KEMATIAN
- Definisi
Dalam bahasa Yunani kematian
disebut thanatos. Thanatos berarti bentuk kematian atau
keadaan mati[1].
Tetapi kata ini juga dipakai untuk mengungkapkan hal berbahaya yang mematikan,
bagaimana kematian, ancaman kematian. Thanatoo
berarti membuat seseorang mati, membunuh, dan mengakibatkan sesuatu hal
berbahaya yang mematikan. Kematian adalah jangka waktu ketika kita melewati
dengan sendiri dunia yang tidak kelihatan[2].
- Latar belakang
Di dalam dunia helenis, kata thanatos dan thanatoo biasanya dipakai sebagai bentuk ungkapan untuk kematian
rohani dan kematian intelektual. Dalam budaya Yunani kematian berarti akhir
dari segala aktivitas kehidupan, kematian juga dialami oleh jiwa. Kematian
adalah tujuan setiap orang, yang merupakan sisi negatif dari hidup ketika
kematian itu digambarkan seperti setan atau kejahatan. Oleh karena itu dalam
filsafat Yunani selalu ditekankan agar menikmati hidup sepenuhnya karena pada
saat kematian hal itu tidak dapat dinikmati lagi (1 Kor. 15:32). Hal yang
menarik dari filsafat Yunani adalah pernyataan bahwa untuk menghilangkan
penderitaan akibat kematian maka hadapilah kematian tanpa rasa takut. Dalam beberapa
kasus kematian dianggap sebagai hal yang baik, di mana ketika seseorang mati
karena berperang melawan musuhnya demi mempertahankan kebenarannya maka itu
adalah kematian yang dihormati.
Sebagai hubungan dengan
kematian maka ada kepercayaan bahwa jiwa adalah kekal. Misalnya pendapat Plato
yang menyatakan bahwa dalam kematian, jiwa tidak terikat kepada tubuh, dalam
arti jiwa adalah kekal dan tubuh adalah fana. Stoa berpendapat bahwa dalam
kematian, jiwa akan menyelam ke dalam dunia jiwa yang menembus alam semesta.
Pemahaman tentang kematian
dalam pandangan Modern-sekular Barat sering dipengaruhi oleh tiga aliran
berikut:
1. Kematian disingkirkan dari kesadaran
manusia menjadi hal yang tabu dan urusan pribadi. Kematian terjadi di luar
kesadaran masyarakat.
2. Kematian tidak lagi dirasakan sebagai
hukuman Allah dan tindajan pengadilan melainkan sebagai kecelakaan dan kesialan.
3. Kematian sebagai suatu pesta atau
menghubungkkannya dengan ide pengorbanan diri demi nilai yang luhur.
- Dasar teologis
Dalam Perjanjian Lama kematian
berarti akhir kesudahan dari keberadaan seseorang (2 Sam. 12:15; 14:14).
Manusia diciptakan dari tanah dan mereka akan kembali menjadi debu (Kej. 3:19).
Jiwa diartikan sebagai sheol (hades)
yang tidak ada lagi kehidupan di luar daripadanya. Manusia yang mati pergi ke hades (ruang antara kematian dan
penghakiman akhir[3]).
Seandainya Allah menginjinkan
kita untuk hidup lebih lama dan panjang umur, sampai kita mendapatkan apa yang
mungkin untuk kita peroleh, maka kemungkinan kita akan sangat bersyukur dan
penuh sukacita (Kej. 15:15; Mzm. 91:16). Perjanjian Lama tidak mengandung
konsep tentang dosa atau yang mengakibatkan kematian adalah konsekuensi dosa.
Kematian bukanlah penghukuman yang ilahi. Adam mengalami kematian itu adalah
sebagai hukuman akan ketidakpatuhannya (Kej. 2:17). Demikian juga halnya dalam
Mzm. 90 yaitu cerita tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa dan gambaran
hubungan antara dosa dan kematian bahwa hal kematian merupakan hal yang wajar
yang harus dilalui dalam hidup sebagai manusia yang berdosa (bnd. Mzm. 14:2).
Allah-lah yang menguasai sheol (Mzm.
139:8) dan segalanya ada di bawah kuasa Allah tak terkecuali kematian (Mzm.
73:23-28).
Setelah zaman pembuangan
berbagai konsep pemahaman tentang manusia dan ketetapan Allah mengalami perubahan
dalam arti yang baru. Di mana terdapat hubungan yang lebih pribadi dengan Allah
(Yer. 31:29-34; Yeh. 18:2-32). Hal itu berarti bahwa bagi Yahudi satu abad
sebelum kedatangan Kristus kematian merupakan hal yang sangat rumit untuk
dipahami. Dalam apokaliptik Yahudi kita menemukan konsep kerajaan Allah pada
akhir zaman, di mana dosa telah dihapuskan dan kematian tidak lagi mempunyai
kekuatan. Ada harapan tentang kebangkitan (anastasis) di mana hal itu terdapat
dalam Yes. 26:19 dan Dan. 12:2, yang menyatakan bahwa pada generasi berikutnya
kematian dapat diatasi oleh pekerjaan ilahi dan menjadi ciptaan baru. Kebenaran
akan masuk ke dalam kehidupan abadi dan kejahatan masuk ke dalam kematian
kekal.
Kematian adalah akhir dari
segala kehidupan. Mati berarti hal yang terakhir dari kemungkinan yang
diberikan kepada kita. Walaupun kita dapat membedakan kematian fisik dan
metafisik, namun semuanya itu tidak dapat dipisahkan dan yang terjadi adalah
berakhirnya segala sesuatu dari keberadaan ciptaan itu, apapun yang terjadi
dalam kematian haruslah dianggap sebagai sesuatu yang berbeda dari sifat
kesinambungan hidup. Inilah yang merupakan hukuman bagi hidup yaitu bahwa
kematian merupakan bagian terpenting dalam hidup yang tidak terlalu penting
untuk dipikirkan[4]. Kematian
juga berperan ketika bangsa Israel melanggar jalan Allah (Yeh. 18:21-32).
Pemberontakan dan pengerusakan kepada hubungan dengan Allah adalah suatu bentuk
kematian, hanya yang menurut kehendak Allah-lah yang dipandang sebagai
kehidupan. Pengaruh dari paham Yunani tentang kematian mengakibatkan orang
Yahudi beranggapan bahwa mati martir adalah kematian karena perjuangan,
sehingga kematian dianggap sebagai kemuliaan dan kesalehan. Misalnya Josepus,
seorang pesuruh raja Eleazar, ketika terjadi peperangan di Masadah ia lebih
baikmemilih mati membela Yahudi daripada tunduk kepada kuasa Romawi.
Dalam pemahaman Perjanjian
Baru manusia adalah fana dan hidup di bawah bayang-bayang kematian. Oleh karena
manusia itu adalah orang berdosa sejak ia dilahirkan maka hidupnya sejak saat
itu selalu terancam oleh maut[5].
Allah sebagai sumber segala kehidupan adalah sebagai satu-satunya yang
mempunyai kekekalan.
Apakah penyebab kematian?
Paulus berkata bahwa upah dosa adalah kematian (Rom. 6:23). Dasar pandangan
tersebut yaitu iblis merupakan penguasa kematian (Ibr. 2:14), walaupun
sebenarnya Allah sendirilah yang mampu menghancurkan tubuh dan jiwa dalam dunia
kematian (Mat. 10:28; Why. 2:23). Dalam Perjanjian baru penyebab kematian
merupakan hal yang teologis. Kematian itu universal dan hal tersebut merupakan
keuniversalan kesalahan manusia dan jalan manusia untuk pengampunan.
Kematian spiritual dan
kematian fisik tidak dapat dipisahkan satu sama lain yang merupakan bagian dari
kenyataan hidup dalam dosa. Sehingga orang berdosa akan meratap “siapakah yang
akan menyelamatkan aku dari tubuh yang mati ini?” (Rom 7:24). Paulus dalam
pemberitaannya selalu membuat hubungan antara kesalahan-kesalahan dengan kodrat
manusia sebagai mahluk yang fana. Manusia jatuh ke dalam dosa dan mengalami
kematian yang kemudian dipanggil oleh Kristus ke dalam kehidupan. Hal itu
digambarkan dengan tipologi Adam dan Kristus. Hidup yang telah diberikan oleh
Kristus membentuk suatu analogi yaitu dosa telah masuk ke dalam dunia melalui
satu orang manusia (Adam) dan dosa mendatangkan kematian (Rom. 5:12; bnd. 1
Kor. 15:21-22). Kematian adalah hukuman bagi setiap orang berdosa. Kematian
bukanlah hanya sebatas biologis, tetapi juga penolakan Allah akan kehidupan
yaitu kematian orang berdosa[6].
Di lain pihak keselamatan dan hidup atau kemenangan atas kematian bukanlah atas
usaha manusia namun oleh karena karya anugerah Allah.
Dalam pemberontakan kita
kepada Allah, kita hanya akan mendapatkan hidup yang sesuai dengan kehendak
manusiawi kita, dan akan mendapatkan kematian dalam ruang lingkup Hukum Taurat
dan peraturan-peraturan. Oleh karena itu Hukum Taurat, dosa dan kematian berada
dalam tingkatan yang sama: “sengat maut ialah dosa, kekuatan dosa ialah Hukum
Taurat” (1 Kor. 15:56).
Jika kematian adalah konsekuensi
dari dosa manusia, mengapa ciptaan lain juga bersifat fana? Paulus berkata
bahwa seluruh ciptaan menjadi fana bukan karena kehendaknya sendiri tetapi
sebagai pengaruh dari keberdosaan manusia yang merupakan kesia-siaan. Semua hal
itu akan dibebaskan dari kematian bersama dengan Anak Allah (Rom. 8:19-22).
Dari pembahasan-pembahasan di
atas tergambar bahwa kematian dalam Perjanjian Baru bukanlah sebagai proses
yang alamiah, tetapi sebagai peristiwa sejarah yang mengakibatkan manuisa masuk
ke dalam keberdosaannya. Pernyataan tentang kematian Kristus di kayu salib
merupakan cerita keselamatan dan selalu berhubungan dengan kebangkitan dan
kemenangan atau hidup baru bagi orang-orng percaya. Kristus mati bagi dosa-dosa
manusia (1 Kor. 15:3-5) dan Dia turun ke dalam maut untuk dosa dan bangkit
hidup kembali untuk kemenangan kita (Rom. 4:25). Intinya adalah bahwa Allah
sendiri merendahkan diri dan menanggalkan kemuliaanNya dalam kematian, yang
justru dalam kematian itu Ia menunjukkan diri sebagai Tuhan dan Allah yang
hidup[7].
Kematian Kristus adalah keuntungan bagi manusia (1 Tes. 5:10; Ibr.2:9-10).
Kematian Kristus adalah bagi Hukum Taurat (Rom. 7:4), bagi dosa (2 Kor. 5:21),
dan bagi kematian kita (2 Tim 1:10). Kematian Allah berarti final dari segala
keberadaan keilahian yang dipahami di dalam sistem metafisik kuno dunia[8].
Yohanes menyatakan bahwa
kematian Kristus di kayu salib adalah bukti inkarnasi firman (Logos), kematian
itu adalah kehendak yang ilahi (Yoh. 12:33). Allah mengalahkan kuasa dosa
melalui caranya yang menyamakan dirinya dengan kita dalam kematian Yesus.
dengan demikian kita bebas dari segala kuasa dosa, kita dimenangkan (Rom.
4:24), menjadi ciptaan yang baru (2 Kor. 5:17), dan diberikan kehidupan baru
bersama Kristus (Ef. 2:4-5).
- Makna kematian dalam kehidupan orang Kristen
Jika kita hanya mengejar
hal-hal duniawi maka kita telah melepaskan diri kita dari sumber kehidupan.
Untuk menghadapi kematian kita harus sadar bahwa kita hidup sebagai orang
berdosa dalam kematian.
Bebas dari kematian adalah
berpegang kepada firman (Yoh. 8:51) dan mengasihi saudara (1 Yoh. 3:14). Dalam
Injil Sinoptik kematian dikalahkan melalui karya-karya keajaiban Allah
(mujizat-mujizat). Untuk menghadapi kematian Yesus berkata “jangan takut,
percaya saja” (Mrk. 5:36). Kemudian Dia berkata ikutlah aku, dan
biarlahkematian menguburkan kematianmu (Mat. 8:22).
Kematian bagi orang percaya
adalah kekuatan dalam hidup persekutuan dengan Tuhan bukan hanya sebagai satu
hal akhir dari hidup. Kematian adalah pintu menuju hidup kekal yaitu kelepasan
dari segala dosa menuju hidup kepada
kehidupan bersama Allah[9].
Untuk itu maka kematian
menurut pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri:
1. Kematian adalah suatu hal yang alamiah
yaitu mnusia mengambil bagian dalam struktur kehidupan keseluruhan yang
kompleks.
2. Kematian adalah suatu hukuman, ghukuman
untuk dosa (Rom 6:21-ff).
3. kematian adalah panggilan untuk pulang
kepada manusia. Bukan hanya sebagi hukum tapi juga kabar sukacita, bukan hanya
sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp 1:23).
Daftar Pustaka
Alwell, Walter A.
1986 Evangelical Dictionary of Theology, Michigan: Baker Book House
Barth, Karl
1958 Dogmatics In Outline, London: SCM Press
Bildstein, Walter J.
1972 Secularization The Theology of John A.T. Robinson: A radical Response, Romae: Pontificiam
Universitatem S. Thomae De Urbe
LTD
Braaten, Carl E./Robert W. Jenson
1984 Christian Dogmatics I, London: Fortress Press
Green, Clifford (peny.)
1998 Karl Barth: Teolog Kemerdekaan: Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth,
Jakarta:
BPK-GM
Hadiwijono, Harun
2002 Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM
Kittel, Gerhard
1955 Theology
Dictionary New Testament (vol. III), Michigan :
Grand Rapids
Milne, Bruce
2003 Mengenali kebenaran: Panduan Iman Kristen Jakarta: BPK-GM
Panenberg, Wolfhart
1968 Jesus-God
and Man, London: SCM Press LTD
Soedarmo, R
2005 Ikthisar Dogmatika, Jakarta: BPK-GM
Verkuyl, J
2000 Aku Percaya: Uraian
Tentang Injil dan Seruan Untuk Percaya, Jakarta:
BPK-GM
[1]
Gerhard Kittel, Theology Dictionary New
Testament (vol. III), Michigan: Grand
Rapids
[2] Carl E. Braaten, Robert W. Jenson Christian
Dogmatics I, Fortress Press, 1984, hlm. 16
[3] Ibid. hlm.548
[4] Karl Barth, Dogmatics In Outline, SCM-Press LTD, London 1958, hlm. 117
[5] J. Verkuyl, Aku Percaya, uraian tentang Injil dan seruan untuk percaya,
Jakarta: BPK-GM 2000, hlm.
[6] Wolfhart Panenberg, Jesus-God and Man, SCM Press LTD, London, 1968, hlm. 270
[7] Chifford
Green (peny.) Karl Barth: Teolog
Kemerdekaan: Kumpulan cuplikan Karya Karl Barth. Jakarta: BPK-GM 1998, hlm.
[8] Walter J. Bildstein, Secularization The Theology of John A. T. Robinson, A Radikal Response,
Pontificiam Universitatem S. Thomae De Urbe, Romae, 1972, hlm.
[9] Walter
A. Alwell. Evangelical Dictionary
of Theology, Baker Book House, Michigan, 1986, hlm.
Comments
Post a Comment