ALLAH MENURUT PANDANGAN FILSAFAT
Dogmatika
merupakan kata kerja dari Dokein yang artinya menduga atau mengira. Lalu kata
dogma ini mempunyai arti buah pikiran yang dapat diakui oleh suatu golongan di
dalam suatu ilmu, misalnya filsafat.[1] Filsafat mulai dengan rasa
heran, ingin tahu, bertanya tentang apa saja dan terutama dengan spekulasi
tentang jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di dalam
berfilsafat, tidak cukup hanya mempertanyakan dan kemudian berspekulasi tentang
jawaban-jawabannya, akan tetapi kita juga harus mempertanyakan tentang
“pertanyaan-pertanyaan” itu sendiri dan jawabannya. Jadi berfilsafat adalah
berspekulasi dan melakukan analisis.[2] Iman dan akal budi telah
mempersatukan filsafat dan teologi, Anselmus mengijinkan filsafat sebagai suatu
peranan khusus di dalam teologi. Jadi dapat dikatakan bahwa Filsafat dan
Theologi adalah bidang yang selalu berdampingan, di mana Theologi dapat
berbicara karena ada Allah, namun Filsafat ingin membuktikan bahwa Allah itu
ada. Pembuktian mengenai Allah dimulai oleh para filsuf, antara lain :
·
Plato, yang pertama menggunakan istilah
teologia, di dalam tulisannya, yang baik dan yang tertinggi telah diidentikkan
dengan Allah.
·
Aristoteles, yang memikirkan Penggerak Tak
Tergerakkan, yang menyebabkan semua perubahan dan gerakan dan keinginan akan
kesempurnaan di semesta, telah diidentikkan dengan Allah
·
Agustinus, yang percaya bahwa harus ada Kebenaran
tertinggi yang bertanggung jawab atas semua kebenaran-kebenaran tertinggi ini.
Kebenaran tertinggi ini menurut Agustinus adalah Allah.
Namun,
definisi-definisi mengenai Allah ini merupakan definisi Filosofis. Allah yang
dibuktikan oleh para filsuf dan teolog Kristen adalah membuktikan eksistensi
Allah Kristen, karena mereka percaya bahwa Allah Kristen adalah satu-satunya
Allah yang benar. [3]
Ada banyak pendangan para Filsuf tentang
Allah, dan ada juga pertentangan pendapat para Filsuf mengenai “siapa Allah”.
Perbedaan pendapat itu sangat tampak dalam pendapat Kierkegaard, salah seorang
filsuf Eksistensialisme, dia mengatakan bahwa Allah tidak dapat ditangkap dalam
pikiran manusia ; Allah tidak pernah masuk akal manusia yang terbatas (kalau
Karl Barth menekankan : “jangan lupa, engkau di bumi dan Allah di dalam
surga”). Menurut Kierkegaard, Allah tidak dapat dibuktikan, usaha membuktikan
keberadaan Allah adalah hal yang patut ditertawakan. Dia mengatakan : “Kalau
Allah tidak ada, tidak mungkin membuktikan hal itu, dan kalau Allah ada, usaha
mencoba membuktikan Allah adalah usaha yang gila”. Kepercayaan tidak perlu
pembuktian eksistensi Allah, jadi Allah tidak dapat dikenal.[4]
Penulis
akan memaparkan pendapat para Filsuf-filsuf, yakni : Filsafat Helenisme,
Filsafat Yahudi, Filsafat Patristik dan juga Filsafat pada abad pertengahan. [5]
a.
Filsafat
Helenisme
Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran
Filsafati, yaitu dari filsafat yang teoritis menjadi praktis. Filsafat makin
lama makin menjadi suatu seni hidup. Ada
banyak aliran yang semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup. Salah satunya
adalah Stoa, yang didirikan oleh Zeno dari Citium (336-264 SM), pandangan dunia
Stoa adalah materialistis. Hanya bersifat jasmanialah yang dianggap nyata. Oleh
karena di antara kaum Stoa ada juga yang percaya adanya Allah, maka bagi mereka
Allah juga bersifat jasmaniah, bendani, dengan demikian Allah dipandang sebagai
identik dengan alam.
b.
Filsafat
Yahudi
Setelah zaman pembuangan di Babel banyak dari antara bangsa Yahudi yang
hidup tersebar di luar Palestina, di Asia Kecil, Yunani dan Mesir.
·
Philo
Philo (30-50 SM)
menyesuaikan agama Yahudi dengan filsafat Helenisme. Menurut Philo, Allah
adalah seorang tokoh yang adikodrati, yang secara mutlak berbeda dengan kosmos
dan harus dibedakan dengan kosmos. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan
filsafat Helenisme yang mengidentikkan Allah dengan alam. Sebab Allah adalah
roh yang transenden, yang tidak di dalam dunia ini, melainkan di seberang sana. Secara negatif
tentang Allah dapat dikatakan, bahwa Ia tidak dijadikan, tidak memiliki
sifat-sifat manusiawi, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tidak berwujud.
HakekatNya tidak dapat dikatakan bagaimana, sebab Ia tidak bernama. Manusia
hanya tahu, bahwa Allah ada, akan tetapi manusia tidak dapat tahu apakah Dia,
sebab Allah tidak dapat diuraikan bagaimana. Ia adalah Sang Ada (Ho
On). Namun demikian, menurut Philo
secara positif, Allah itu adalah Esa, ia tidak tersusun dari bagian-bagian. Ia
memiliki kesempurnaan yang tinggi, keindahan yang asali, kebaikan yang mutlak
dan kemahakuasaan.
Jadi Philo menggambarkan Allah sebagai
yang tidak dikenal secara mutlak, sehingga Ia sama sekali tidak dapat dikatakan
bagaimana. Allah juga dipandang sebagai transenden dalam arti “yang bersemayam
jauh di atas segala sesuatu”. Allah yang demikian dipandang tidak layak untuk
secara langsung menciptakan dunia. Oleh karena itulah Ia memakai
perantara-perantara, yang dapat disebut Idea-idea.
·
Plotinos
(284-269 SM)
Plotinos lahir di Lykopolis (Mesir).
Pada waktu berumur 28 tahun ia tertarik dengan Filsafat. Menurut Platinos,
Allah tidak termasuk dunia ini, tetapi termasuk dunia yang tidak diamati, yang
mengatasi dunia ini. Ia adalah Esa, tanpa pembandingan, dalam arti bahwa Ia
tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga, karena tiada sesuatu di
sampingnya. Akal manusia tidak dapat menembus sampai kepadanya, sebab di dalam
pikiran manusia senantiasa ada subyek dan obyek, masih senantiasa ada perbuatan
memikir dan pikiran. Oleh karena itu keadaan Allah tidak dapat diuraikan
bagaimana. padanya tiada predikat, tiada sifat.
c.
Filsafat Patristik
Zaman ini adalah zaman
bapa-bapa gereja, dimana para pemikir Kristen menentukan sikap mereka terhadap
Filsafat Yunani. Zaman ini meliputi zaman di antara para rasul hingga kira-kira
awal abad ke 8. Para pemikir Kristen pada
zaman Patristik mengambil sikap bermacam-macam, ada yang menolak sama sekali
filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata-mata.
Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani, karena perkembangan
pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan Injil. Ada dua bagian Zaman Patristik ini,
diantaranya adalah Patristik Timur dan Patristik Barat.
Ø
Patristik
Timur
·
Irenaeus (202 M)
Menurutnya
Allah adalah Esa, oleh karena itu tidak mungkin, bahwa sejak semula ada sesuatu
yang di atas Allah atau di bawahNya. Sang pencipta segala mahkluk adalah Allah
sendiri, bukan “Ilah” yang lebih rendah.
·
Klemens (150-215 M)
Menurut Klemens,
filsafat pada dirinya memang dapat memimpin orang kepada pengetahuan tentang
Allah, sebab Filsafat dapat memimpin kepada pengetahuan, bahwa Allah adalah
sebab segala sesuatu.
·
Origenes (185-254 M)
Menurutnya Allah adalah transenden, yang tidak
dapat dimengerti. Ia tidak bertubuh, esa serta tidak berubah. Allahlah pencipta
segala sesuatu, baik yang bersifat rohani maupun yang bersifat bendawi.
Origenes mengajarkan penciptaan yang kekal abadi. Sebelum dunia diciptakan, Allah
bekerja menciptakan dunia yang lain, yang mendahului dunia tempat kita berdiam.
·
Basilius Yang Agung
Hanya Allahlah yang tanpa awal, sedang dunia
berawal. Awal dunia adalah juga awal waktu. Dunia dan waktu berhubungan secara
timbal-balik. Ketika Allah menciptakan, dimulailah juga waktu.
Ø
Patristik
Barat
·
Aurelius Augustinus (354-430)
Menurutnya hakekat Allah adalah Allah begitu mengatasi segala
gagasan dan pengertian, sehingga segala pengetahuan kita tentang Dia lebih
menampakkan hal ketidaktahuan, artinya kita lebih dapat mengatakan “Allah itu
bukan apa” daripada “Allah itu apa”. Akan tetapi bukanlah Agnotisme[6]. Sebab maksud Augustinus
hanya mengatakan, bahwa Allah tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori
yang dimiliki manusia. Allah adalah roh yang esa, yang tidak bertubuh, tidak
berubah, akan tetapi berada di mana-mana serta meliputi segala sesuatu,
sehingga tiada sesuatupun yang di atasnya. Manusia tidak dapat mengenal Allah
secara sempurna. Augustinus mengajarkan bahwa Allah yang Esa dalam zatNya itu,
tiga dalam pribadiNya atau Allah yang Esa itu berada dengan tiga cara, yaitu
sebagai Bapa, sebagai Anak dan sebagai Roh Kudus.
·
Dionisius
Menurutnya Allah adalah asal segala yang ada, yang keadaanNya
transenden secara mutlak, sehingga tidak mungkin memikirkan tentang Dia dengan
cara yang benar, dan memberikan kepadaNya nama yang tepat. hal ini disebabkan
karena Ia mengatasi segala yang ada, segala yang dapat dipikir manusia. Allah
adalah terang, terang yang begitu gemilang, sehingga mata manusia terlalu lemah
untuk mengamatiNya. akibat terang itu bagi manusia menjadi kegelapan. Sekalipun
demikian manusia harus dapat menjadikan matanya biasa menerima terang itu,
sehingga manusia dapat mengenal Allahnya.
d.
Filsafat pada abad pertengahan.
·
Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Thomas mengakui
kemampuan rasio insani untuk mengenal adanya Allah. Namun adanya Allah tidak
dapat dikenal secara langsung, tetapi melalui ciptaan-ciptaan. Aquinas percaya
bahwa eksistensi Allah harus ditetapkan dengan sarana berbeda dan setelah itu,
mempelajari siapa Allah akan membawa ke pengetahuan akan kodrat Allah. `
·
Anselmus (1033-1109 M)`
Menurutnya
Iman mengandalkan, bahwa Allah pasti ada, ada dua cara untuk membuktikan bahwa
Allah ada. Anselmus mengupayakan untuk memberikan suatu “bukti” akan Allah yang
akan dapat berjalan berdasar budi,
tetapi yang akan sesuai dengan iman Kristennya : “Budi rasional saja dari semua ciptaan mampu untuk menjalankan
penyelidikan mengenai pengada tertinggi”. Anselmus mendefenisikan Allah sebagai
: “yang-lebih-besar-daripadanya-tidak-dapat-dipikirkan.” Anselmus mengklaim
bahwa :[7]
§
Allah adalah pengada terbesar yang dapat
dipahami.
§
Lebih besar untuk berada dalam kenyataanlah
daripada hanya di dalam pikiran.
§
Maka Allah ada.
Sebagian besar orang mempunyai
kepercayaan pada Allah, namun konsep mereka tentang Allah sangat berbeda-beda.
Pada dasarnya ada lima
cara yang berbeda untuk memandang Allah, yaitu :
·
Teisme, menganut pandangan satu Allah yang
berada di luar maupun di dalam dunia.
·
Deisme, menganggap Allah berada di luar, namun
tidak berada di dalam dunia.
·
Panteisme, menganggap Allah ada di dalam dunia,
namun tidak berada di luarnya, sesungguhnya Allah ada di dunia ini.
·
Panenteisme, berpendapat bahwa Allah berada di
dalam dunia, seperti nyawa ada dalam tubuh, artinya alam semesta adalah tubuh
Allah dan Allah adalah nyawa dari alam semesta.
·
Finete godism, atau paham keallahan terbatas
menganggap Allah berada di luar alam semesta, tetapi bukan menjadi pengendali
tertinggi darinya; alam semesta bukan tubuh Allah..
Konsep-Konsep
Mengenai Allah
Konsep Teistik Mengenai Allah
Unsur-unsur dasar dari pandangan teistik. Ada tiga unsur dasar dari pandangan teistik tentang Allah, yang
membicarakan sifat Allah sendiri, sifat penciptaan dan sifat aktivitas Allah,
antara lain:
1. Allah ada diluar maupun didalam dunia ini.
Menurut teisme, Allah bukanlah dunia (alam semesta )ini, melainkan diluarnya
atau melampauinya. Artinya ialah, Allah adalah transenden. Alam semesta
bersifat tertentu atau terbatas dan Allah bersifat tidak terbatas. Allah ada
didalam semesta ini. Maksudnya ialah Allah secara imanen hadir sebagai kuasa
yang menopang alam semesta.
2. Penciptaan adalah dari yang tidak ada.
Menurut teisme bahwa eksistensi dunia bergantung pada Allah. Tanpa pemeliharaan
kreatif oleh Allah, maka dunia tiadk akan ada.Yang dimaksud dengan kaum teis
sebagai ‘dari yang tidak ada’ ialah dulunya pasti tidak ada apa-apa sebelum dia
menjadikan sesuatu. Oleh karena itu, menurut pendapat kaum teis, Allah tidak
menciptakan dunia ini dari sesuatu apapun.
3. Allah dapat bertindak secara adikodrati
dalam dunia. paham teisme percaya
bahwa dunia sangat bergantung pada satu Allah yang maha kuasa, yang menciptakan
dan yang terus menerus menopang dunia. Oleh karena itu, jika ini benar maka
konsekuensi logisnya adalah bahwa Allah dapat juga campur tangan dalam dunia
ini. Penganut teisme tidak percaya bahwa hukum alam bersifat pasti dan tidak
dapat di ubah, karenanya tidak dapat di ganggu gugat. Mereka menganggap hkum
alam adalah gambaran dari cara Allah biasa bekerja dalam ciptaannya.
Konsep Deisme tentang Allah
Dua unsur pokok deisme ialah perspektifnya mengenai sifat
Allah dan sifat dunia, antara lain:
1. Allah berada diluar dunia. Penganut
deisme percaya kepada Allah yang transenden. Allah adalah melampaui alam
semesta; Dia adalah sang pencipta dunia. Dalam hal ini deisme menentang
dualisme yang menganggap dunia dan Allah sebagai dua realitas yang sama-sama
kekal. Bagi penganut deisme keberadaan dunia bergantung kepada Allah dan tidak
lepas dari Dia.
2. Dunia ini berjalan secara alamiah. semua
penganut deisme percaya dunia berjalan sesuai dengan hukum alam, namun mereka
tidak sependapat mengenai alasan naturalisme mereka. Sebagai penganut deisme
menganggap Allah tidak dapat secara kodrati campur tangan di dunia, sementara
sebagian yang lain mengatakan bahwa Dia tidak mau melakukan itu.
Konsep Panteistik tentang Allah.
Ada
beberapa unsur khusus yang menyangkut panteisme. masing-masing mungkin terlihat
berlawanan dengan teisme, antara lain:
1. Sifat Allah. Allah adalah non-persona.
Kepribadian, kesadaran, pengetahuan dan sebagainya adalah tingkat menifestasi
yang lebih rendah. Tingkat yang paling tinggi dari realitas adalah di luar
kepribadian dan mutlak bersifat tunggal.
2. Sifat penciptaan. Penciptaan bukan dari
yang tidak ada, seperti dalam teisme. penciptaan adalah ex deo (dari Allah).
hanya ada satu substansi dalam alam semesta ini dan segala sesuatu merupakan
emanasi darinya.
3. Hubungan Allah dengan dunia. Penganut
pentaisme menganggap Allah dan alam semesta adalah satu. Oleh karena itu,
realitas apapun yang ada dalam alam semesta ini adalah realitas dari Allah.
4. Kejahatan bukanlah nyata. Pandangan
pentaisme mengatakan kejahatan hanyalah ilusi, satu kesalahan dari pikiran yang
salah. Kejahatan adalah akibat penginderaan kita yang menyesatkan.
Konsep Panenteistik mengenai Allah
1. Hubungan Allah dengan dunia. Teisme
mengklaim bahwa dunia bergantung pada Allah, tetapi Allah tidak bergantung pada
dunia. Namun pandangan panenteisme menandaskan bahwa Allah bergantung pada
dunia sama seperti dunia bergantung kepada Allah.
2. Nilai dan kejahatan. Semua kejadian di
dunia ini, termasuk perbuatan yang baik dan indah, dipelihara atau disimpan
dalam sifat kosekuen Allah. Sifat konsekuen ini karena diperkaya oleh nilai
yang dicapai didalam dunia kadang kadang oleh penganut panenteismedisebut sifat
‘superject’ Allah. Kejadian yang pada saat tertentu yang tidak cocok dengan
kesatuan dari keseluruhan yang positif disebut ‘jahat’. Tetapi, jenis kejadian
yang sama pada suatu saat lain dikemudian hari di proses dunia yang terus berlangsung
bisa cocok dengan keseluruhan itu dan karenanya disebut dengan ‘baik’.
3. Penciptaan adalah ex hules. Panenteisme
mempunyai banyak kesamaan dengan dualisme Yunani kuno. Seperti dalam dualisme,
penganut panentisme menganggap bahwa kedua kutub bersifat kekal. Kutub fisik
(tubuh Allah) bukan diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Itu sudah ada;
penciptaan adalah proses berkeseinambungan dari pembentukan kutub fisik ex
hules, yaitu dari materi atau bahan yang sudah ada. Sebelumnya, Allah bukan
pencipta tertinggi dunia ini (seperti dalam teisme), melainkan peminpin proses
dunia ini.
Konsepsi tentang Allah
Finete godism adalah kategori yang luas yang mempunyai dua
sub-kategori yaitu pandangan bahwa ada ilah terbatas dengan satu kutub dan
pandangan terdapat ilah terbatas dengan dua kutub panenteisme. Oleh karena itu,
ada banyak tumpang tindih. dengan demikian untuk memahami finete godism ialah
dengan membandingkan teisme.
1. Sifat terbatas. terisme mengatakan bahwa
kekuasaan dan kebaikan Allah tidak terbatas. paham keterbatasan (finitism) menganggap ini luar biasa
mengingat kejahatan di dunia terus ada dan merajalela. Jika Allah maha kuasa,
Dia pasti dapat membinasakan kejahatan, dan jika dia maha baik, Dia tentu akan
membinasakannya. Allah pasti terbatas kuasa dan atau kebaikannya. Kepercayaan
pada Allah yang mutlak berkuasa dan sempurna tidak menjelaskan mengenai
kejahatan-kejahatan yang tanpa alasan (masuk akal)-pembunuhan, kekejaman dan
ketidak adilan didalam dunia ini, belun
lagi menyebut kurangnya campur tangan Allah terhadap ketidakmanusiawian manusia
terhadap manusia.
2. Perjuangan melawan kejahatan. menurut
finete godism memahami Allah sebagai terbatas mempunyai akibat yang bermanfaat;
itu lebih mengurangi kita untuk berbuat kejahatan. Sebab jika Allah adalah maha
kuasa dan hasilnya sudah dijamin lebih dahulu, untuk apa kita berjuang melawan
kejahatan? Allah yang mutlak dapat dan akan mengurus itu sendiri. Sebaiknya,
jika hasilnya bergantung kepada kita dan apa yang kita lakukan sungguh-sungguh
bernilai untuk hidup kekal, maka keterbatasan Allah memberikan dorongan
tertinggi untuk mengabdi.
3. Allah yang terbatas memerlukan suatu
penyebab. Beberapa orang menunjukkan bahwa ilah yang terbatas sama sekali
tidak dapat merupakan Allah. Prinsip kausalitas (sebab-akibat) menyatakan bahwa
setiap wujud yang terbatas dan berubah-rubah mempunyai satu penyebab. Jadi ilah
yang terbatas adalah satu mahluk raksasa yang juga memerlukan satu pencipta
yang tidak terbatas.
4. Allah yang terbatas tidak dapat
menyelesaikan kejahatan. Ilah yang terbatas tidak dapat menjamin kemenangan
atas kejahatan. Hanya Allah yang maha baik dan maha kuasa dapat menyakinkan
kita bahwa perjuangan kita untuk kebaikan tidak sia-sia. Dan tanpa jaminan ini
maka motifasi yang tepat untuk kebaikan akan kurang.
5. Kejahatan bukan bukti bahwa Allah terbatas.
kejahatan dan ketidak sempurnaan dalam dunia ini tidak membuktikan bahwa Allah
bersifat terbatas. Allah mempunyai maksud baik tertentu dengan maksud kejahatan
itu, apakah itu kita ketahui maupun tidak kita ketahui, tetapi hanya Dia
ketahui. satu satunya cara orang untuk dapat membantah kemungkinan ini adalah
dengan mengetahui pikiran Allah atau dengan membuktikan bahwa Allah tidak ada.
oleh karena penganut anti-teisme tidak mempunyai akses untuk mengetahui pikiran
Allah dan tidak berhasil membuktikan bahwa Allah tidak ada, maka orang tidak
perlu membuang keyakinan kepada satu Allah yang tidak terbatas. Penganut teisme
mungkin sependapat bahwa ini bukan yang terbaik dari semua dunia yang mungkin
ada, tetapi dia mendasarkan bahwa itulah cara yang tepat untuk mendapatkan
dunia yang paling tepat. Artinya, mungkin mengijinkan kejahatan merupakan
prakondisi untuk mencapai kebajikan yang paling besar (sebagaimana rasa sakit
yang semtara sering merupakan jalan paling baik untuk menuju kesenangan yang
kekal) [8].
Penelaahan
tentang Allah dalam Filsafat sering disebut teologi
kodrati dan juga teodise.
refleksi filosofis mengenai Allah lebih suka disebut Filsafat ketuhanan. Kata
Tuhan dan Allah di sisni dipakai dalam arti yang sama, hanyalah bahwa kata
“Allah”dengan “amat tegas” mengungkapkan ciri personal Tuhan. Kata “Ketuhanan” membiarkan pertanyaan terbuka
apakah dimensi paling dasar segala realitas personal atau tidak. pertanyaan
tentang Tuhan tidak datang dari udara kosong. manusia sudah lama menyembah
Tuhan dalam pelbagai bentuk dan filsafat di manapun tertarik untuk memikirkan
“Tuhan” itu dari pelbagai sudut.
Iman dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional dalam, dua arti : secara teologis dan
secara Filosofis. Secara teologis iman
dipertanggung jawabkan apabila dapat ditunjukkan bahwa apa yang diimani, serta
kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu, adalah sesuai dengan sumber iman itu. jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang
bersangkutan. Wahyu itulah sumber
kebenaran. Sedangkan pertanggungjawaban Filosofis,
Iman berbeda. Dan dilakukan dengan pemakaian nalar, Nalar dapat memeriksa
suatu keyakinan atau ajaran agama dari beberapa sudut. Filsafat KeTuhanan
sebagai filsafat tidak mendasarkan diri pada ajaran atau wahyu agama tertentu,
melainkan bertanya apa yang secara nalar dapat dkatakan tentang iman. Filsafat
tentu saja tidak membicarakan seluruh iman-kepercayaan suatu agama, melainkann
hanya intinya, keyakinan iman bahwa ada Allah. Filsafat KeTuhanan membatasi
diri pada pertanyaan paling dasar : bagaimana
kepercayaan bahwa ada Tuhan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Kant menegaskan bahwa eksistensi Allah tidak dapat dibuktikan secara teoritis,
tetapi Kant ingin memperlihatkan bahwa percaya kepada Allah dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Filsafat
Ketuhanan yang mau menelusuri jejak-jejak Tuhan sampai pada pengakuan bahwa
nalar manusia menemukan batasnya. Akan tetapi, manusia tidak dapat bertanya
terus. juga tentang Allah. Filsafat bertujuan untuk meringankan beban masalah
nalar, bahkan bagi hati manusia, kiranya tidak akan meyakinkan orang yang tidak
dapat atau mau percaya. Agama ternyata tidak perlu memusuhi nalar. Dengan
perantaraan nalar agama sendiri dapat mencapai dimensinya yang lebih mendalam.
Hanya kalau Allah menjadi pertanyaan, Allah juga dapat menjadi jawabannya. [9]
V.
Kesimpulan
Ahli Filsafat yang
berpikir tentang Allah sudah mesti beriman atau tidak beriman, atau acuh tak
acuh : bagaimanapun juga, ia harus mengambil sikap. Yang dituntut dari padanya
ialah agar jangan menggantikan argumen-argumen akal dengan kepercayaannya pro
atau kontra Allah ; agar jangan membebani akal itu dengan kepercayaannya dan jangan berlaku curang dalam permainan.
Ahli filsafat bukanlah orang yang melayang-layang. Kejujuran menuntut agar ia
hanya dinilai berdasarkan kebenaran tinjauannya serta kecermatan jalan
pikirannya.[10]
Demikianlah para Filsuf itu
memberikan pemahaman tentang Allah. ada banyak pertentangan diantara mereka. Ada yang mengatakan bahwa
Allah itu adalah Esa dan tiga dalam pribadiNya dan yang lain mengatakan bahwa
Allah itu adalah transenden dan Allah adalah sebab segala sesuatu. Namun, satu
hal yang perlu kita pegang bahwa
walaupun banyak pendapat para teolog
mengenai Allah, kita harus mengetahui bahwa Allah adalah Esa dan sumber dari
segala sesuatu dan tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan untuk mengenal Allah
tidak cukup hanya mengandalkan akal saja seperti kebanyakan para Filsuf,
seharusnya juga diikuti dengan iman.
Orang yang beriman kepada Allah
memberikan “real assent” kepada proposisi : “Ada satu Allah”. Maksud itu dapat dijelaskan
dengan menyebutkan beberapa sifat Allah antara lain : [11]
·
Tunggal, Maha Esa dan Berpribadi, Dialah yang
memulai, mempertahankan dan menyelesaikan segala sesuatu, Ia menjiwai Hukum dan
tata tertib, Dialah penyelenggara moral.
·
Ia maha Agung dan Unik ; sama dengan diriNya
sendiri, Ia tidak sama dengan segala sesuatu yang bukan Dia dan hanya merupakan
makhluk ciptaanNya saja, Berbeda dengan, tak tergantung pada semuanya itu.
·
Ia ada dengan sendirinya, tidak terbatas secara
mutlak, Ia ada sejak kekal dan selalu ada, bagi Dia tiada yang sudah lalu akan
datang ;
·
Dialah segala kesempurnaan, dan kepenuhan serta
teladan setiap keunggulan yang dapat dipikirkan, kebenaran itu sendiri,
kebijaksanaan, Cinta kasih, Keadilan, Kesucian.
·
Ia Maha Kuasa, Maha Tahu, Hadir di mana-mana,
Tak terpahami.
Demikianlah
sifat-sifat Allah yang diartikan oleh Kristiani secara umum, dengan kata lain
ada banyak cara untuk memandang Allah, karena setiap orang memiliki pemikiran
yang berbeda-beda tentang konsep Allah.
[1] R. Soedarmo, Ikhtisar
Dogmatika, (Jakarta-BPK, 2001) Hlm.3
[2] E. sumaryono.Metode
Filsafat Hermeneutik (Jakarta BPK-GM) Hlm. 13-14
[3] Linda Smith dan William Reaper, Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta Kanisius
: 2000), Hlm. 40, 42
[4] Eta Linnemann, Teologi
Kontemporer (Institut Injil Indonesia, 1991) Hlm.54-57
[5] Harun Hadi Wijono, Sari
Filsafat Barat I, (Yogyakarta- Kanisius, 1980)
[6] Agnotisme merupakan ajaran yang mengatakan bahwa Allah
tidak dapat dikenal, bahkan belum tentu ada.
[7] Linda Smith dan William Reaper, Op.cit, Hlm. 43
[8] Norman L. Geisher dkk, Filsafat dari Perspektif Kristiani, (Malang: Gandum Mas, 2002 ), hlm. 295-313
[9] Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta
–Bpk Gm), Hlm 19, 21-22
[10] Louis Leahy, Masalah
KeTuhanan Dewasa ini, (BPK-GM, Kanisius, 1982), Hlm 15
[11] Nico Syukur Dister OFM.Filsafat Agama Kristiani, (BPK-GM dan Kanisius, 1985), Hlm.67
Comments
Post a Comment