Skip to main content

(XVII. PEMIKIRAN TOKOH FILSAFAT MODRENISME)

Friedrich W. Nietzsche
(Tuhan telah MATI)
Oleh : Rahman Saputra Tamba


I. Riwayat Hidup
           Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, Prusia, pada tanggal 15 Oktober 1844. Ia berasal dari keluarga yang sangat religius. Kakeknya, Friedrich August Ludwig Nietzsche, adalah seorang pejabat tinggi Gereja Lutheran. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche meninggal ketika Nietzche masih berusia 4 tahun, yang merupakan seorang pendeta. Sedangkan ibunya, Franziska Oehler, ialah orang yang taat pada agama dan berasal dari keluarga pendeta. Latar belakang keluarganya yang religius inilah yang telah mendorong Nietzsche untuk belajar agama Kristen dan berusaha menaatinya semenjak kecil. Akan tetapi, ketika dewasa, ia malah meninggalkan dan mengkritik ajaran agama yang diwariskan oleh keluarganya tersebut.
Pada tahun 1889, Nietzsche menderita penyakit jiwa. Namun, sebelum diserang penyakit jiwa, ia tidak dapat menghentikan aktivitas merenung dan menulisnya. Renungannya menghasilkan karya yang melawan moralitas dan mengkritik kebudayaan Barat kala itu. Hingga akhirnya, penyakit jiwa telah menghentikan aktivitasnya dalam merenung dan menuis. Meskipun sudah dilakukan usaha penyembuhan, namun ia juga tidak bisa sembuh.
Pada tahun 1890, Nietzsche dipindahkan oleh ibunya ke Naumburg dan dirawat dirinya disana. Tiga tahun kemudian, Elizabeth yang ditinggal mati suaminya di Paraguay datang menemani ibunya dan ikut merawat Nietzsche. Pada tahun 1897, sang ibu meninggal dunia. Dan pada tahun itu juga Elizabeth membawa Nietzsche pindah ke Weimar. Di kota terakhir ini, pada tanggal 25 Agustus 1900, Nietzsche menghembuskan napasnya yang terakhir.

II. Pemikiran Filsafat Nietzsche
*      Tentang Kematian Tuhan
Dalam pemikirannya, Ia membawa gagasan tentang peranan Tuhan dari sudut pandagannya sendiri. Frase tentang Tuhan telah mati Ia jadikan sebagai keberadaan Tuhan tergantung pada suatu sintesis, ia mensintesiskan gagasan tentang Tuhan dengan waktu, menjadi sejarah dan manusia. Dengan mengungkapkan “Tuhan telah mati”, Nietzsche menjadi terkenal sebagai seorang “pembunuh Tuhan”. Istilah “Kematian Tuhan” menjadi menarik dan santer diperbincangkan setelah ia mengumandangkannya.
 Ia juga mengatakan pada saat yang sama : Tuhan ada dan telah mati dan akan dibangkitkan dari kematian, Tuhan telah menjadi manusia dan manusia telah menjadi Tuhan. Tuhan tidak bisa dijadikan objek pengetahuan sintesis tanpa adanya kematian yang datang kepadanya. Eksistensi atau non eksistensi tidak lagi menjadi penentu mutlak yang berkaitan dengan daya-daya yang masuk kedalam sintesis bersama atau dalam gagasan tentang Tuhan.
Menurutnya, dalam pandangannya Tuhan telah mati, dan yang membunuhnya adalah ia sendiri serta kita semua. Rumusan tentang kematian Tuhan itu terus diulang-ulang dalam karya-karya Nietzsche yang lain. Misalnya didalam karyanya yang berjudul “Nietzsche” yang berisikan tentang pemikiran “Orang Gila” yakni sebagai berikut : “Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak : Aku mencari Tuhan! Ketika orang banyak yang tidak percaya oada Tuhan datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. Apakah dia ini orang yang hilang ? tanya seorang. Apakah dia tersesat seperti anak kecil ? Apakah dia baru saja mengadakan pelayaran ? Apakah dia seorang perantau ? Demikianlah mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. “ Mana Tuhan “, serunya. Aku hendak berkata kepada kalian. Kita telah membunuh Tuhan-kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini ? Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan ? siapakah yang memberikan penghapu kepada kita untuk melenyapkan cakrawala ? Apa yang kita lakukan jika kita melepaskan bumi ini dari mataharinya ? Lalu, ke mana bumi ini akan bergerak ? Ke mana kita bergerak ? Menjauhi seluruh matahari ? Tidaklah kita jatuh terus-menerus ? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah ? Masih adakah atas dan bawah ? Tidaklah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas ? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong ? Bukankah pada siang hari, lentera pun kita nyalakan ? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan ? Ya, pada Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! dan kita telah membunuhnya!. Akan tetapi menurut Frans (2006), sebenarnya Tuhan tidak dibunuh, atau Nietzsche tidak pernah membunuh Tuhan. Sebab, ia tidak pernah mengungkapkan adanya Tuhan. Bagi Nietzsche Tuhan tidak pernah ada. Maksudnya, bukanlah Tuhan yang sebenarnya yang dibunuh oleh Tuhan, melainkan Tuhan yang disangka yang telah diciptakan oleh para manusia. Oleh karena itu, maksud Nietzsche dalam hal ini adalah, ia telah berhasil membunuh Tuhan yang diciptakan oleh manusia.
Nietzsche juga mengklaim bahwa kematian Tuhan akan mengarah pada hilangnya perspektif universal. Pada dasarnya, Nietzsche menolak adanya gagasan realitas objektif tentang perdebatan pengetahuan yang merupakan kontingen dan kondisional dan relatif dalam berbagai kepentingan perspektif / kepentingan umum. Hal inilah yang mendasari Nietzsche ingin mengatur ulang konstan aturan. Oleh karena itu Nietzsche ingin menunjukkan bahwa diantara orang-orang umum masih tetap ada tindakan menghargai, nilai-nilai menciptakan, bahkan nilai-nilai menyatukan dan ia tetap menegaskan bahwa “apa yang membuat orang-orang hebat bukanlah isi dari keyakinan mereka, melainkan tindakan dalam menghargai. Dengan demikian, nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat berusaha untuk ia munculkan dalam satu tujuan yang sama.

Berbagai sudut pandang terkait dengan opini Nietzsche terhadap “Tuhan telah mati”
      - Dalam sudut pandangan nihilisme negatif: momentum Yudaisme dan kesadaran Kristen, gagasan tentang “Tuhan” berarti mengekspresikan kehendak akan ketiadaaan, depresiasi kehidupan, ketika kita mengubah pusat gravitasi dari kehidupan dan masuk kedalam ketiadaan berarti kita mencabut kehidupan dari pusat gravitasinya. Seperti Tuhan Yahudi membunuh yang membunuh anaknya dengan tujuan agar dia terbebas dari dirinya sendiri dan dari orang Yahudi. Ini adalah arti pertama dari kematian Tuhan dari sudut pandang momentum Yudaisme dan kesadaran Kristen. Dalam mematikan Tuhan, Ia menemukan suatu cara baru untuk menjadikan Tuhannya sebagai satu Tuhan yang universal, (bagi semua), dan benar-benar kosmopolitan
       - Dari sudut pandang nihilisme reaktif: momentum dari kesadaran Eropa. Kematian Tuhan dalam pandangan kesadaran Eropa berarti : suatu sintesis dari kehendak akan ketiadaan dengan kehidupan reaktif dalam gagasan tentang Tuhan. Kehidupan reaktif sebagai pengganti kehendak ilahi, manusia reaktif sebagai pengganti Tuhan atas manusia - Tuhan menggantikan Tuhannya manusia - Manusia Eropa
-                - Dari sudut pangnan nihilisme pasif: momenum kesadaran budha. Kristus adalah Budha. Dimana dia terlalu jauh berada di depan masanya, dia telah diajarkan oleh kehidupan reaktiff untuk mati dengan tenang, mati secara pasif, agar dia menunjukkan pada kehidupan reaktif hasil yang diperoleh saat ia masih berjuang untuk melawan kehendak untuk berkuasa. Dia memberikan kemuliaan khusus bagi manusia terakhir, saat manusia masih bertanya-tanya apakah mereka perlu mengambi alih tempat Tuhan.
            Pernyataannya tetang ini telah menjadikan Nietzsche dianggap sebagai orang aneh dan orang-orang menganggap dia sebagai orang yang tidak percaya akan Tuhan (Ateis). Pandangan ini banyak dianggap menyesatkan semua orang seperti yang ditegaskan oleh Walter Kaufmann dimana ia berpendapat “ Ia (Nietzsche) mengerminkan pemahaman yang lebih halus tentang Tuhan”.

Tanggapan & Nats Pendukung
            Pernyataannya atas pemikirannya tentang Tuhan telah mati mengundang opini negatif banyak orang tentang dirinya. Sehingga dirinya dianggap menyimpang dari ajaran yang ada. Namun tidak banyak orang yang mengetahui bahwa pernyataanya tentang Tuhan merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dan memanusiakan manusia setelah kematiannya. Melalui kematian Tuhan, akhirnya manusia mampu berpikir akan keberadaan Tuhan. Seperti yang tertulis di dalam (matius 28) yang berisikan perikop akan kebangkitan Yesus.[1] 
Hal ini berkaitan dengan pemikirannya tentang Tuhan yang ada dan telah mati dan akan dibangkitkan dari kematian seperti Yesus yang menampakkan diri kepada Maria dan Magdalena di luar goa[2]. Selain itu, pemikirannya tentang Tuhan telah mati sebenarnya bukanlah sebuah tindakan penolakan terhadap keberadaan Tuhan. Melainkan sebuah tindakan yang dilakukan melalui pemikiran agar manusia memiliki kesadaran atas reinkarnasi yang dilakukan oleh Tuhan dalam konsep Budha. Melalui reinkarnasi yang ada, Tuhan telah menjadi manusia dan manusia telah menjadi Tuhan.[3] Akan tetapi saya tidak setuju dengan pemikiran Nietzsche yang menyatakan bahwa “ Tuhan tidak bisa dijadikan objek pengetahuan sintesis tanpa adanya kematian yang datang kepadanya. Menurut saya pernyataan ini sangatlah ambigu, karena pengetahuan tentang Tuhan dapat bersumber dari manapun dan bukan hanya melalui kematian-Nya. Pengetahuan tersebut dapat juga berupa kepercayaan yang dialami setiap manusia.[4]

*      Konsep Tentang kebenaran
Kebenaran ditempatkan sebagai keberadaan bagi Tuhan, sebagai pengadilan tertinggi.  kehendak akan kebenaran memerlukan kritik. Tak seorang pun yang tertanya: siapa yang mencari kebenaran? Dengan kata lain apa yang diinginkan oleh orang yang mencari kebenaran ?. Filsuf menyatakan bahwa pikiran mencari kebenaran, bahwa ia mencintai dan mengkendaki kebenaran menurut “hukum”. Dalam metode Nietzsche, konsep kebenaran perlu di dramatisasi. Kehendak akan kebenaran masih berusaha menyeret kita menurut berbagai bahaya; Konsep tentang kebenaran mengambarkan suatu dunia yang “jujur”, bahkan ilmu pengetahunan, fenomena yang membentuk suatu “dunia” yang berbeda dari fenomena itu sendiri. Namun dunia ini, mengisyaratkan manusia yang jujur sebagai intinya. Hipotesa pertama terhadap pemikirannya adalah : dia tidak ingin ditipu dan tidak membiarkan dirinya ditipu karena “merusak, berbahaya, dan tidak menguntungkan” bagi yang tertipu (kejujuran bagi dunia itu sendiri). Hipotesa kedua adalah : Jika seseorang mengkehendaki kebenaran, hal itu bukan atas nama dunia, namun atas nama bukan dunia, sehingga dapat diartikan bahwa “kehidupan bertujuan untuk menyesatkan, menipu menyembunyikan, membingungkan, dan membutakan. Namun orang yang menginginkan kebenaran selalu menjatuhkan kebenaran besar dari kepalsuan: dia menjadikan kehidupan sebagai suatu “kesalahan” dan dunia ini sebagai “penampilan”. Dalam pemikiran filsafatnya, Nietzsche ingin mematenkan bahwa kebenaran haruslah bersifat mutlak atau tidak dapat diganggu gugat. Selain itu kebenaran yang hakiki haruslah mampu membuktikan wujud dari pada kebenaran itu sendiri.

Tanggapan & Nats Pendukung
Pernyataannya tentang kebenaran yang berpandangan bahwa kehendak akan kebenaran masih berusaha menyeret kita menurut berbagai bahaya merupakan pemikiran yang sangat sulit di terima diberbagai kalangan baik kalangan filsuf dan kalangan lainnya. Konsep kebenaran baginya diartikan dunia menyeret manusia kedalam zona bahaya. Padahal kebenaran yang ada haruslah bersifat hakiki dan pasti. Kebenaran tidak diperbolehkan menyimpang dari jalannya. Karena kebenaran haruslah sesuai dengan aturan hukum. Dalam kitab keluaran konsep kebenaran jelas terliat. Dimana hal ini tercermin dari kebudayaan orang Israel yang tertindas di Mesir. 40 tahun lamany bangsa Israel memperjuangkan kebenaran atas keturunannya. 40 hari lamanya mereka harus berjalan mendekati kebenaran yang sesungguhnya. Dalam pernyataan diatas, dapat dilihat bahwa bangsa Israel merupakan contoh konsep kebenaran. Karena pada akhirnya mereka mendapatkan apa yang telah dijanjikan Allah kepada mereka.[5]


*      Manusia Super
Di dalam pemikirannya, Nietzsche ingin menjadikan manusia mampu melakukan segala hal. Pemikirannya yang sangat luas, mendorong dirinya ingin menciptakan suatu yang dikenang oleh setiap orang. Hingga terpikirkan oleh dirinya untuk menciptakan manusia yang serba bisa (Manusia Super) dalam segala keadaan. Pemikiran Nietzsche rupanya sejalan dengan pemikiran Zarathusta yang ingin menjadikan manusia yang mandiri terhadap dirinya sendiri. Demi mewujudkan keinginannya, ia mengkelompokkan dan menyatukan segalanya untuk menjadikan kekuatan yang besar dari dalam diri manusia yan terdiri dari 3 bagian penting yakni (Otak, Kekuatan, dan Semangat). Akhir dari pemikirannya, Friedrich Nietzsche akhrinya mampu menciptakan keadaan manusia super yang di inginkannya.
Tanggapan & Nats Pendukung
Pemikirannya atas manusia terus berkembang yang mana didalam perkembangna pemikirannya, ia memikirkan akan kekuatan yang dimiliki oleh manusia. Dalam pikirannya, manusia pastilah mampu melakukan segala hal dan memikirkan segala sesuatu. Tetapi didalam kenyataannya manusia tidaklah seperti seorang superman atau superhero dalam kehidupannya. Manusia memiliki kelemahan disetiap sisi kehidupannya. Manusia hanya bisa kuat hanya karena Roh Kudus yang menyertainya.[6]

*      Kehendak untuk Berkuasa
Bagi Nietzsche, hidup, moralitas, dunia dan pengetahuan adalah kehendak untuk berkuasa. Gagasan yang terinspirasi dari Schopenhauer ini memiliki maksud bahwa dengna adanya kehendak untuk berkuasa, dunia dan segala sesuatunya menjadi eksis. Jadi, kehendak untuk berkuasa menjadi hakikat dari segala sesuatu. Dengan demikian, kehendak untuk berkuasa bukanlah sesuatu yang berbeda dari dunia seperti yang disangka oleh Schopenhauer, melainkan dunia itu sendiri. Sehingga, bagi Nietzsche, tidak ada distingsi antara dunia fenomenal dan noumenal.
            Kehendak untuk berkuasa bekerja secara dinamis. Hal ini dapat dicontohkan dengan pengetahuan manusia. Bagi Nietzsche, pengetahuan bekerja sebagai instrumen kekuasaan. Artinya, kehendak untuk mengetahui merupakan sala satu cara untuk menguasai atau mengatasi. Oleh karena itu, dengan mengetahui, kita dapat menyusun konsep-konsep, skema-skema, tatanan, struktur, dan susunan terhadap segala sesuatu. Semua ini dilakukan sebagai cara untuk menundukkan segala sesuatu. Dengan demikian, semakin berkembang pengetahuan mausia, maka semakin berkembang pula kekuasaan manusia.
            Akan tetapi, Nietzsche tidak mengkhendaki pengetahuan itu menjadi statis, atau menjadi kebenaran absolut. Sebab, bagi Nietzsche, pengetahuan hanyalah sebuah penafsiran, dan setiap penafsiran memiliki kelemahan, yaitu : terdapat kebutuhan subjektif dalam setiap penafsiran. Nah, kebutuhan subjektif inilah yang dapat menghalangi penafsir untuk melihar segala sesuatu secara objektif. Selain itu, segala sesuatu yang kita ketahui selalu berubah. Jadi, tidak ada yang tetap. Oleh karena itu, tidak ada pengetahuan murni  atau tidak ada kebenaran absolut, yang ada hanyalah kebenaran subjektif. Kebenaran subjektif ini pada akhirnya disebut sebagai kehendak untuk berkuasa. Nietzsche lebih menekankan manusia (subjektif) dominan terhadap dunia (objektif) dalam segala hal.

Tanggapan & Nats Pendukung
Kehendak untuk berkuasa merupakan cerminan pemikiran Nietzsche lainnya. Dalam pandangannya kehendak untuk berkuasa berarti memiliki peranan dominan dalam dunia ini, Secara sederhananya dapat dikatakan, manusia yang berkuasa ialah manusia yang berhasil menguasai. Cerminan pemikirannya hampir sejalan dengan apa yang diperintahakan Allah kepada manusia dalam kitab kejadian. Dimana manusia diperintakan untuk menguasai bumi, ikan, dan burung serta seluruh makhluk. Akan tetapi makna menguasai yang ada dalam pandangan Nietzsche berbeda dengan apa yang ada di dalam Alkitab.[7]

George Wilhelm Friedrich Hegel
(Dialektika)
                                                           
I. Riwayat Hidup
         George Wilhelm Friedrich Hegel lahir pada tanggal 27 Agustus 1770 di Stuttgart, Wurttemberg, Jerman. Sejak kecil ia sudah sangat rajin belajar. Ia melahap berbagai macam buku, surat kabar, dan literatur-literatur lainnya. Hal ini tak lepas dari peran keluarganya. Ibunya sangat aktif mendidik dan menjaga perkembangan intelektual anak-anaknya. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri di bidang administrasi dalam pemerintahan di Wurttemberg. Karena itu, dapat dikatakan bahwa ia berasal dari keluarga kelas menengah yang mapan.
            Sewaktu kecil, Hegel sering sakit-sakitan, bahkan hampir meninggal dunia karena penyakit cacar di usia yang belum sampai 6 tahun. Pada usia 18 tahun, ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa teologi di Universitas Tubingen. Di Universitas inim ia bertemu dengan Schelling dan penyair, Holderlin. Mereka bertiga ditempatkan dalam satu ruangan sehingga terjalin persahabatan di antara mereka.
            Minat Hegel terhadap filsafat dan teologi sudah sangat tampak pada saat ia masih menjadi mahasiswa di Tubingen. Setelah lulus dari Universitas Tubingen pada tahun 1793, ia pergi ke Bern, Swiss. Di sana, ia menjadi guru privat pada beberapa keluarga bangsawan. Pada tahun 1801, ia menjadi dosen di Universitas Jena. Tahun 1808, ia menjabat sebagai rektor di Gymnasium Nuremberg. Dan pada tahun 1818, ia pindah ke Berlin dan mengajar di sana. Ia meninggal pada tanggal 41 November 1831. Melalui data yang ada, penyebab meninggalnya adalah karena penyakit kolera yang ia derita.

II. Pemikiran Filsafat Hegel
*      Tentang Dialektika
Di tangan Hegel, Idealisme Jerman mencapai puncaknya. Hegel terkenal dengan metode dialektika dan filsafat sejarahnya. Ia sendiri, dalam mengurai filsafatnya, menggunakan metode tersebut, bahkan menjadi basis seluruh pemikiran filsafatnya. Hal ini terjadi karena menurutnya, dalam realitas dan sejarah, berlangsung dialektika. Jadi, ia menemukan metode tersebut dari relitas dan sejarah yang ia amati.
Dialektika yang dimaksud Hegel adalah mendamaikan atau mengkompromikan hal-hal yang berlawanan. Dalam hal ini dialektika berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah tesis, tahap kedua adalah Antitesis yang merupakan lawan dari tesis, sedangkan tahap ketiga adalah sintesis yaitu mendamaikan serta mengompromikan tesis dan antitesis.
Dalam Sintesis, tesis dan antitesis menghilang. Misalnya, jika warna hitam (sebagai tesis) dan putih (sebagai antitesis) disatukan (didamaikan dan dikompromikan), maka hitam dan putih akan menghilang, atau lebih tepatnya berubah menjadi warna yang lain, anggaplah abu-abu (sebagai sintesis). Akan tetapi, perlu diketahui bahwa dalam dialektika, tesis dan antitesis (hitam dan putih) tidak hilang sepenuhnya, melainkan diangkat dalam taraf yang lebih tinggi atau lebih sempurna. Maksudnya, dalam sintesis, tesis dan antitesis tetap ada, namun sudah menyatu, sehingga seolah menghilang dalam sintesis.
Namun, pada saat yang sama, sintesis akan menjadi tesis baru dan akan dihadapi oleh antitesis yang baru pula, kemudian menghasilkan sintesis yang juga baru dan seterusnya. Hal semacam inilah, menurut Hegel, berlangsung dalam realitas dan sejarah Filsafat.
Jika melihat sejarah filsafat, tentu dialektika pemikiran semacam ini snagat tampak. Misalnya, pada masa Yunani Kuno, Herakleitos mengatakan bahwa segala sesuatu mengalir atau berubah- ini menjadi tesis. Sementara itu, Parmenides mengatakan bahwa tidak ada perubahan, semua tetap dan diam – ini menjadi antitesis. Kemudian, muncul Empedokles yang mendamaikan keduanya. Menurut Empedokles, dalam realitas, ada yang berubah dan ada yang tetap. Jadi ia juga telah membuat sintesis. Sedangkan pada masa modern, Kant juga telah mendamaikan atau menyintesiskan dua aliran filsafat yang berlawanan, yaitu rasionalisme (tesis) dan empirisisme (antitesis). Sintesis yang diberikan oleh Kant terlihat pada pemikiran kritisismenya.
Dari adanya dialektika tersebut, Hegel ingin menunjukkan bahwa realitas berjalan melalui metode dialektika untuk menanggapai kesempurnaannya. Selain itu, dari adanya dialektika, Hegel juga ingin menunjukkan bahwa setiap pemikiran mengandung kesalingterkaitan dengan pemikiran yang lain.

Tanggapan & Nats Pendukung
Pemikirannya akan dialektika, menghantarkan dirinya kedalam ranah yang sangat sulit. Dimana terdapat kebingungan disetiap pemikiran dan tindakan. Misalnya ketika ada rapat disebuah instansi pemerintahan, dimana salah satu anggota menyampaikan pendapatnya tentang suatu masalah yang dirapatkan, maka orang itu telah menyampaikan suatu tesis. Tetapi anggota rapat alinnya tidak setuju dengan apa yang disampaikan. Anggota yang menolak pendapat tersebut dapat dikatakan antitesis. Dari kedua perbedaan pendapat tersebut, seluruh anggota kemudian merenungkannya untuk mencari alternatif yang paling baik, sehingga muncullah pendapat yang menyintesiskan dua pendapat sebelumnya. Sehingga mewujudkan satu tujuan yang sama dari tokoh yang berbeda. Pandangan ini sama dengan apa yang dikatakan didalam kitab Pengkotbah.[8]

*      Akal Budi, Intelek, dan Roh Absolut
Hegel membuat distingsi dalam proses pengetahuan, yaitu akal budi dan intelek. Menurutnya, dengan akal budinya, manusia menyerap hal-hal yang sifatnya pertikular dan kurang mendalam. Akan tetapi, dengan inteleknya, manusia mampu melihat peristiwa partikular secara keseluruhan dan kesalingterkaitannya dengan peristiwa partikular lainnya. Dengan kata lain, totalitas peristiwa dapat dimengerti berkat kemampuan intelek. Maka, dari sini diketahui bahwa intelek lebih tinggi dari pada akal budi atau peran intelek lebih besar dan lebih penting ketimbang akal budi.
Dengan kemampuan intelek, keseluruhan alam semesta dan dunia, baik dunia spiritual maupun material, dapat dimengerti. Di hadapan intelek, tidak ada yang tersembunyi, tida ada das ding an sich. Semua bisa dimengerti. Akan tetapi, walaupun intelek memiliki kekuatan besar untuk bisa mengerti segalanya, intelek mengerti akan dirinya, intelek perlu mengembara di dunia sehingga akhirnya mencapai kesadaran paripurna mengenai dirinya.
Intelek yang mengembara untuk mengetahui dirinya itu, oleh Hegel, diberi beberapa istilah, yaitu “Yang Absolut”, “Roh”, dan “Pengetahuan yang mengenali dirinya”. Roh mengembara sepanjang sejarah semesta, dan sejarah menjadi sarana untuk mencapai kesadaran diri intelek. Kesadaran diri roh akan dicapai mlalui manusia, karena hanya manusialah yang mempunyai kesadaran diri dan intelek. Oleh Hegel, fenomena ini disebut Fenomenologi Roh.
   Selanjutnya Hegel membagi Roh menjadi tiga macam yakni sebagai berikut :
      1. Roh Subjektif. Dalam hal ini, pemahaman masing-masing individu masnuia (subjek) terhadap realitas disebut Roh Subjektif. Sebab, di sana, ada gambaran-gambaran tentang realitas yang tergantung pada subjek yang melihatnya. Karena itu, pada roh pertama ini terlihat perbedaan masing-masing individu.
      2. Roh Objektif. Roh ini merupakan Roh Umum. Disebut Roh Umum karena roh ini dapat menggerakkan dan mengatasi kesadaran-kesadaran yang bersifat subjektif atau individual, seperti para pemimpin yang menguasai rakyaknya. Tetapi, Roh Objektif ini masih mempunyai kelemahan, karena hidup dalam ruang dan waktu. 
     3. Roh Absolute atau Roh Murni. Roh ini mempengaruhi Roh Subjektif dan Roh Objektif, namun tidak dipengaruhi oleh keduanya. Karena itu, roh ini bergerak di dalam semua, mengembangkan diri dalam semua, dan mengatasi semua.
Tanggapan & Nats Pendukung
          Dalam pemikirannya, ia menyatakan bahwa pengetahuan intelek lebih tinggi dari pada akal budi. Hal ini terlihat ketika dirinya lebih cenderung memikirkan sesuatu melalui rasionalitas dan tidak diseimbangi oleh akal budi. Pandangan ini sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Alkitab tentang pengetahuan intelektual dan akal budi. Dimana Alkitab lebih dominan merekomendasikan penggunaan Akal budi ketimbang pengetahuan Intelektual. Hal ini tercermin dari beberapa tindakan murid-murid Tuhan Yesus yang tidak percaya akan keberadaan dirinya didunia ini. Ketika Tuhan Yesus datang menghampiri murid-muridnya dari kejauhan melalui berjalan diatas air. Banyak dari murid-muridnya yang tidak percaya bahwa Tuhan Yesus yang datang untuk menghampiri mereka dan malah mengatakan Yesus seorang setan. Dari sinilah terlihat adanya ketidakpercayaan yang dimunculkan murid-muridnya terhadap Tuhan Yesus dan lebih mengutamakan Intelektual [9]
Soren Aabye Kerkegaard
(Lompatan Eksistensial)

I. Riwayat Hidup
            Soren Aabye Kierkegaard lahir pada tanggal 5 mei 1813 di Copenhagen, Denmark. Ia berasal dari keluarga kaya, dan merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ibunya bernama Anne Sorensdatter Lund Kerkegaard. Sedangkan ayahnya bernama Michael Pedersen Kierkegaard dan merupakan seorang yang sangat saleh serta dikenal sebagai orang yang selalu merasa mendapat kutukkan Tuhan akibat dosa-dosanya. Kierkegaard sangat dekat dengan ayahnya ini, sehingga sikap ayahnya yang melankolis tersebut sedikit banyak terwariskan kepadanya. Sebelum meninggal, ayahnya memintanya untuk menjadi pendeta. Kenangan indah bersama ayahnya sangat membekas dalam dirinya.
Demi menyenangkan hati orang tuanya, pada tahun 1830, Kierkegaardn masuk fakultas teologi di Universitas Copenhagen. Padahal, ia sangat menyukai filsafat, kesusastraan, dan sejarah. Karena itu, ketika menjadi mahasiswa, ia lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu yang disukainya tersebut.
Pada tahun 1836, ia mengalami krisis keagamaan dan patokan-patokan moral. Karena krisis itulah, ia sempat mempunyai keinginan untuk bunuh diri. Namun, setelah ayahnya meninggal, ia kembali sadar. Ia bertobat serta menyusun kembali puing-puing keagamaan dan moral yang pernah dihancurkannya. Tidak hanya itu, ia juga berhasil menyelesaikan studi teologinya.
Kisah cintanya dengan Regina Olsen, seorang wanita yang dicintainya semenjak wanita ini masih berusia 14 tahun, seakan-akan menjadi salah satu penerapan sistem filsafatnya. Pada saat Regina berusia 18 tahun, dan ia sendiri berumur 27 tahun, ia melamarnya. Pasangan ini diramalkan akan hidup bahagia, keduanya pun sangat mengharapkan hal itu. Akan tetapi, ketika pertunangan berjalan sampai sebelas bulan, Kierkegaard berubah pendirian dan mengambil keputusan untuk mengakhiri pertunanganya. Keputusan ini diambil karena ia merasa tidak cocok untuk hidup berkeluarga lantaran ada hal-hal yang harus disembunnyikan kepada pasangan, sementara orang yang menikah tidak boleh ada yang tersembunyi di antara keduanya.

Keputusan tersebut tentu juga sangat mengecewakan Regina, tetapi ia kemudian bisa mengatasinya dan hidup bahagia dengan pria lain. Sementara, bagi Kierkegaard, keputusan itu mungkin sangat tepat karena tidak bertentangan dan malah mendukung keyakinannya, di samping ia bisa fokus pada ajaran agama. Demikianlah, Kierkegaard menjalani kehidupannya tanpa menikah. Ia meninggal pada tanggal 11 November 1855 di Copenhagen dalam usia 42 tahun.

II. Pemikiran Filsafat Kierkegaard
*      Agama yang Dihayati
Pada masa hidup Kierkegaard, ajaran Hegel sangat populer di kalangan para pelajar. Kierkegaard pun ikut mempelajari pemikiran Hegel, bahkan ia juga mempelajari dampak-dampak pemikiran Hegel pada sikap hidup orang-orang yang meyakininya, khususnya bagi orang-orang yang menganut agama Kristen. Ia melihat ada sekularisasi dari ajaran Hegel, bahkan ajaranya dapat melemahkan iman karena Hegel meletakkan iman di bawah filsafat.
Menurut Hegel, ada dorongan mental dalam kehidupan manusia yang dapat mengantarkannya dari seni menuju agama, lalu sampai pada filsafat. Seni membuat Tuhan dan kebenaran muncul dalam bentuk imajinasi. Sedangkan, agama lebih tinggi dari seni karena agama menggambarkan Tuhan dan kebenaran dalam lukisannya secara lebih sempurna. Namun sayangnya, menurut Hegel, agama mengandung intelektualitas model cerita, kisah, dan hikayat. Karena itu, filsafat menyempurnakan lukisan pengetahuan tentang kebenaran yang telah dilukis agama. Lantaran di dalam filsafat ada konsep-konsep dan ide-ide yang terang dan jelas, filsafat dapat menjelaskan seluruh realitas secara rasional.
Konsekuensi dari pendapat Hegel tersebut memunculkan anggapan bahwa iman hanya memuaskan orang-orang yang memiliki kecerdasan sedang. Sementara, orang-orang yang memiliki kecerdasan tinggi akan terpuaskan dengan filsafat. Sebab, filsafat akan memberi pemahaman terhadap yang di imani atau di yakini, seperti yang diajarkan agama.
Ajaran semacam itulah yang ditentang oleh Kierkegaard. Menurutnya, ajaran Hegel bertentangan dengan ajaran agama dan dapat merusak pemikiran yang benar tentang agama. Di dalam agama diajarkan bahwa iman di atas segala-galanya. Iman melampaui akan, Apa yang tidak dapat dijangkau oleh akal, iman dapat memasukinya. Lebih jauh, ajaran agama tidak dapat dipahami oleh akal, seperti Tuhan, malaikat, surga, dan neraka. Hanya keimananlah yang dapat memahami semua itu, yakni lewat firman-firman Tuhan dalam kita suci.

Apabila mengikuti Hegel dalam memahami agama, maka agama hanyalah objek pemikiran. Agama sekedar perilaku atau ritual yang dapat dilihat dan jauh dari nilai-nilai subjektivitas yang mendalam atau penghayatan mendalam terhadap agama. Agama sekedar tradisi atau kebiasaan orang-orang umum yang tidak membekas dalam diri individu pelakunya. Sehingga, orang yang mengaku beragama tidak benar-benar mengetahui siapa Tuhannya.
Sehubungan dengan itu, Kierkegaard menginginkan agama dipahami secara subjektif yakni, agama yang dihayati secara pribadi. Agama tidak hanya untuk dipelajari, tetapi untuk dihayati dan diaplikasikan dalam prilaku sehari-hari. Sehingga, agama benar-benar melebur dalam diri pelakunya.

Tanggapan & Nats Pendukung
“Dorongan mental dalam kehidupan manusia dapat mengantarkannya dari seni menuju agama, lalu sampai pada filsafat. Seni membuat Tuhan dan kebenaran muncul dalam bentuk imajinasi. Sedangkan, agama lebih tinggi dari seni karena agama menggambarkan Tuhan dan kebenaran dalam lukisannya secara lebih sempurna”. Kutipan ini merupakan hasil dari pada pemikiran Kierkegaard. Dimana ia mengelompokkan 3 usur utama dalam pemikiranya yakni Seni, Filsafat, Agama. Dalam pandangannya seni dari kebenaran memiliki sesuatu yang dapat memunculkan keberadaan Tuhan sedangkan seni dari agama merupakan tingkatan lanjutan dalam filsafatnya. Itu berarti bahwa seni dan agama saling berkaitan dan memiliki tujuan utama dalam menjelaskan keberadaan Tuhan.[10]

*      Peran Individu
Kritik Kierkegaard juga ditujukan kepada Hegel yang telah mengajarkan hilangnya peran individu dalam kehidupan lantaran adanya Roh Absolut yang menguasai seluruh manusia.  Bagi Hegel, manusia hanyalah alat bagi Roh Absolut. Roh Absolut mempunyai keinginan untuk sadar diri, yaitu melalui manusia-manusia konkret. Sehingga, dapat dimaknai bahwa yang benar-benar nyata adalah yang abstrak, yaitu Roh Absolut yang bermain di belakang layar. Sementara, manusia-manusia konkret hanyalah individu-individu yang tidak sadar diri bahwa dirinya digerakkan oleh Roh Absolut.
Dari konsepsinya tersebut, Hegel juga berpandangan bahwa nilai kebenaran akan semakin tinggi ketika disepakati secara kolektif. Pendapat, “aku” akan semakin benar, jika diakui oleh “kita”. Maka, kebenaran dalam Hegel berada dalam kerumunan, bukan pada individu. Hal ini akan berdampak pada anggapan bahwa yang paling benar adalah “bangsa”, “ras, “kita”, “zaman”, “sejarah”, “roh dunia”, dan bukan “aku”, atau “pikiranku sendiri”.
Dalam kaitan itulah, dapat disimpulkan bahwa yang benar adalah yang abstrak, bukan yang konkret. “Roh dunia”, “bangsa”, “kita”, dan “ras” adalah konsep-konsep abstrak yang meniadakan “individu-individu” konkret. Nah, dari sinilah, keberatan yang diajukan Kierkegaard menemukan momentumnya. Kierkegaard mengajukan pentinnya peran individu dalam kelompok. Ia tidak ingin menghilangkan individu-individu konkret di tengah kerumunan manusia-manusia abstrak.
            Bagi Kierkegaard, manusia memiliki kemampuan subjektif dalam mengambil keputusan secara pribadi dan berkomitmen untuk mempertahankannya. Tidak ada orang lain yang dapat merecoki keputusan pribadinya. Orang lain tidak dapat memaksakan kehendaknya. Keputusan yang diambil individu itu merdeka.
            Dengan demikian, Kierkegaard sangat menghargai peran individu, karena individu memiliki martabat dalam permikirannya. Berbeda dengan Hegel yang mengagungkan “kekitaan”. Dalam konsep Hegel, individu dapat dianggap tidak memiliki martabat, karena Hegel lebih mementingkan kolektivitas ketimbang individu.
            Menurut Kierkegaard, jika konsep Hegel itu benar, maka individu-individu akan lari dari tanggung jawab mereka atas segala tindakan yang telah mereka lakukan. Sebab, bisa saja mereka menyerahkan tanggung jawab kelompok mereka. Padahal, mereka melakukannya atas dasar keputusan pribadi masing-masing, meskipun seolah-olah keputusan kelompok.
            Karena itulah, Kierkegaard, menyimpulkan bahwa yang benar-benar bereksistensi adalah individu, bukan kerumunan. Bereksistensi adalah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat mengganti eksistensi aku sebagai aku dan atas nama aku. Aku bereksistensi karena aku memiliki hasrat dan keinginan serta tindakan yang bersifat subjektif, bukan digerakkan oleh orang lain di luar diriku.
Lebih jauh, dampak dari pemikiran Kierkegaard tersebut adalah orang-orang yang hidup dalam kerumunna atau lebih tepatnya mengikuti kerumunan, tidak dapat dikatakan memiliki eksistensi. Ia laksana hewan yang mengikuti perintah tuannya atau mengikuti hewan-hewan lain yang mengerumuninya. Orang dapat dikatakan bereksistensi ketika ia aktif mengarahkan hidupnya sendiri.
            Istilah “eksistensi” berasal dari Kierkegaard sendiri, dan ialah orang pertama yang menggunakan istilah itu. Istilah “eksistensi” hanya dapat diterapkan pada manusia atau lebih tepatnya individu yang konkret. Belakangan, istilah tersebut menjadi sebuah aliran baru dalam filsafat, yaitu eksistensialisme. Karena itulah, Kierkegaard dianggap sebagai Bapak Eksistensialisme.

Tanggapan & Nats Pendukung
            Kali ini Hegel berpikir tentang keterkaitan diantara Roh dan tubuh. Bagi Hegel, manusia hanyalah alat bagi Roh Absolute. Roh Absolute mempunyai keinginan untuk sadar diri, yaitu melalui manusia-manusia konkret. Sehingga, dapat dimaknai bahwa yang benar-benar nyata adalah yang abstrak, yaitu Roh Absolut yang bermain di belakang layar. Sementara, manusia-manusia konkret hanyalah individu-individu yang tidak sadar diri bahwa dirinya digerakkan oleh Roh Absolut. Pandangan ini sebenarnya secara logika sangatlah sesuai dimana manusia memiliki 3 bagian dalam hidupnya yakni Tubuh, Jiwa, dan Roh dan yang paling terpenting adalah Roh. Dalam pandangan agama, roh dianggap sebagai suatu inti dari kehidupan melalui Roh yang ada di dalam diri manusia, manusia mampu menjalankan aktivitasnya sehari-hari.[11]

*      Tiga lompatan Eksistensial

Setiap manusia memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan dan sikap secara pribadi serta berkomitmen dalam kehidupannya. Persentuhan dengan berbegai pengalaman hidup akan membuat manusia mengalami lompatan-lompatan yang membuat dirinya semakin matang dalam menjalani hidup. Ada tiga tahap lompatan eksistensial yang diungkapkan oleh Kierkegaard. Tatap lompatan ini, menurut Hardiman (2007), dapat pula disebut dialektika eksistensial. Dialektika yang di usung Kierkegaard ini salah satunya sebagai tandingan atas dialektika Hegel yang cenderung sekuler dan meniadakan eksistensi individu. Karena itu, dialektika Kierkegaard merupakan perkembangan individu dari satu tahap menuju tahap lainnya, bukan perkembangan Roh yang menyangkut seluruh relitas.

Perlu juga diketahui bahwa tiga tahap eksistensial tersebut dilalui lewat pilihan dan komitmen pribadi. Jadi, agar sampai pada tahapan ekstistensial yang lebih tinggi, individu dituntut untuk memilih salah satu alternatif, dalam bahasa Kierkegaard, individu memilih ini atau itu. Dan, ini bukan persoalan konsep, melainkan pilihan dan komitmen individu untuk melangkah ke tahap eksistensi yang lebih tinggi. Berikut adalah tiga tahap lompatan eksistensial tersebut.


1)      Tahap Estetis

Pada tahap ini, manusia atau individu dalam keadaan mental yang labil. Ia sering diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi-emosinya, serta menuruti hawa nafsunya. Orang yang berada pada tahap ini tidak akan mengindahkan aturan-aturan moral karena dianggap menghalangi pemuasan hasrat dirinya. Akan tetapi, orang yang berada pada tahap ini akan dilanda ketakutan, kebosanan, rasa tidak puas, dan putus asa. Walaupun demikian, ini termasuk tahap eksistensial, karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih hidup yang seperti ini. Namun, ketika manusia sudah dilanda keputusasaan dalam tahapan ini, ia akan mencari jalan keluar menuju tahap eksistensial selanjutnya.

2)      Tahap Etis

Tahap ini merupakan lompatan dari tahap estetis. Ketika seorang berada oada tahap estetis  dan mengalami keputusasaan serta bebas memilihnya, maka ia akan berhadapan dengna tahap etis. Pada tahap etis ini, ia juga bebas untuk memilih atau meninggalkannya. Jadi, tahap etis bukanlah paksaan, melainkan kesadaran eksistensial. Tahap etis adalah sebuah tahap di mana seorang manusia mampu menguasai dirinya dengan tengah putus asa atau sedang berhadapan dengan berbagai persoalan. Orang yang mampu menguasai diri akan menyesuaikan hidupnya dengan patokan-patokan moral universal. Akan tetapi, pada tahap ini, meski berusaha mengikuti aturan moral universal, orang tersebut masih tergantung pada konsepsi rasio yang terbatas. Jadi, orang tersebut masih imanen dan cenderung tragis, karena mengikuti konsepsi rasio yang terbatas. Namun, kalau hidupnya semakin dihayati secara lebih mendalam, ia akan melompat pada ahap eksistensial selanjutnya.

3)      Tahap Religius

Tahap religius merupakan tahap terakhir dari lompatan eksistensial manusia. Sebagaimana telah dikatakan, orang yang lebih dalam menghayati hidupnya atau mencari sesuatu yang melampaui rasio, maka orang tersebut akan berhadapan dengan religiusitas atau keimanan. Iman dapat melampaui rasio yang terbatas. Di sini, seorang akan menjadi sadar terhadap Tuhannya yang menguasai dirinya dan tidak terbatas. Jadi, jika sebelumnya berpatokan pada yang terbatas, maka pada lompatan iman ini, manusia bergantung pada yang tak terbatas. Pada tahap inilah, eksistensi manusia mencapai puncaknya.



Michel Foucault
(Kuasa)

I. Riwayat Hidup
            Michel Foucault tidak pernah mengisahkan riwayat hidupnya, bahkan selalu ia agak enggan untuk menyampaikan data-data biografis tentang dirinya. Sebagaimana akan menjadi jelas nanti, hal itu tidak terlepas dari corak pemikirannya. Ia lahir di Poitiers pada tahun 1926. Ia berasal dari kalangna medis; ayahnya ahli bedah, seperti juga saudaranya dan kakeknya. Orang tuanya mengharapkan Michel akan memilih profesi yang sama, tetapi ia lebih tertarik pada studi filsafat, sejarah, dan psikologi. Namun demikian, kita akan melihat lagi bahwa pemikirannya berkaitan erat dengan bidang medis, khususnya psikopatologi. Ia diterima di Ecole normale superieure (1945) dan menempuh studinya terutama di bawah bimbingan G. Canguihen, G. Dumezil, dan J. Hyppolite. Tiga tahun kemudian ia memperoleh licence dalam psikologi (1952).
Pada tahun-tahun berikutnya ia melanjutkan penelitiannya di beberapa klinik psikiatris dan mengajar Ecole normale superieure tentang psikopatologi. Pada tahun 1954 ia menerbitkan buku kecil berjudul Maladie mentale et personnalite (Penyakit Jiwa dan Kepribadian). Sesudah itu ia menerima tawaran menjadi dosen di Universitas Uppsala (Swedia) di bidang sastra dan kebudayaan Prancis (1954-1958). Michel Foucault adalah filsuf Prancis yang cukup banyaak diminati dalam dunia berbahasa inggir dan beberapa kali ia menjadi dosen tamu di Amerika serikat. Foucault tidak pernah menghindari actualitas dan kerao kali merumuskan pendapatnya tentang masalah –masalah aktual melalui wawancara atau artikel majalan. Tahun 1984 ia meninggal dunia pada umur 57 tahun. Walaupun tidak pernah dikonfirmasi secara resmi, ada kepastian cukup besar bahwa ia menjadi korban penyakit AIDS.

II. Pemikiran filsafat Foucaoult
*      Pemikiran tentang Kuasa
Sesudah buku-buku yang dibicarakan diatas, dapat kita saksikan suatu perkembangan baru dalam pemikiran Foucaoult. Ia menemukan bahwa apa yang disebut Oleh Nietzsche tentang “genealogi” sebetulnya cukup dekat maksudnya sendiri dengan arkeologi tetapi ada unsur dari genealogi Nietzsche yang belum tampak dengan jelas dalam peneltiannya sendiri, yaitu kuasa. Atau lebih tepat, dalam buku-buku sebelumnya paham kuasa itu sebenarnya sudah hadir tetapi masih tinggal implisit. Untuk selanjutnya “kuasa” menjadi tema terpenting bagi pemikiran Foucault. Banyak yang sudah ditulisnya tetang kuasa, namun kata Foucault sedikit sekali saja yang kita ketahui tentangnya. Implisit atau eksplisit, Foucaoult, sering menyebut Marxisme, tetapi menurutnya analisa Marxisme tentang kuasa karena pelbagai alasan tidak memuaskan.
Foucault ingin menganalisa strategin kuasa yang faktual. Ia tidak menyajikan suatu metafisika tentang kuasa, tetapi suatu mikrofisika, katanya. Artinya, masalahnya bukanlah apa itu kuasa, melainkan bagaimana berfungsinya kuasa pada suatu bidang tertentu. Kuasa bagi Foucault sama dengan serba banyak relasi kuasa yang bekerja di salah satu tempat atau waktu. Buku-buku menjaga dan menghukum dan sejarah seksualitas terutama bermaksud menganalisa strategi kuasa yang berbelit-belit itu di suatu bidang konkret. Kuasa analisa secara menyeluruh rupanya bagi Foucault tidak mungkin. Tetapi Mikrofisika seperti itu dapat menghasilkan beberapa pendapat umum tentang kuasa yang agak berbeda dengan kebanyakan pendapat sebelumnya tentang masa yang sama. Marilah kita memandang beberapa di antara pendapat –pendapat Foucault itu dengna sepatah kata komentar.

 Macam-macam kuasa dalam pemikiran Foucault
-  Kuasa bukanlah milik melainkan strategi
Biasanya kuasa disamakan dengan milik. Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Tetapi dalam pandangan Foucault kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran.

-  Kuasa tidak dapat dialokasi tetapi terdapat di mana-mana
   Biasanya kuasa dikaitkan dengan orang atau lembaga tertentu, khususnya aparat negara. Tetapi menurut Foucaoult strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ pun kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang di luar, tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Secara khusus perlu kita perhatikan perkaitan antara kuasa dan pengetauan. Pengetahuan tidak berasal dari salah satu subyek yang mengenal, tetapi dari relasi-relasi kuasa yang menandai subjek itu. Pengetahuan tidak “mencerminkan” relasi-relasi kuasa (seperti dikatakan Marxisme); pengetahuan tidak merupakan pengungkapkan samar-samar dari relasi-relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memproduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tetapi oleh Foucault dimaksudkan sesuatu yang lebih umum; tidak ada pengetahuan tanpa kuasa. Serentak juga harus dikatakan bahwa tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Disini terdapat suaut korelasi; pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Kuasa dan pengetahuan merupakan dua sisi yang menyangkut proses yang sama. Tidak mungkin pengetauan itu netral dan murni. Pengetahuan selalu bersifat politis, tetapi bukan karena mempunyai konsekuaensi-konsekuensi politis atau dapat dipergunakan dalam percaturan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan oleh relasi-relasi kuasa. Tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat menciptakan dasar kemungkinannya sendiri; suatu ilmu dimungkinkan oleh transformasi-transformasi di antara relasi-realasi kuasa.

-  Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi
Kuasa sering kali dianggap subyek yang berkuasa (raja, pemerintah, ayah, laki-laki, dan kehendak umum) dan subjek itu dianggap melarang, membatasi, menindas, dan sebagainya. Menurut Foucault kuasa tidak bersifat subyektif. Inilah salah satu alsan juga mengapa ia menolak pandangan Marxistis; kuasa tidak dapat dilihat sebagai suatu proses dialektis di mana si A menguasai si B dan kemudian si B menguasai si A. Kuasa juga tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengna cara positif dan produktif. Akhir kata, Foucault berpendapat “kita harus berhenti melukiskan akibat-akibat kuasa dengan cara negatif; seolah-olah kuasa meniadakan, merepresi, mensensor, mengabstraksikan, menyelubungi, menyembunyikan. Pada kenyataannya kuasa memproduksi.

Tanggapan & Nats Pendukung
Soren Kierkegaard memikirkan hal yang hampir serupa dengan Nietzche yakni terkait dengan kuasa. Apabila Nietzsche memikirkan kuasa sebagai suatu cara untuk memiliki dunia, berbeda dengan itu, Kierkegaard memikirkan kuasa sebagai langkah dalam mengendalikan segala aturan yang telah dibuat.[12]




KEPUSTAKAAN


Bertens, K                               Filsafat Barat Kontemporer Prancis    Jakarta: Gramedia
2001

Ravertz, Jerome R                   Friedrich Nietzsche      London: Pimlico Press        
            2003

Rahman Arif Masykur,           Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat    Yogyakarta: IRCiSod
 2013

Sartup                                      Posstrukturalisme dan Posmodernisme    London: Mizan
            2007







[1] Referensi Alkitab dari Matius 28:6 (Kebangkitan Yesus)
[2]Referensi Alkitab dari Markus 16:1
[3] Referensi Alkitab dari Matius 3:17 ; 8:29
[4] Referensi Alkitab dari Mazmur 23; 73:23-28
[5] Referensi Alkitab dari kitab Keluaran 1:8; 3:2; 6:5; 15
[6] Referensi Alkitab dari kitab Ayub 33; Pengkhotbah 12:7; Yesasa 6:3
[7] Referensi Alkitab dari kita Kejadian 1:26
[8] Referensi Alkitab dari kitab Pengkotbah 8:2
[9] Referensi Alkitab dari kitab Markus 6:45-52
[10] Referensi Alkitab dari kitab Yesaya 28:29; Mazmur 119:89; Yakobus 2:26
[11] Referensi Alkitab dari kitab Korintus 1:21,22
[12] Referensi Alkitab dari kitab Keluaran 19:3

Comments

Popular posts from this blog

(LX. SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP)

SAKRAMEN BAPTISAN DI HKBP  I. Pendahuluan             Baptisan merupakan salah satu sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri dalam Amanat AgungNya. Oleh karena itu gereja melayankan baptisan sebagai salah satu sakramen bagi orang percaya.             Kata “baptis” berasal dari Bahasa Yunani, “baptizo” yang artinya: mencelupkan ke dalam air ataupun memasukkan ke dalam air. Pemandian ke dalam air baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan upacara seremonial yang khusus. [1] Baptisan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu baptisan yang berlaku di tengah-tengah gereja, bukan hanya menunjuk pada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi bukti dan mengukuhkan perwujudan atas kedatangan Kristus ke dunia. [2] HKBP sebagai salah satu gereja Tuhan di Indonesia mengakui dan melayankan Baptisan Kudus sebagai salah satu sakramen di samp...

(LXXVI. MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA)

MENGENAL PDT. DR. SOUNTILON   MANGASI SIAHAAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGISNYA [1] 1. Biografi             Pdt. Dr. Sountilon M. Siahaan lahir pada tanggal 7 April 1936 di desa Meat-Balige, sebuah desa di tepian Danau Toba. Setelah tamat dari SMA Negeri Balige 1956, beliau melanjutkan belajar ke Fakultas Teologi Universitas HKBP Nommensen dan selesai tahun 1961. Menikah pada 26 Agustus 1961. Sejak tahun 1961-1963 beliau bekerja sebagai Pendeta Praktek dan sekaligus sebagai Pendeta Pemuda/Mahasiswa HKBP Ressort Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta. Ditahbiskan sebagai Pendeta HKBP pada 1 Juli 1962.             Beliau selanjutnya tugas belajar ke Universitas Hamburg pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Magister Teologi pada tahun 1967 dan meraih gelar Doktor Teologi (Cum Laude) pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul Die Konkretisierung ...

(XXXI. TAFSIRAN HISTORIS KRITIS MAZMUR 23:1-6)

Tinjauan Historis Kitab Mazmur 23:1-6 Oleh " Rahman Saputra Tamba " BAB I Pendahuluan             Nama kitab ini dalam LXX adalah Psalmoi [1] . Alkitab bahasa latin memakai nama yang sama. Kata Yunani (dari kata kerja psallo yang artinya “memetik atau mendentingkan”). Mula-mula digunakan untuk permainan alat musik petik atau untuk alat musik itu. Kemudian kata ini menunjukkan nyanyian ( psalmos ) atau kumpulan nyanyian ( psalterion) . [2] Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul Kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah [3] tehillim yang artinya “puji-pujian atau nyanyian pujian”.             Dalam Alkitab Ibrani, Kitab Mazmur terdapat pada awal bagian Kitab-kitab. Para nabi menempatkan sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Da...