni Daud, hamba Tuhan.
·
Yesaya 54:10,
Perjanjian yang baru yang disampaikan Allah kepada Israel adalah perjanjian
damai (Yes. 54:10) dan perjanjian abadi (Yes. 53:3).
·
2 Samuel 23:5
dikatakan bahwa Allah telah menegakkan bagi Daud suatu perjanjian kekal. Sebagaimana
Daud telah diangkat menjadi raja atas bangsa-bangsa (Mzm. 18:50-51), demikian
juga Israel sebagai ahli waris. Daud akan memanggil bangsa-bangsa lain sehingga
mereka lari kepada Israel demi Allah Israel, untuk masuk ke dalam perjanjian
yang baru itu (Yes. 45:18; 55:4). Demikianlah perjanjian kasih itu dipusatkan
kepada Mesias yang dalam kenyataannya digenapi dalam Perjanjian Baru.
2.2.2.
Penggenapan Janji Penyelamatan Allah dalam Perjanjian
Baru[9]
a.
Kelahiran Yesus
Dalam Yoh. 1, kelahiran Yesus mengungkapkan Firman yang menjadi
sama dengan manusia, menghubungkan diriNya kepada umatNya. Dalam kesaksian Mat.
1, diberitakan bahwa kelahiran Yesus untuk mengungkapkan Yesus (=Kristus) adalah pemenuhan janji Allah kepada bangsa
Israel. Janji Allah kepada bangsa Israel. Janji Allah telah dipenuhi.
b.
KesengsaraanNya
Kesengsaraan Yesus adalah suatu korban yang mendatangkan
penebusan bagi banyak orang (Mat. 20:28; Mrk. 10:45). Dengan
penderitaanNya ini, kasih Allah semakin
nyata. Dia tidak berkenan membiarkan manusia sealu berada dalam dosa yang
membawa kehancuran untuk diri manusia itu sendiri.
c.
PenyalibanNya
Peristiwa penyaliban itu ditanggung Yesus untuk keselamatan umat Allah yang percaya
padaNya, dimana Dia memperjuangkan kemenangan agung bagi umat manusia,
mengakhiri kuasa kegelapan. Sehingga peristiwa penyaliban adalah perdamaian
Allah kepada manusia yang berdosa.
d.
KematianNya
Kesediaan Yesus untuk mati menjadi suatu tebusan bagi
banyak orang (Mrk. 10:45). Melalui kematian itu, Yesus mengalahkan dosa untuk
memenangkan keadilan yang datang dari Allah (1 Kor. 15:55-56).
e.
KebangkitanNya
Makna kebangkitanNya yaitu: pertama, meyakinkan dan memberi jaminan kepada manusia tentang
realitas pengampunan dosa (Rom. 4:25; 1 Kor. 15:17); kedua, kebangkitan Kristus mengandung seruan kepada orang percaya
supaya membuang segala ketakutan/perbuatan yang gelap untuk hidup sebagai
anak-anak terang (Rom. 13:12; 1 Tes. 5;5-6); ketiga, kebangkitan Kristus membuat kita percaya bahwa Dia akan
membangkitkan orang-orang mati untuk beroleh hidup yang kekal (1 Kor. 1:9; 1 Ptr.
1:21);
2.3. Tata Ibadah Hari
Minggu HKBP (Sejarah, Teologi dan Pemakaiannya)[10]
2.3.1. Dasar Teologis[11]
Dasar teologis yang sangat fundamental ialah bahwa karya
Tuhan Allah sendiri yang selalu mendominasi sebuah tata ibadah sebagaimana yang
ditekankan Martin Luther bahwa upaya mencari sebuah makna dan hakekat sebuah
tata ibadah ialah memperlihatkan aksi jemaat yang menunjukkan kepatuhannya
terhadap Allah yang hidup itu. Karena itu arti tata ibadah yang paling mendasar
adalah perbuatan/tindakan Allah bersama jemaatNya. TeguranNya dan pemberianNya,
dan bukan kedatangan kita. Dimanapun terjadi sebuah ibadah, harus selalu
terjadi atas nama Allah Tritunggal. Allah muncul di atas pentas. Allah
bertindak, berbicara dan menghibur. Allah menghukum dan menghajar. Allah menegur
dan mengampuni.
2.3.2. Sejarah[12]
Sejak awal pekabaran Injil di Tanah Batak (1860-an)
keinginan untuk pengadaan sebuah liturgi atau tata ibadah Minggu dan
peristiwa-peristiwa gerejawi lainnya sudah menggema dan upaya untuk itu sudah
dilakukan. Hal ini nampak dari laporan dari misionaris yang bekerja di
Silindung, yaitu I. L. Nommensen, P. H.
Johannsen dan A. Mohri. Mereka di tempat pelayanan mereka masing-masing telah
membuat gagasan-gagasan awal untuk menciptakan tata ibadah Minggu, ibadah baptisan,
perjamuan kudus, peneguhan sidi, pernikahan, dan lain-lain. Dan ini mungkin
semuanya telah bermuara pada sebuah buku Agenda, yang besar kemungkinan Agenda
edisi pertama ialah Agenda 1904. Dugaan ini diperkuat oleh adanya sebuah buku
pedoman dan penjelasan tata ibadah serta kelengkapannya; edisi bahasa Jerman
terbit tahun 1906 dan edisi bahasa Toba tahun 1907, dan juga adanya sebuah
paparan tentang ibadah HKBP yang disampaikan oleh Misionaris F. Tiemeyer pada
konferensi tahunan para misionaris Jerman tahun 1936 di Padangsidempuan. Saat
itu para misionaris Jerman sedang membicarakan konsep baru dari Agenda HKBP dan
mencari apa saja yang harus ditambah dan dikurangi dari Agenda HKBP yang lama
(1904?).
Menurut F. Tiemeyer kapan munculnya Agenda HKBP yang pertama
itu masih menjadi tugas kita bersama, karena tidak ada seorangpun yang tahu
pasti kapan munculnya. Ia hanya mengatakan bahwa dalam menyusun agenda tersebut
para misionaris pada saat itu memakai Agenda Union yang dipakai Gereja Prusia
pada abad 19. Agenda Union ini banyak dipengaruhi oleh pemikirian teologi
Schleiermacher, yang berpusat pada perasaan
manusia yang sangat bergantung pada suatu kekuasaan di atasnya atau di luarnya.
Di dalam konferensi saat itu F. Tiemeyer mengajukan dua
hal yang perlu diperhatikan di dalam merevisi Agenda HKBP. Pertama , bentuk
apapun yang dihasilkan konferensi, maka yang penting ialah mempertahankan roh
sejati dari tata ibadah. Kedua, harus jelas bahwa siapapun tidak memiliki
wewenang seolah-olah dapat memiliki atau mengendalikan Allah, sebaliknya
haruslah dikedepankan Allah yang bertindak dan kita manusia bukanlah orang yang
benar tetapi yang dibenarkan melalui anugerahNya.
·
Urutan mata acara ibadah HKBP dalam agenda edisi 1904 dan
edisi 1998[13]
Pada dasarnya susunan yang diajukan F. Tiemeyer saat itu
tidak bebrbeda jauh dengan edisi 1904 yang disebut “Agende”, yaitu:
1. Marende
2. Pasu-pasu (Votum)
3. Manjaha sada ayat na tongon tu ganup Minggu manang ari pesta sian bagian
IIA.
4. Martangiang sian bagian II D; Huria mandok: Amen!
5. Pandita mandok: didongani Debata ma hamu! Huria mandok: Amen!
Tangihon hamu patik ni Debata (manang sinungkun angka
patik tu natorop i).
6. Huria mandok di ujung: “Ale
Tuhan Debata! Sai pergogoi ma hami, mangulahon na hombar tu patikMi, Amen!”
7. Marende huria
8. Manopoti dosa: Ta topoti ma dosanta! (dijaha sada tangiang sian bagian
II B).
9. Pandita mandok: Bege hamu ma
baga-baga ni Debata taringot tu hasesaan ni dosanta! (sada sian hata baga-baga
na tarsurat di bagian II C).
10. Huria marende: Amen, Amen,
Amen na tutu do i, sai marhasonangan ma naporsea i. Sesa do dosa na saleleng na
i. Lehonon ni Jesus haposanta i.
11. Pandita mandok: Tabege ma
hata ni Debata turpuk di hita di ari Minggu on (jahaon sada ayat sian Bibel).
12. Pandita mandok: Martua do
angka na tumangihon hata ni Debata jala naumpeopsa, Amen!
13. Huria mandok: HataMi ale Tuhanku, arta na umarga i!
14. Pandita mandok: Tahatindangkon
ma haporseaonta i, (rap mandok pandita dohot huria).
15. Marende huria
16. Pandita ro tu parjamitaan,
jala mandok: Dame ni Debata na sumurung sian saluhut roha, i ma mangaramoti
angka ate-ate muna dohot roha muna marhite-hite Jesus Kristus! Amen!
17. Marjamita. Dung sun marjamita martangiang sian roha.
18. Tingting
19. Marende huria (andorang marende mardalan durung-durung)
20. Pandita ro tu jolo ni langgatan, martangiang: dijaha sada tangiang sian
bagian II E.
21. Huria mandok: Ale ama nami na di banua ginjang…..Amen!
22. Pasu-pasu: “Di pasu-pasu jala di ramoti…..”
23. Laho haruar: marende angka anak dohot boru sikola ende na pinillit
hian.
·
Perbedaan dengan edisi 1998[14]
Melihat susunan edisi 1904 di atas, jika dibandingkan
dengan edisi terkini (misalnya edisi 1998), maka beberapa diantaranya punya
tempat yang tetap, tetapi ada pula yang sudah bergeser, ada penambahan,
pengurangan bahkan ada pula penghapusan.
1.
Dalam agenda 1998,
acara no. 4 dan 5 sudah ditiadakan. Sebagai gantinya ialah mata acara no. 3 dimana
jemaat menyambut votum dengan menyanyikan Haleluya 3 kali.
2.
Acara hukum taurat
dalam kedua agenda sama-sama berada setelah acara votum, namun dalam edisi 1904
dalam no 5-6 sedangkan dalam edisi 1998 dalam nomor 6-7.
3.
Agenda 1998 sudah
menghilangkan doa tentang janji
penghapusan dosa dalam Agenda 1904, yaitu: Molo hita topoti angka dosanta…!”
4.
Dalam kedua agenda
tersebut Epistel ditempatkan sesudah pengakuan dosa dan janji penghapusan dosa
(Agenda 1904 nomor 12-14 sedangkan dalam Agenda 1998 nomor 12-13).
5.
Dalam agenda 1998,
telah ditambahkan kalimat ajakan dari liturgis untuk mengucapkan secara
bersama-sama, yaitu: …songon na hinatindangkon ni donganta sahaporseaon di
sandok portibi on. Rap ma hita mandok:…”
6.
Dalam Agenda 1904
persembahan dilakukan sekali, sedangkan dalam Agenda 1998 sebanyak dua kali,
dan akhir-akhir ini sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Tingting dilakukan
sebelum khotbah dan sesudah itu mengumpulkan persembahan sambil bernyanyi. Khotbah
disambut dengan bernyanyi sambil mengumpulkan persembahan ketiga.
7.
Dalam Agenda 1998,
pendeta membacakan doa persembahan, kemudian membacakan Doa Bapa Kami, dan
bagian terakhir dari doa itu dinyanyikan jemaat, dan diakhiri dengan ucapan
berkat serta disambut oleh jemaat dengan menyanyikan “Amin, Amin, Amin”.
8.
Perbedaan lain
adalah kata sapaan yang digunakan oleh pendeta dan non-pendeta yang melayani.
Pendeta menggunakan Ho/Engkau, sedangkan non-pendeta menggunakan Hita/Kita.
Revisi: Saran dan
Usulan oleh Pdt. Dr. J. R. Hutauruk[15]
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa ternyata tata ibadah Minggu HKBP tersebut telah beberapa kali
mengalami revisi, maka dengan demikian Pdt. Dr. J. R. Hutauruk mengusulkan
beberapa saran untuk revisi tata ibadah minggu tersebut.
- Tata ibadah HKBP yang dipakai sejak awal pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat yang berasal dari hasil pekabaran Injil Jerman (RMG) sejak 1860-an sudah menjadi bagian hidup bahkan menjadi identitas, teologis dan praktis dari HKBP. Namun melihat perkembangan zaman yang semakin pesat dan karena tuntutan perubahan yang berkelanjutan, maka sudah sewajarnya tata ibadah kini harus mengalami revisi, supaya gereja HKBP menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, sebagaimana dijanjikan oleh HKBP sejak tahun 2002, sejak Tata Gereja 2002 disahkan oleh Sinode Godang HKBP 2002.
- Hal-hal yang fundamental sebagaimana yang dirindukan oleh para pendahulu kita dalam hal ini F. Tiemeyer hendaknya menjadi acuan dalam melakukan revisi, yaitu:
- Otoritas Allah yang tidak bisa dikurangi oleh otoritas siapapun.
- Berpusat pada Firman Allah yang dibaca, dikhotbahkan dan diterima melalui kedua sakramen.
- Berangkat dari “imamat am orang percaya” seorang liturgis adalah sama di hadapan Allah dan jemaat yang berkumpul.
- Kasih dan anugerah Allah yang mengalir dari acara pertama hingga acara terakhir, karenanya seorangpun tidak dapat mengandalkan perbuatannya yang baik.
- Nyanyian pujian, paduan suara, musik instrument adalah sarana untuk menyampaikan isi alkitabiah, bukan isi emosional kemanusiaan atau penampilan selebriti oknum-oknum yang membawa acara ibadah.
- Seluruh hidup ini adalah ibadah, baik ibadah di dalam ataupun di luar gedung gereja, yaitu di rumah dan di tempat kerja sebagai ibadah moral yang peduli melawan ketidakadilan sosial, kemiskinan dan kebodohan.
- Ibadah yang menjaga keutuhan. Keseimbangan dan komunikasi timbal-balik.
- Ibadah yang lebih mencerminkan kuasa Injil yang mengikat dan membebaskan daripada kuasa hukum yang menghakimi.
- Berdasarkan hal-hal yang fundamental di atas, maka ada beberapa unsur yang perlu direvisi, antara lain: daftar pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang mau dibaptis, yang akan mengikuti janji sidi, perjamuan kudus, calon suami-istri pada acara pemberkatan nikah, agar dengan demikian nampak kuasa Injil yang mengikat dan sekaligus membebaskan itu menampakkan keceriaan, sukacita dan bukan beban yang sangat menekan yang bersangkutan.
- Upaya merevisi tata ibadah HKBP, rupanya sama dengan upaya mencari teologia jemaat sebagai suatu kekuatan atau kelemahan dalam dirinya sebagai bagian dari gereja Tuhan di dunia ini. Artinya, HKBP pada usia menjelang 150 tahun (1861-2011) patut berupaya untuk merumuskan kembali teologi apa yang harus mendasarinya, merumuskan identitas dan jati dirinya yang terbuka untuk pembaharuan, supaya HKBP menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka sesuai dengan visi dan misinya. HKBP harus menanyakan dirinya dengan relasinya dengan Tuhan Allah, sebagaimana disaksikan oleh HKBP dalam konfessinya.
- Kekuatan dari Kristen Kharismatik. Kita bisa menggunakan ibadah alternatif, atau ibadah khusus atau apa saja namanya, sehingga bisa mencerminkan keceriaan dan sukacita, namun harus menjauhkan dominasi pengalaman manusia itu sendiri, karena itu akan mengaburkan dasar-dasar teologis ibadah itu. Yang harus kita utamakan adalah “mengenal Yesus lebih banyak”, bukan “mengalami Yesus lebih banyak”. Sudah saatnya kita memberikan peluang misalnya bagi kaum muda untuk melakukan ibadah alternatif, dimana pengunjung ibadah itu dapat berbagai pengalaman iman mereka sambil melakukan gerakan-gerakan yang lebih bebas sehingga mereka tidak lari ke gereja lain. Dan dalam ibadah seperti itu tidak perlu menghilangkan votum dan salam, pengakuan dosa dan janji penghapusan dosa. Yang perlu dihindarkan yakni supaya pengejaran pengalaman religius itu tidak sampai menghilangkan pikiran yang kognitif dan terkendali, artinya jangan sampai pada hal-hal yang bersifat ilusi/kepalsuan.
III.
Tanggapan Teologis
Makna dosa warisan yang dipaparkan oleh Pdt. Dr. J. R. Hutauruk
terlalu sempit, sehingga dapat menimbulkan pemikiran bahwa manusia akan semakin
bebas dalam melakukan dosa, karena dosa warisan disebabkan adanya dosa mulai
dari Adam dan Hawa. Dan manusia akan beranggapan tidak ada artinya mereka untuk
melakukan pembaharuan terhadap dirinya sendiri. Menurut Paulus, dosa warisan di
hadapan Allah adalah satu ‘di dalam Adam”. Tetapi di dalam Roma 5-6, Paulus
sekaligus berbicara tentang “Adam kedua”, yaitu Yesus Kristus. Di dalam
kehidupan Yesus, ketergantungan manusia yang salah yang mengakibatkan maut,
dikalahkan. Apabila kita diberi keselamatan, maka kita boleh berpartisipasi di
dalam kepatuhan manusia yang satu itu.[16]
Secara Alkitabiah, Rasul Yohanes secara tegas menyatakan
tentang akibat dosa, “jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita
menipu diri kita sendiri”, dan “jika kita berkata bahwa kita tidak pernah
berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta” (1 Yoh. 1:8, 10).
Keluasan, kedalaman dan kengerian dosa manusia bukanlah kenyataan yang hanya
dapat diketahui jika kita menyelidiki Alkitab. Dosa juga nyata dalam pengalaman
sehari-hari. Kita sadar bahwa dalam kehidupan kita sendiri banyak kesalahan. Banyak
peraturan dalam kehidupan masyarakat yang beradab adalah disebabkan dosa
manusia.[17]
Ungkapan dosa yang paling jelas ialah
saran iblis bahwa manusia dapat merampas tempat penciptaNya, “kamu akan menjadi
seperti Allah ... (Kej. 3:5). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia berusaha
meraih persamaan dengan Allah (bnd. Filipi. 2:6), mencoba memberlakukan
kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas Sang Pencipta dan
pemeliharaan-Nya dalam kasih.[18]
Pada dasarnya, beliau juga melihat dosa sebagai penghalang
keselamatan yang akan diberikan Allah kepada manusia. Namun, dalam
pembahasannya mengenai keselamatan tersebut, kelompok ingin menambahkan peranan
Roh Kudus dalam karya penyelamatan itu karena beliau hanya membahas keselamatan
itu sebagai anugerah Allah di dalam diri Yesus kristus.
Roh Kudus adalah faktor ketiga yang memegang peranan
hakiki dalam proses penyelamatan. Dengan demikian, proses penyelamatan itu
mempunyai struktur trinitatis, Allah Bapa menjadi pangkalnya, Yesus Kristus
perwujudan historis kasih karunia yang menyelamatkan, sedangkan Roh Kudus
adalah kasih karunia yang langsung mengikutsertakan masing-masing orang percaya
dalam proses penyelamatan. Peranan Roh Kudus dalam penyelamatan itu terjadi
sebagai berikut: Pembaharuan (dan kelahiran kembali) oleh Roh Kudus, yang
dengan berlimpah dicurahkan Allah melalui Yesus Kristus. Tampaklah Roh Kudus
sebagai daya ilahi, daya penyelamatan yang secara aktif berada pada orang
beriman tetapi berasal dari Allah melalui Yesus Kristus. Dengan demikian, maka
Roh Kudus menjadi Roh Allah dan serentak menjadi Roh Yesus Kristus, meskipun
relasi dengan Kristus tidaklah sama (Rom. 8:9).[19]
IV.
Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pemikiran-pemikiran Pdt. Dr. J. R.
Hutauruk, yaitu:
a.
Dosa dilakukan
pertama kali oleh Adam dan Hawa, yang mengakibatkan retaknya hubungan manusia
dengan Allah dan Allah menghukum mereka. sumber dosa ialah iblis, dan iblis
menginginkan supaya semua manusia berbalik dari Allah (Yoh. 8:44; Why. 20:10).
b.
Rencana penyelamatan
Allah diawali ketika manusia telah jatuh ke dalam dosa. Berdasarkan perjanjian Allah kepada Abraham,
berarti Allah akan menyelamatkan seluruh isi dunia dengan perantaraan Abraham
dan keturunannya. Keturunan Abrahamlah yang merealisasikan rencana keselamatan
Allah untuk dunia ini. Dan perjanjian Allah di Sinai menunjukkan bahwa Allah
telah memenuhi sebagian janjiNya kepada Abraham. Penggenapan Janji Penyelamatan
Allah dalam Perjanjian Baru yaitu melalui Kelahiran Yesus, Kesengsaraan Yesus,
PenyalibanNya, KematianNya, KebangkitanNya.
c.
Tata ibadah Minggu
HKBP itu bersifat dinamis, jadi menurut Pdt. Dr. J. R. Hutauruk, sudah
sewajarnya kita melakukan revisi terhadap tata acara ibadah Minggu HKBP itu
sesuai dengan perkembangan jemaat saat ini. Tapi perlu kita perhatikan bahwa
dalam melakukan revisi itu hendaknya kita berpegangan pada dasar teologis dari
ibadah yang sebenarnya sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.
4.2. Saran
Hal yang disampaikan oleh Pdt.
Dr. J. R. Hutauruk dalam buku Pendidikan Agama Kristen sangat bagus dibaca,
baik jemaat maupun para pelayan untuk memahami keadaan-keadaan kita sebagai
manusia, bahwasanya kita adalah manusia yang diselamatkan dari dosa kita oleh
anugerahNya di dalam diri Yesus Kristus. Sehingga dengan demikian tidak ada kesombongan
di dalam diri kita. Karya Pdt. Dr. J. R. Hutauruk sangat baik dibaca oleh
setiap orang secara khusus mahasiswa-mahasiswi teologi dan para pengajar
sehingga akan memudahkan kita untuk memahami bagaimana pentingnya pemahaman
teologis terhadap hal tertentu sekaligus meningkatkan pelayanan gereja terhadap
jemaat.
[1] BDF. Sidabutar, Perbuatan
Allah Dalam Kehidupan Kita, Jakarta: HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan 2008, hlm. 131-133.
[2] J.
R. Hutauruk, Dosa dan Akibatnya dalam
Pendidikan Agama Kristen, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1994, hlm. 90-91.
[3] Ibid, hlm. 91-93.
[4] Ibid, hlm. 93-94.
[5] Op. Cit., hlm. 95-97.
[6]
Op. Cit., hlm.
97.
[7] Ibid, hlm. 100-101.
[8]Ibid, hlm.101-102.
[9] Ibid, hlm. 103-104.
[10] J. R.
Hutauruk, “Tata Ibadah Hari Minggu HKBP” dalam Perbuatan Allah dalam Kehidupan Kita,HKBP Distrik VIII
Jawa-Kalimantan, Jakarta 2008, hlm. 60-61, 76-77, 98-103
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Ibid,
[15] Ibid,
[16] Dieter
Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu
Kompendium Singkat, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hlm. 106
[17]
John R.W Scott, Kedaulatan dan Karya Kristus, Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, Jakarta 2000, hlm. 76
[18]
Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2003, hlm. 146.
[19] C. Groenen
OFM, Soteriologi Alkitabiah,
Kanisius, Jakarta 1989, hlm. 164-165
Comments
Post a Comment